Oleh: Farhan
Mubarak
Di atas angkutan umum, aku pun mulai berandai-andai. Badanku
boleh jadi sedang ada di Indonesia, tapi pikiranku tidaklah demikian. Aku sudah
membayangkan bahwa diriku sudah sampai di Universitas yang kudambakan itu.
Benakku seolah sedang menyusuri setiap sudut Kota Kairo, menjelajah ke
sana-kemari dengan riangnya di antara pepohonan-pepohonan kurma yang katanya
banyak tumbuh di Timur Tengah. Bahkan telah kubayangkan diriku sedang naik unta
setiap paginya bila ingin berangkat ke Universitas Al-Azhar. Seolah diriku
sedang tawaf saat ini di dalam Masjid Al-Azhar, membayangkan di dalamnya ramai
akan Syekh yang sandar di tiap tiangnya, dikelilingi oleh pemburu-pemburu ilmu
yang haus akan pengetahuan agama. Pasti sangat menyenangkan kalau diriku sudah
sampai di belahan dunia sana.
Aku turun dari angkutan umum dan memasuki pekarangan
Universitas UIN Jakarta. Akhirnya tinggal sedikit lagi dan impianku akan
tercapai. Hatiku sangatlah senang, tapi ternyata di situlah letak kesalahanku.
Sesampainya di loket pengurusan berkas, aku bertemu Usman,
sahabat karibku yang juga lulus ke Timur Tengah.
"Hei
Baso. Kau makan apa semalam? Senyummu pagi ini tak mau berhenti merekah. Kau juga
ingin mengurus berkas, kan?”
“Hei Usman.
Haha aku masih tak percaya bahwa diriku ini telah lulus. Apa mungkin aku sedang
bermimpi ya?!”
"Tentu
saja tidak kau sedang di dunia nyata." Usman mendekat dan merangkul
pundakku. Tangannya kemudian bergerak ke wajahku dan mencubiti pipiku. Aww, aku
meringis.
"Semuanya
memang sudah ditakdirkan, Baso. Jadi kita harus senantiasa bersyukur, karena
diberikan takdir yang kita impikan. Oh iya, apa kamu sudah mengurus
berkas?"
"Belum,
aku baru saja sampai."
"Terus
berkas kamu mana?"
Pertanyaan
itu membuat pikiranku tersentak. Berkasku ada di mana? Tangan kananku tak
menggenggam sesuatu pun, tak ada apa-apa di sana. Aku berusaha mengingat-ingat
keberadaan berkas itu, hingga ingatanku mengarah di angkutan umum tadi. Setelah
kupikir-pikir di mana berkas itu, tetap saja ingatanku mengarah kesana. Tanpa
pikir panjang aku pun berlari secepat mungkin untuk mencari angkutan umum tadi,
barangkali belum jauh dari sini. Namun nihil, angkutan umum itu telah jauh
pergi.
Tak terasa air mataku jatuh, rasanya mimpi-mimpi itu mulai
menjauh. Oh Tuhan... akan kubawa kemana mimpiku setelah kejadian ini.
Mungkinkah mimpi ini telah berakhir, atau memang aku tak layak menggapai mimpi
itu. Apakah aku tidak bisa menjadi salah satu dari orang yang melangitkan
mimpi? Wajah kecewa orang tuaku seketika bermunculan. Terbayang betapa sedih
mereka, betapa harapan yang sudah dibangun pupus seketika hanya karena kendala
administrasi. Ah, Membayangkannya saja rasanya begitu sakit, bagaimana
seandainya kalau mereka tahu? Kuceritakan kejadian ini kepada Usman, sahabat
karibku, berharap membagi keresahan dapat meringankan bebanku.
"Jangan putus asa, Baso. Dunia ini terlalu kecil
dibanding mimpimu. Bukankah mudah saja bagi Tuhan membuat itu jadi nyata?
Sebagaimana Firman-Nya jika hambaku meminta maka akan aku kabulkan masihkah
kamu percaya dengan itu? Jika ya, bangkitlah dan teruskan usahamu Biarkan Tuhan
yang bekerja sesuai cara-Nya". Usman mencoba meyemangatiku. Benar saja.
kalimatnya membuatku tersadar kembali.
"Lalu aku harus bagaimana, Usman? Bagaimana mungkin aku
bisa berangkat ke Mesir tanpa berkas-berkas itu?"
"Tenang...
Nanti kita cari bersama-sama."
***
Matahari mulai tenggelam, tanda siang akan digulung malam.
Kabar keberadaan berkas itu tak kunjung datang. Seluruh usaha telah aku
kerahkan, hingga jarak putus asa sudah terasa sangat dekat. Aku mulai
kelelahan. Mencari di berbagai tempat, hingga aku pergi ke terminal di tengah
kota. Berharap berkas itu ditemukan, hasilnya selalu nihil. Kota ini terlalu
besar untuk mencari berkas yang hilang.
"Permisi..... maaf pak. Apakah bapak pernah melihat atau
menemukan berkas yang tercecer di mobil? berkas itu penting untuk saya,"
tanyaku pada salah seorang sopir.
"Maaf
dek... bapak tidak pernah liat," jawabnya.
Semua sopir yang kutemui di sana telah kutanyai dengan
pertanyaan yang sama, sayangnya semua jawaban mereka sama, tidak tahu! Aku
mulai menyalahkan keteledoranku. Seharusnya ini tidak terjadi jika aku tidak
lalai waktu itu, seharusnya berkas itu selalu bersamaku, protesku pada diri
sendiri. Akupun mulai berpikir untuk membatalkan pendaftaran itu, dengan
memberitahu mediator mengenai kendala yang aku alami.
Selang sebelum menghubungi mediator, seseorang me nelponku.
"Siapa sih ini? Mengganggu saja, apa dia tidak tahu kondisiku saat ini
?" Dalam keadaan kesal, siapa saja bisa salah saat itu. Aku mencoba
mengangkatnya.
"Assalamu
alaikum, apa benar ini saudara Baso?"
"Iya
Benar, ini siapa yah?" Tanyaku dengan penuh kebingungan
"Saya
supir angkot yang kemaren kamu tumpangi saya temukan berkas, dan kebetulan ada
nama dan nomor telpon kamu, jadi aku pikir ini punya kamu."
"Subahanallah...!!!
Bapak serius? Benar... itu punya saya.”
“Iya dek...
maaf yahh baru sempat nelpon kamu, karena bapak baru ada pulsa.”
Betapa keajaiban Tuhan datang padaku, berkas itu tertinggal
di mobil angkutan umum yang ditemukan oleh seorang supir yang saat itu
menelponku.
ADDARIAH EDISI 57, 20 APRIL 2019
Posting Komentar