BREAKING NEWS

IADI

Nadwah

Esai Pilihan

Minggu, 04 Mei 2025

Membedah Filosofi di Balik Pendeknya Bacaan Salat


Oleh: Azzahra Nur Awalia

Menjadi seorang muslim artinya menyerahkan dirinya pada jalan keselamatan, yaitu jalan tauhid dan bentuk penghambaan diri kepada Allah Swt. Untuk mencapai jalan ini, salat dipahami merupakan salah satu sarana paling utama dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Jenis ibadah ini juga merupakan sarana komunikasi  bagi  jiwa manusia dengan Allah Swt. Salat yang dibarengi dengan kekhusyukan akan membuat pikiran juga hati menjadi tenang.

Khusyuk dan shalat memiliki kaitan erat. Kaitan keduanya dapat ditemukan pada Surat Al-Mukminun ayat 1-2. Bahkan shalat khusyuk pada awal Surat Al-Mukminun ini menjadi sifat orang beriman yang beruntung.


 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ 


Artinya, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam salatnya,” (Surat Al-Mukminun ayat 1-2).

 Al-Qusyairi mengutip Surat Al-Mukminun ayat 1-2 sebagai pembukaan pembahasan perihal khusyuk dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Sedangkan pengertian khusyuk itu sendiri secara bahasa adalah ketundukan/kepatuhan kepada Allah (al-inqiyad lil haqq). (Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah,[Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 82).

Selain kekhusyukan, konsep berjamaah juga merupakan salah satu keutamaan yang tidak kalah pentingnya. Pahala salat dengan konsentrasi akan lebih berlipat ganda apabila dilakukan secara berjamaah.  Rasulullah Saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh HR. Imam Muslim: “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya yang satu menghapus kesalahan dan satunya lagi meninggikan derajat.”

Belum lagi, Allah Swt menjanjikan derajat yang berlipat ganda bagi orang-orang yang salat berjamaah di masjid 27 derajat daripada orang yang salat sendiri, sebagaimana hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh HR. Imam Muslim:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً


Artinya: “Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding salat sendirian.”

Namun, bagaimana jadinya apabila salat berjamaah yang justru menjadi penyebab hilangnya kesyahduan dalam mentautkan hati kepada Pencipta? Dimana faktor yang bisa jadi menyebabkan hilangnya kefokusan dalam berjamaah ini tak jarang merupakan bagian dari  salat itu sendiri, salah satunya adalah surah yang dibacakan terlalu panjang, 

Hal ini bukannya tanpa dasar, dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Mas’ud yang mengatakan, “Seorang lelaki berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin datang agak telat saat jamaah salat subuh karena imam si Fulan memanjangkan bacaannya.” Rasulullah Saw pun marah. Aku (Abu Mas’ud) tidak pernah melihat beliau marah melebihi marahnya saat ini. Kemudian beliau bersabda : “Wahai manusia sekalian, sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan orang lain dari agama Allah. Barangsiapa menjadi Imam salat maka hendaklah memperpendek bacaannya, karena dalam deretan makmum ada orang lemah, lanjut usia, dan memiliki keperluan.”

Islam mengajarkan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan duniawi sehingga hidup dapat berjalan dengan seimbang dan harmonis. Dari pemaparan dalil di atas, jelas bahwa meperpendek bacaan dalam salat terutama sebagai imam merupakan sunnah yang dianjurkan agar tidak menyulitkan makmum, dalil ini juga menunjukan pentingnya keseimbangan antara kekhusyukan dan kemudahan dalam salat berjamaah karena salat bukan hanya tentang panjangnya bacaan, tetapi juga menjaga kenyamanan dan kebersamaan dalam beribadah.

Nabi Muhammad Saw, adalah Nabi yang terkenal dengan kebijaksanaannya, ketika beliau menjadi imam salat,beliau membaca surat pendek dalam salat wajib agar tidak memberatkan dan mempermudah umat islam dalam menjalankan salat tanpa merasa terbebani, sesuai dengan tuntutan islam yang memudahkan. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Ra, Rasullah Saw bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya diantara kalian ada orang yang membuat orang lain lari-lari dari shalat. Barangsiapa diantara kalian menjadi imam, hendaklah ia meringankan (bacaan salatnya), karena dibelakangnya ada orang tua, anak kecil, dan orang yang memiliki keperluan”(HR.Bukhari No.703 dan Muslim No.467) 

Lantas apakah itu berarti kita tidak boleh memperpanjang bacaan saat salat? Rasulullah sendiri memberi contoh memperpanjang bacaan dalam salat sunnah, terutama salat qiyamu lail atau salat malam seperti salat tahajud dan taraweh, sebagai bentuk ibadah yang lebih mendalam dan penuh kekhusyukan.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman RA, ia berkata: "Aku pernah salat bersama Nabi ﷺ pada suatu malam. Beliau mulai membaca surat Al-Baqarah. Aku mengira beliau akan rukuk setelah 100 ayat, tetapi beliau terus melanjutkan. Aku pun mengira beliau akan rukuk setelah membaca seluruh surat, tetapi beliau masih lanjut membaca surat An-Nisa’, lalu surat Ali Imran" (HR. Muslim No. 772). 

Juga terkhusus salat taraweh yang di lakukan di dalam bulan Ramadhan, terdapat anjuran untuk memperpanjang bacaannya bagi mereka yang mampu. Dari Jabir bin Abdullah Ra, ia berkata: "Kami pernah salat bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadan. Pada malam ke-23, beliau salat bersama kami sampai sepertiga malam. Pada malam ke-25, beliau salat bersama kami sampai setengah malam. Lalu, pada malam ke-27, beliau salat bersama kami sampai kami khawatir kehilangan waktu sahur."(HR. Ibnu Hibban No. 2545, dinilai shahih oleh Al-Albani) Sunah ini memberikan fleksibilitas bagi umat islam,dimana mereka dapat menyesuaikan bacaan sesuai dengan jenis salat yang dilakukan.

Dapat dipahami bahwa pendek dan panjangnya  surah bacaan dalam salat memiliki proporsionalnya masing-masing. Dan perlu diketahui bahwa pendeknya bacaan surah di dalam shalat memiliki hikmah tersendiri. Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan umatnya. Bacaan pendek dalam salat wajib adalah bentuk kasih sayang Allah agar semua orang dapat menjalankan salat dengan ringan dan tetap khusyuk dan juga Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar menambahkan bahwa salat bukan sekadar membaca panjang atau pendeknya ayat, tetapi lebih kepada memahami dan meresapi maknanya.

Telah dijelaskan di atas bahwa sunnah untuk memperpendek bacaan salat jika kita coba pahami lebih dalam, bukan hanya sekadar sunnah biasa saja. Dari apa yang dicontohkan oleh Nabi dapat kita pahami penegasan konsep tidak ada paksaan bagi yang tidak mampu dalam Islam “لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ ”. 

Islam diturunkan sebagai agama yang membawa kemudahan, bukan kesulitan karena ibadah merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt bukan sesuatu yang terasa berat atau melelahkan.

Panjang dan pendek bacaan surah dalam salat lagi-lagi kembali kepada salat apa yang akan dikerjakan dan penyesuaian imam dalam melihat makmumnya, Fleksibilitas ini merupakan bentuk kasih sayang dari Allah dan juga mencerminkan nilai-nilai dasar islam seperti kemudahan, keseimbangan, empati dan keikhlasan. Ini menunjukan bahwa islam adalah agama yang memahami fitrah manusia dan menjadikan ibadah sebagai sesuatu yang indah bukan beban.




 


Minggu, 20 April 2025

Fenomena Ustaz Digital; Bisakah Orang Awam Mencaplok Langsung Sebuah Hukum?

Oleh: Muhammad Jurais

 Ada begitu banyak makna yang bisa muncul apabila pembaca mendengar kata ustaz digital, entah ia membayangkan seorang pendakwah yang aktif menggunakan sosmed, ataupun seorang pendakwah yang menyampaikan ceramah-ceramah formal dengan gaya kekinian, atau mungkin bisa saja sebuah metahuman atau robot yang berprofesi sebagai ustaz.

Dari sekian banyak pemaknaan, di sini penulis ingin memaparkan sebuah fenomena. Dimana kebanyakan masyarakat saat ini ketika ingin mencari sebuah hukum dari pekerjaan yang ia lakukan, ia mencari tahu melalui internet. Seakan-akan internet berperan sebagai ustaz baginya. Secara tidak langsung, ini merupakan manifestasi dari kata ustaz digital, yang bahkan dapat kita mintai penjelasan terkait apapun, kapanpun dan di manapun yang tentu menjadi nilai plus sekaligus pembeda dari ustaz-ustaz lainnya.

Secara kebiasaan, tak jarang di setiap elemen masyarakat itu memiliki beberapa orang yang mumpuni dalam ajaran islam. Di beberapa negara islam seperti Indonesia itu kerap disebut sebagai ustaz. Istilah ini digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki pengetahuan agama, khususnya islam dan mengajarkannya ke khalayak umum.

Sebagai masyarakat awam, tentu kehadiran orang yang memiliki kapasitas dalam ajaran Islam itu memiliki banyak peran penting di dalamnya. Keberadaannya bukan hanya dianggap sebagai penceramah saja, akan tetapi juga sebagai role model yang membimbing  kehidupan bermasyarakat lebih bermakna, sekaligus sesuai dengan ajaran islam.

Karena hal itu, tidak heran apabila orang yang masih awam itu menjadikan ustaz sebagai rujukan, seperti tanya jawab terkait permasalahan agama. Bukan tanpa alasan, itu dikarenakan mereka diyakini memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam. Mereka tidak asal-asalan dalam mengartikan Al-Qur’an dan hadis, akan tetapi mengartikan sekaligus menjelaskan kandungan-kandungan yang terdapat didalamnya yang tentu melalui penafsiran para ulama terdahulu.

Ketika tidak menemukan jawaban ulama terdahulu yang relate dengan kemauan penanya, ia pun mampu melakukan pendekatan lain, yaitu dengan mengeluarkan gagasannya sendiri, tetapi ada yang perlu digarisbawahi adalah cara mereka dalam mengeluarkan gagasan tersebut. Mereka tidak sembarangan dalam mengeluarkan suatu pendapat serta berhati-hati dengan hal tersebut. Ia melakukannya tentu melalui kecamata ilmu alat serta ilmu maqashid yang mumpuni. Dengan cara itu, gagasan yang dikeluarkan itu sesuai teks syariat sekaligus sesuai dengan tujuan syariat.

Di zaman sekarang, dimana teknologi sudah sangat maju dan berkembang pesat, hampir segala hal mampu dilakukan secara digital. Dari komunikasi, jual beli, hingga beberapa pekerjaan pun mengalami modernisasi yang cukup progresif. Tentu ini membuat semua pekerjaan menjadi lebih mudah dan cepat.

Tak terkecuali pada permasalahan yang satu ini, fenomena mencari hukum dan pendapat pun juga ikut terkena arus modernisasi yang cukup signifikan. Dimana seseorang mampu mencari hal tersebut di manapun dengan hanya membuka ponsel, lalu menanyakan permasalahan yang ia inginkan hanya dengan mengetik kata kuncinya. Setelah itu platform search engine seperti Yahoo, Google, dan sejenisnya akan menguraikan ribuan informasi yang berkaitan dengan hal tersebut dalam sekejap.

Tetapi yang jadi permasalahan adalah, apakah informasi yang terurai dari search engine tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya? Apakah informasi yang  pertama kali terpampang itu menunjukkan informasi yang paling valid? Ataukah informasi yang paling akhir muncul dan terletak pada laman akhir menunjukkan informasi yang paling keliru? Jawabannya tentu tidak.

Pada umumnya, seorang mujtahid dalam mencari dalil untuk menentukan sebuah hukum, itu tentu mengembalikannya pada Al-Qur’an dan hadis, ketika tidak menemukan hal yang senada/semakna dengan kedua nash tersebut, maka   ia mengembalikannya  pada konsensus para ulama atau disebut juga sebagai ijma’. Ketika sama sekali tidak menemukan hal yang semakna pada nash dan ijma’, maka dilakukanlah analogi hukum atau disebut juga sebagai qiyas.

Perlu diketahui bersama, bahwa hal diatas merupakan sumber-sumber untuk mengeluarkan hukum, yang dimana sumber sumber tersebut bersifat muttafaq atau dimiliki pada setiap 4 mazhab. Adapun yang tidak disebutkan di atas seperti saddu dzara’i (menutup jalan yang mengarah pada keburukan) atau ‘urf (kebiasaan masyarakat) merupakan sumber yang masih diperselisihkan dalam mazhab-mazhab tersebut.

Kembali pada sumber-sumber yang umum, ini dapat diuraikan dan diimplementasikan pada permasalahan hukum sewa menyewa, dalam kitab Qadhaya Fiqhiya Mu’assarah disebutkan bahwa sewa menyewa memiliki dalil yang padaAl-Qura'an yang berbunyi:

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,  maka berikanlah kepada mereka upahnya” (QS. Al-A’raf : 12)

Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan kebolehan akad sewa menyewa, tepatnya pada lafaz fa ātụhunna ujụrahunn, lafaz ini menunjukkan bahwasanya sewa menyewa sudah ada dari zaman dulu, lebih tepatnya dalam bentuk rada’ (jasa menyusui anak) dan harus diberikan imbalannya.

Atau dalam hadis pun dijelaskan bahwasanya Nabi bersabda:

“Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering”

Di sini sangat jelas tentang pensyariatan akad sewa menyewa, disebutkan bahwasanya ketika melakukan akad sewa menyewa khususnya dalam hal jasa, Nabi memerintahkan untuk segera memberikan upah pekerja tersebut ketika selesai mengerjakan suatu pekerjaan.

Dalam ijma’ pun, Ibnu Qudamah mengatakan bahwasanya ulama dari zaman salaf sampai khalaf dan ulama di seluruh dunia pun telah bersepakat atas kebolehan akad sewa menyewa ini.

Dalam qiyas pun tidak terlewatkan, bahwa akad sewa menyewa ini dianalogikan dengan akad jual beli, ketika akad jual beli barang dibolehkan, secara tidak langsung akad sewa menyewa barang pun dibolehkan. Itu karena memiliki kesamaan dalam hal jual beli, bedanya adalah sewa menyewa itu melakukan transaksi jual beli manfaat/jasa.

Sesuai uraian kitab di atas dapat disimpulkan, bahwa sebegitu rumit dan kompleksnya ulama dalam mencari suatu hukum, bahkan ketika sudah menemukannya di Al-Qur’an dan hadis pun, mereka masih mencari dengan metode-metode lain. Tidak lain agar kaum muslimin dapat melakukan mu’amalah tersebut dengan sangat yakin, tanpa keraguan yang terkadang membuat hati gusar.

Hal ini berbanding terbalik ketika mencarinya di internet, alih-alih mendapatkan jawaban seperti di atas, terkadang kita malah mendapatkan hukumnya secara langsung, tanpa terurai dengan jelas dalilnya dari mana. Belum lagi ada beberapa faktor yang membuat hukum yang tampil pada laman tersebut, itu berkemungkinan besar mengalami kecacatan atau ketidakakuratan, entah karena kurangnya kredibilitas sumber, distorsi, dan adanya tafsir sepihak.

Bahkan skenario terburuknya, adalah ketika seseorang mendapatkan hukum yang ia cari di internet tersebut, lalu mendakwahkannya seakan-akan ia sendiri yang berijtihad dan mengeluarkan sendiri hukum yang ia cari tadi. Bahkan bersikap seolah-olah jawaban itu merupakan jawaban yang paling benar, sekaligus mengklaim bahwa yang menyelisihinya akan mendapatkan dosa.

Ini sejalan dengan tujuan dibentuknya Komite Penasehat Fatwa Al-Azhar oleh Grand Syekh Ahmad Tayyib. Beliau menunjuk tujuh ulama senior yang bertugas memastikan bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan metodologi Al-Azhar dan mendisiplinkan semua lembaga fatwa yang berafiliasi kepada Al-Azhar. Komite ini diawasi langsung oleh mantan deputi Al-Azhar, Syekh Abbas Shaman.

Langkah beliau dalam menangani hal ini tentu untuk mencegah munculnya fatwa kontroversial yang dapat membingungkan masyarakat. Dimana fatwa seperti ini sangat riskan muncul ketika mencarinya melalui internet. Walaupun tidak dijelaskan secara spesifik yang menyatakan hal ini secara eksplisit, tentu tindakan dan kebijakan yang diambil oleh Grand Syekh tersebut merupakan cerminan dari prinsip diatas.

Pada situs NU Online, Dosen Hukum Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia pun menambahkan hal yang senada, bahwa apa yang kita cari di internet itu hanya sebatas apa yang diperlukan saja, karena tujuan awal dalam mencari dasar hukum hanya untuk memantapkan amalan yang telah kita lakukan. Tidak lebih juga tidak kurang.

Berangkat dari sini, penulis pada dasarnya ingin menegaskan bahwa sejatinya, mencari sebuah hukum di internet itu tidak sepenuhnya salah. Internet bisa menjadi sumber informasi yang berguna jika digunakan dengan benar, apalagi berkaitan dengan mencari hukum yang tentu membuktikan bahwasanya internet juga bisa digunakan dalam hal-hal kebaikan.

Tetapi ada batasan dan kehati-hatian yang perlu diperhatikan ketika mencari hal tersebut di internet, salah satunya seperti hanya bermaksud untuk memantapkan apa yang kita amalkan. Tidak lain dan tidak bukan karena ijtihad atau mengeluarkan hukum tentu memiliki ketentuan-ketentuan yang rumit dan terbilang sangat sulit. Itu karena memerlukan ilmu agama yang luas, pemahaman konteks zaman, keterikatan dengan prinsip syariat, serta tanggung jawab yang besar di hadapan Allah swt.

  


Minggu, 13 April 2025

Don’t Judge Book By It’s A Cover Ala Rasulullah SAW; Paradoks Antara Estetika Dan Kesederhaan


Oleh: Muhammad Fadhli

“Don’t judge book by its cover” adalah ungkapan dalam bahasa Inggris yang sering kali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat tersebut telah menjadi istilah yang acap kali digunakan oleh masyarakat untuk mengingatkan bahwa cover atau penampilan luar tidak dapat menjadi sebuah tolak ukur, yang menjadikan bahwa penampilan tidak dapat menentukan atau menggambarkan isi dari sesuatu.

Penggunaan istilah Don’t judge by its cover digunakan ketika sesuatu tersebut dipandang sebelah mata oleh seseorang, lantas mucullah pembelaan diri dari yang diremehkan “jangan memandang hanya dari luarnya saja”. Sebagai contoh di zaman yang serba canggih ini, ketika kita melihat perawakan seorang yang memakai tato, kita akan dengan cepat menilai bahwa orang tersebut memiliki watak yang keras dan kasar, padahal setelah kita mengenalnya lebih dalam, dia adalah sosok dengan kepribadian yang lemah lembut.

Ada beberapa pendapat terkait pertama kalinya istilah tersebut muncul, salah satunya adalah yang ditulis oleh George Elloot yang mengatakan bahwa penggunaan frasa tersebut muncul pertama kali pada 4 april 1860 ketika ia menulis karyanya sebanyak tiga jilid dengan judul, The Mill on the Floss. Dan Tulliver juga menggunakan frasa tersebut ketika membahas The history of the devil karya Daniel Defoe, dan mengatakan betapa indahnya jilid buku tersebut.

Kemudian frasa tersebut kembali muncul ketika digunakan lagi di tahun 1944, yang diterbitkan oleh The African journal american speech ”You can’t judge a book by its binding”. Dan kembali menjadi populer dalam misteri pembunuhan tahun 1946, murder in the glass room, “you can never tell a book by its cover”. Kemudian ungkapan tersebut tetap eksis hingga sekarang ini.

Di sisi lain, kita sendiri sebagai umat muslim mengenal ajaran Rasulullah terkait menjaga estetika.  Banyak riwayat yang diceritakan dan ditulis oleh ulama kita terkait ajaran tersebut, dikisahkan secara mutawatir hingga sekarang ini, tentang bagaimana sifat Allah SWT. yang Maha indah dan bagaimana nabi Muhammad SAW. mengajarkan kita untuk selalu menjaga penampilan dengan rapi, bersih dan indah. Salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh muslim dari ibnu mas’ud RA., tentang Allah SWT. Sang Maha Indah dan mencintai keindahan. Rasulullah SAW bersabda “innallah jamilun yuhibbul jamal”   “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.”

Lantas bagaimana sebenarnya nabi muhammad SAW. memandang dan menyikapi istilah di atas, bukankah anjuran beliau yang mengedepankan estetika, kerapian serta keserasian pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam berpakaian terksesan bertolak belakang dengan konsep penilaian don’t judge a boot by its cover yang banyak digandrungi oleh orang-orang sekarang.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu mengkaji kembali kepribadian Nabi yang bersinggungan langsung dengan frasa ini. Dikisahkan dalam kitab syarah hikam yang berjudul  Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam karangan Al imam Ibnu Ajibah Al-Hasani yang diambil dari kutipan hadis, bahwa Nabi hendak menguji sahabatnya, Aqra. Beliau menanyakan tentang orang miskin yang lewat di hadapannya, lalu Aqra menjawab, “Wahai Rasulullah SAW., bahwa menurut saya dia adalah lelaki muslim yang miskin. Jika dia berbicara maka tidak ada yang mendengarnya dan jika dia melamar perempuan maka tidak ada yang menerima lamarannya dan jika dia isti’dzan meminta sesuatu, pasti dia tidak mendapatkan apa yang dia minta" Mendengar jawaban Aqra, Nabi pun terdiam.

Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, nabi muhammad SAW. Berkomentar bahwa orang yang dia katakan sebagai orang yang miskin dan melarat tersebut adalah orang yang sangat luar biasa kebaikannya disisi Allah SWT. Jika orang tersebut bersumpah dengan nama Allah SWT, maka Allah SWT akan mengabulkan apa sumpahnya. Salah seorang ulama mengomentari kisah diatas, bahwa kita tidak boleh dengan mudah menilai seseorang melalui penampilan yang orang lain kenakan.

Dari kisah diatas, kita dapat mengambil sebuah pelajaran untuk tidak terlalu cepat menilai seseorang berdasarkan penampilannya saja, berdasarkan apa yang tampak secara lahiriahnya saja, Dimana hal ini sebenarnya sejalan dengan frasa di atas.

Namun bukan berarti kita boleh untuk menyepelekan dan tidak memedulikan penampilan luar yang kita kenakan. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW justru selalu mengajarkan dan menganjurkan kepada kita umatnya untuk selalu mengedepankan estetika pada penampilan, kerapian serta keserasian pada hal-hal yang bersifat lahiriah utamanya dalam berpakaian.

Ada begitu banyak firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk selalu memerhatikan nilai-nilai pada penampilan yang dikenakannya. Begitu juga dengan  hadis-hadis Nabi yang menganjurkan umatnya untuk selalu berpakaian dengan rapi, indah dan serasi, dalam kehidupan sehari-hari.

Nabi Muhammad SAW. memberikan kita contoh dengan mempraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-harinya, pada masalah estetika dalam menjaga penampilan lahiriah, utamanya dalam berpakaian. Beliau dalam sabdanya selalu memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk memperhatikan penampilan yang mereka kenakan.

Dalam sebuah Riwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari no.5476 dan Muslim no. 2079, Anas bin Malik berkata:  كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَة

Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah SAW. Adalah hibarah.”                                          

Ibnu Bathol mengomentari hadis diatas, berkata bahwa “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn” dan Al-Qurtubhi berkata tentang pakain hibaroh ini  sebagai berikut “Dinamakan hibaroh karena pakaian tersebutتحبرة   yaitu menghias dan mengindahkan.”

Dalam sebuah Riwayat, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW. Bertanya kepada sahabat “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu)”. Maka Rasullah SAW. berkata kepadanya

فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ

“Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu”

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong diri) serta tidak sampai pada derajat pemborosan.”

Kemudian para sahabat melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk tampil dengan rapi dan bersih, karena tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan merupakan aspek yang pertama kali dinilai oleh orang lain. Kini, tampil rapi dan menarik tidak lagi diartikan sebagai sebuah kesombongan. Namun menjadi anjuran bahkan suatu keharusan, terutama bagi seseorang yang memiliki kharisma dan posisi penting dalam masyarakat, demi menjaga kehormatan dan wibawanya di hadapan masyarakat.

Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, salah seorang dosen universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, memaparkan secara  secara gamblang melalui kisah Ibnu Abbas dan Khawarij,  tentang bagaimana penampilan begitu sangat berperan penting dalam mempengaruhi psikologis lawan debatnya sehingga mampu secara tidak langsung memengaruhi pemikiran kaum Khawarij.

Beliau menjelaskan secara jelas, Ketika Ibnu Abbas RA diperintahkan oleh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Talib untuk mengunjungi kaum Khawarij guna membahas beberapa permasalahan yang berselisih paham, beliau mendatangi mereka dengan mengenakan jubah terbaik (terbuat dari yaman). Abu Zumail berkata: “Ibnu Abbas adalah orang yang berwajah tampan dan berpenampilan rapi”. Tatkala kaum Khawarij melihatnya, mereka berkata: “Selamat datang, selamat datang kepada Ibnu Abbas, mengapa anda memakai jubah seperti ini?”. Beliau menjawab; “Mengapa kalian mengingkarinya, padahal aku telah melihat Rasulullah SAW. berpenampilan seperti ini?. Kemudian beliau melanjutkan dengan membaca ayat: “Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga rezeki-rezeki yang baik (halal)”. (QS al-A’raaf:32).

Dari pemaparan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, Ibnu Abbas RA memulai diskusi dengan sangat baik. Pertama-tama ia memakai jubah yang terbaik buatan Yaman. Beliau ingin menarik perhatian mereka dan menggerakkan akal pikiran kaum Khawarij, untuk menyadarkan, bahwa mereka telah meninggalkan sunah-sunah estetika dan etika yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Padahal hal tersebut sangat membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqasid syariah yang beliau maksudkan.

Berdasarkan kisah di atas, kita dapat melihat bagaimana penampilan bisa menjadi sebuah aspek penting yang perlu diperhatikan. bahwa tidak dapat dipungkiri, pakaian dapat menentukan penilaian orang lain terhadap hal yang kita sampaikan, sehingga apa yang kita sampaikan, dengan aspek psikologis yang dihasilkan dari penampilan, dapat membuat pendengar yakin dengan apa yang kita sampaikan.

Secara lebih mendalam, kita dapat mengatakan bagaimana pakaian dapat menentukan nilai dari orang yang mengenakannya. begitupun sebaliknya, seseorang juga dapat menentukan penilaian orang lain terhadap dirinya berdasarkan pada penampilan yang akan dikenakannya. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa betapa pentingnya tampak lahiriah dalam memberikan kesan dan penilaian dari masyarakat.

Lebih lanjut, Dr. Usamah Sayyid al-Azhary mengomentari tentang orang yang tidak memiliki estetika pada penampilan. Beliau menambahkan bahwa pada saat seseorang kehilangan atau tidak memiliki rasa estetika, kerapian dan keharmonian pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam pakaian, maka secara perlahan hal itu juga akan hilang dari metode berpikirnya. Sehingga, ia akan menghasilkan pemikiran yang tidak sesuai, tidak teratur dan kehilangan spirit yang ada di dalam syariat dan maqashid-nya. Dengan demikian ia akan memberikan sebuah perspektif yang keliru kepada masyarakat.

Sayangnya, kesalahpahaman terkait frasa don’t judge a book by its cover ini tak jarang menjadi paradoks yang menjadikan orang-orang menganggap bahwa penampilan bukanlah suatu hal yang mesti diperhatikan. Menjadikan frasa tersebut sebagai dalih, banyak orang mulai meninggalkan keelokan, bahkan kerapian penampilan.yang sebenarnya mereka sanggup untuk aplikasikan. Padahal jika ditilik lebih dalam, syariat justru sangat menganjurkannya.

Contoh kecilnya bisa kita ambil dari kisah kaum Khawarij tadi, yang secara tidak sadar menjadikan akal pikiran mereka untuk mencari lebih jauh, yang tanpa mereka sadari bahwa Ibnu Abbas telah berhasil membuat mereka sadar bahwasanya mereka telah keluar, menyimpang dan sesat. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang benar dan sesuai dengan syariat padahal mereka tidak paham pada persoalan-persoalan remeh seperti nilai estetika penampilan.

Hal ini benar-benar terjadi pada sebagian kelompok di zaman kita saat ini. Mereka tetap berpenampilan buruk, kusut dan tidak enak dipandang di tengah masyarakat, dan mereka mengira telah mengikuti dan mempraktikkan sunah Nabi Muhammad SAW. sehingga tanpa diragukan lagi, itu sangat berdampak pada penilaian masyarakat kepada mereka, khususnya ketika menjalankan syariat agama.

Dari hal-hal tersebut, dapat kita mengambil pelajaran dan menarik kesimpulan bahwasanya Nabi kita, Muhammad SAW. adalah pribadi yang selalu mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu cepat menilai orang lain hanya berdasarkan penampilan lahiriahnya saja, semua itu dengan tetap beliau juga memerintahkan dan mencontohkan umatnya untuk selalu memperhatikan penampilan mereka.

Karena bagaimanapun juga, tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan merupakan penentu pertama dari penilaian orang ketika bertemu, dan mempunyai nilai-nilai estetika dan etika dalam penampilan sangat membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqashid syariah, sehingga dapat membantu masyarakat dalam memberikan perspektif yang tepat dalam sebuah masalah.

Dengan demikian, semestinya publik khususnya umat muslim harus selalu untuk berusaha mengenakan pakaian yang rapi, bersih dan indah. Dengan mengikuti sunah dan aturan yang telah dicontohkan oleh nabi muhammad SAW. Sehingga umat islam tidak berpatok hanya pada ungkapan don’t judge book by its cover yang telah menjadi acuan mereka ketika memperhatikan orang lain, tetapi juga tetap mengamalkan nilai estetika dalam berpakaian seperti yang disunahkan yang Nabi Muhammad SAW.

 

Rabu, 09 April 2025

Membongkar Tafsir Marah; Menelisik Napas Panas Keimanan

Oleh: Aqsha Rif'at RM Saeed

Pernah dengar soal “tafsir marah”?. Ini bukan tentang orang yang baca Al-Qur’an sambil kesal karena belum hafal ayat. Ini lebih serius, sebuah penafsiran kitab suci yang diwarnai dengan amarah, klaim kebenaran mutlak, dan semangat menyalahkan orang lain. Fenomena ini ibarat virus yang menyusup kedalam pemikiran keagamaan, mengubah ayat-ayat damai menjadi dalih untuk kekerasan.

Fenomena ini ternyata sudah ada dari zaman para ulama kita terdahulu. Dalam hal ini, khawarij adalah salah satu kelompok yang kerap menggunakan ayat suci Al-Qur’an sebagai dalih untuk membenarkan pendiriannya. Pemahaman mereka terhadap ayat-ayat suci justru melahirkan pemikiran ekstrem seperti mudah mengafirkan (takfiri) sesama muslim. Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan pernyataan Ibnu Umar yang mengkritik cara pandang Khawarij, “Sesungguhnya mereka (khawarij) telah melemparkan ayat-ayat (Al-Qur’an) yang turun (tertuju) kepada orang kafir, lalu justru menjadikan ayat-ayat tersebut (tertuju) kepada orang-orang beriman”.

Inilah yang kemudian diistilahkan oleh Dr. Usamah Sayyid Al-Azhary sebagai “tafsir marah”. Sebuah pendekatan terhadap Al-Qur’an yang mengubah ayat-ayat suci menjadi senjata untuk kekerasan, pengafiran, dan pemecah belah umat. Membungkus kekerasan dengan retorika “pemurnian agama” serta argumentasi yang hanya bersandar pada teks, namun mengabaikan konteks, sejarah, dan semangat rahmatan lil ‘alamin yang menjadi jantung ajaran islam.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan teologis, melainkan ujian bagi kemanusiaan. Bagaimana mungkin kitab suci yang menyeru pada perdamaian justru dijadikan tameng untuk menjadi alat intimidasi? Tulisan ini hadir untuk mengupas dinamika “tafsir marah” dari akar sejarahnya, hingga dampaknya yang merobek harmoni sosial.

Selama delapan dekade terakhir, tercatat beberapa kelompok yang sangat bersemangat ingin menghidupkan kembali nilai-nilai islam. Sebut saja Al-Qaeda, ISIS, dan sebagainya. Mereka menulis buku, berkarya lewat puisi, atau berpidato dengan jiwa berapi-api. Upaya ini berangkat dengan niat yang sebenarnya mulia, mengabdikan diri kepada syariat islam dengan semangat untuk memperjuangkannya.

Kehadiran kelompok-kelompok ini tidak lepas dari kegelisahan pasca runtuhnya khilafah. Di saat umat islam seolah terombang-ambing menghadapi ombak yang ganas, di tengah tragedi-tragedi sejarah yang memilukan, peristiwa-peristiwa yang simpang siur, dan banjir informasi yang saling berbenturan. Di tengah situasi itu, mereka mencoba menjadi “penjawab” keresahan umat.

Sayangnya, di balik niat yang mulia itu tersembunyi masalah mendasar. Semangat membara yang tidak diimbangi pendalaman pada metodologi keilmuannya. Gerakan yang lahir dengan menawarkan janji mengembalikan kejayaan islam melalui pendekatan yang mereka klaim “murni” dan “kembali ke sumber”. Menyajikannya dengan bahasa agama yang mudah dicerna kemudian dikemas dengan mencampur antara syair penyemangat, kisah heroik masa lalu, dan kutipan dalil yang seolah menjawab semua masalah kekinian yang akhirnya dapat membuat seorang muslim terpesona dan tanpa sadar tenggelam dalam pola pikir mereka yang gemar menyalahkan dan mudah mengafirkan. Cara pandang yang berpotensi jauh dari semangat rahmatan lil alamin.

Paradigma takfiri yang selalu digaungkan kelompok-kelompok tersebut dibangun dari beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh al-Ustadz Sayyid Qutb. Misalnya pada firman Allah SWT. “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44). Dalam memahami ayat ini, ia terpengaruh oleh pemikiran al-Maududi, dengan menyimpulkan bahwa setiap individu yang tidak menerapkan hukum islam dihukumi kafir, meskipun secara keyakinan orang tersebut mengakui bahwa ayat itu benar dan merupakan wahyu ilahi. Lebih jauh, Sayyid Qutb tetap mengafirkan pihak yang tidak menerapkan syariat, sekalipun orang tersebut tidak mampu menerapkannya karena satu dan lain sebab.

Pemahaman ini bertolak belakang dengan pandangan para Ulama dari generasi ke generasi, sejak zaman para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- sampai sekarang. Misalnya, dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi mengutip penafsiran sahabat Ikrimah ra. terkait ayat di atas bahwa ayat ini secara khusus merujuk kepada orang yang secara batin mengingkari kebenaran hukum Allah dan secara terang-terangan menolaknya melalui ucapan. Adapun orang yang meyakini akan kebenaran ayat tersebut dalam hati, kemudian mengikrarkannya secara lisan, namun terhalang oleh kondisi eksternal yang tidak memungkinkannya untuk menerapkannya, maka statusnya tetap dianggap sebagai orang yang berhukum dengan syariat Allah. Dalam hal ini, keterbatasan kemampuan atau situasi yang menghambat pelaksanaan tidak serta-merta menggugurkan pengakuan iman dan kesungguhan niatnya, selama keyakinan tersebut tetap utuh.

Kekeliruan Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat ini terletak pada kecenderungannya yang terkesan ingin memaksakan hitam-putih pada setiap lukisan tanpa mempertimbangkan nuansa keunikan dan keragaman warna realita. Sikap ini lahir dari konsep lainnya, yang juga diinisiai oleh Sayyid Qutb. Dalam hal ini, beliau menjadikan konsep hakimiyah (berhukum dengan hukum Allah) sebagai tolok ukur keimanan. Berbeda dengan pendekatan kebanyakan ulama yang menekankan bahwa kekafiran hanya muncul dari penolakan atau pengingkaran terhadap kebenaran hukum Allah.

Misalnya ketika Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa menyampaikan penafsiran mengenai firman Allah SWT. tersebut. Beliau menegaskan bahwa makna QS. Al-Maidah: 44 tersebut bukan sekadar tentang tindakan tidak menggunakan hukum Allah, melainkan lebih pada penolakan terhadap kebenaran dan sikap melawan otoritas hukum-Nya. Dengan kata lain, status kafir baru muncul ketika ada unsur kesengajaan untuk menentang hukum Allah dengan kesombongan seraya mengingkarinya. 

Di sisi lain, ketidaktepatan pada pendekatan Sayyid Qutb dalam memahami firman Allah SWT.  juga terdapat pada ayat. “Tidak ada hukum melainkan hukum Allah.” (QS. Yusuf: 40). Menurut pandangan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, ayat ini sejatinya menegaskan otoritas mutlak Allah dalam menetapkan halal-haram, wajib, ataupun sunah. Para ulama tafsir dan ushul fikih sepakat manusia termasuk Nabi dan ulama tidak menciptakan hukum baru, melainkan penjabaran dari ketetapan-Nya. Di level akidah, ini prinsip tak tergugat.

Akan tetapi saat turun ke praktek (fikih), dimana fikih terkait erat dengan sebab, ‘illah, syarat dan mani’, timbullah interaksi masyarakat dengan pedoman-pedoman fikih di mana di antara mereka ada yang menjalankannya dengan baik, serta ada juga yang melakukan kesalahan dan kekurangan dalam menjalankannya. Kekeliruan dan ketidaksempurnaan ini wajar selama bukan penolakan terhadap otoritas Allah, melainkan bagian dari dinamika manusia dalam belajar dan berusaha menjalankan syariat.

Namun dalam pandangan Sayyid Qutb, ia menyamakan ketidaksempurnaan masyarakat dalam menjalankan fikih sebagai bentuk pemberontakan terhadap hak Allah, bahkan mencap pelakunya sebagai kafir. Padahal dalam praktiknya, tak ada manusia yang dapat menjalankan hukum fikih secara sempurna tanpa cela. Fikih sendiri adalah hasil upaya memahami teks suci yang bersifat interpretatif (zhanni) di banyak aspek, kecuali dalam hal-hal yang sudah disepakati (qath’i). Proses ijtihad meski dilakukan dengan metode ketat, tetap memberi ruang untuk perbedaan atau kekeliruan. Ini bukan penolakan terhadap otoritas Allah, melainkan bukti bahwa manusia memang tak luput dari keterbatasan dan syariat hadir untuk memahami kelemahan manusia, bukan menuntut kesempurnaan.

Rasulullah SAW. sendiri mengingatkan di dalam hadisnya bahwa setiap mujtahid berpotensi benar atau salah dalam berijtihad, namun upaya tersebut tetap bernilai pahala selama dilandasi keikhlasan. Para sahabat, tabi’in, hingga imam mazhab pun kerap berbeda pandangan dalam menafsirkan hukum, tanpa saling menuduh keluar dari agama. Justru, dinamika inilah yag membuat fikih tetap relevan dan lentur menghadapi perubahan zaman.

Buah dari pemikiran yang berkembang ini sayangnya menciptakan citra kelam tentang Islam di mata dunia. Konsep “amar ma’ruf nahi mungkar” yang idealnya diwujudkan dengan kebijaksanaan dan penuh cinta kasih, ketika menjadi alat untuk menghakimi orang, membuat Islam dianggap sebagai agama yang kaku, penuh dengan intoleran, dan gemar menyalahkan. Padahal, islam secara esensi mengajarkan persaudaraan, dialog, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Sebagai umat yang mencintai ilmu, sudah selayaknya kita menyikapi setiap pemikiran dengan bijak, lewat bacaan yang lebih mendalam dan mengkajinya, serta mengedepankan dialog dan diskusi yang mencerahkan. Dengan pemaparan di atas, bukan berarti kami menebar narasi kebencian kepada Sayyid Qutb dan seakan pemikiran seperti di atas hanya ada pada dirinya. Beliau telah meninggal dunia dan menghadap Allah yang Maha adil lagi Maha Bijaksana. Pun, setiap kita seperti beliau, memiliki potensi untuk melahirkan gagasan. Namun, keagungan seorang manusia terletak pada kesediaannya untuk terus belajar, terutama sebagai muslim yang memiliki Al-Qur’an sebagai cahaya petunjuk yang tak pernah redup.

Hal yang ingin penulis tekankan dalam tulisan ini adalah tak lain dan tak bukan bahwa cahaya Islam hadir untuk menerangi, bukan membakar. Ia mengajak kita membangun dengan kelembutan, bukan merusak dengan saling menyalahkan tanpa mau belajar dan berdiskusi. Mari jadikan Al-Qur’an sebagai lentera yang menyinari akal dan hati. Sebab, di balik setiap ayat-Nya tersimpan pesan kasih, hikmah, dan ajakan untuk memanusiakan sesama.

 


Senin, 24 Maret 2025

Setan Dalam Dua Dunia; Saintis dan Agamawan

 


Oleh: Hamsah Hasbar

Istilah setan, atau hal-hal gaib lainnya masih menjadi satu hal yang samar akan keberadaannya di kalangan masyarakat indonesia atau bahkan dunia. Kehidupan modern dengan perkembangan sains yang pesat, mendorong manusia menggunakan nalar lebih banyak daripada hanya mengikuti doktrin-doktrin tanpa asal-usul yang jelas keilmiahannya. Tentu ini banyak berpengaruh terhadap paham-paham yang telah lama tertanam di beberapa belahan penduduk dunia, dan indonesia merupakan negara yang hampir semua penduduknya menganut agama samawi, yang mengamini adanya sesuatu yang gaib atau makhluk yang tak kasat mata. 

Kaum rasional, yang bermula muncul di  bagian Eropa dunia, menganggap sesuatu yang gaib itu hanya doktrin kuno yang tidak bisa dibuktikan keilmiahannya. Bahkan fenomena alam gaib yang terjadi, seperti kesurupan, ketindihan dan sebagainya, itu semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah melalui pendekatan sains modern, dan sains masih terus menerus berkembang mempelajari keadaan manusia sampai sekarang, meski masih ada beberapa di antara kasus gaib itu yang belum terpecahkan (belum terjelaskan secara ilmiah). Tentu ini sangat bertolak belakang dengan paham-paham sebagian kelompok yang menganggap hal gaib itu ada, tentu dengan pembuktian keabsahannya. Jadi apakah benar setan dan sejenisnya itu ada atau hanya warisan kuno yang dibuat-buat? Dan bagaimana memandang dua paham yang berbeda ini?

Pertama-tama kita akan membahas secara singkat awal mula kemunculan istilah gaib. Kata gaib berasal dari bahasa arab yang berarti sesuatu yang tersembunyi, tidak tampak, atau hal yang berada di luar jangkauan indera manusia. Tapi jauh sebelum datangnya islam yang memperkenalkan istilah gaib, di peradaban umat sebelumnya sudah mengenal seuatu yang mereka percaya akan adanya sesuatu yang di luar indra yang dipercaya memiliki kekuatan di luar kemampuan manusia. Peradaban yunani kuno misalnya, yang percaya dengan kekuatan dewa-dewa penguasa , di Mesir kuno juga mempercayai adanya kekuatan sihir dll.

Setidaknya, sedikit poin utama dalam hal ini adalah bahwa kepercayaan akan sesuatu yang gaib bukanlah berasal dari doktrin agama belaka karena jauh sebelum agama datang, peradaban umat manusia sudah mengenal hal gaib meski dengan sebutan dan keyakinan yang berbeda-beda. Justru dengan datangnya agama samawi itu untuk memberikan batasan, atau beberapa ketentuan mengenai hal gaib. Contohnya dalam agama islam yang mengenalkan sosok malaikat, jin, alam akhirat, dan sebagainya. Membatasi dalam hal ini berarti bahwa membedakan antara yang gaib dengan yang bukan. Mana yang real sesuatu yang gaib dan mana yang hanya buatan manusia atas dasar ketidaktahuan atau melebih-lebihkan dengan maksud mengambil keuntungan di beberapa kondisi tertentu. Agama juga datang dengan memberi ketentuan-ketentuan dalam menyikapinya. Percaya akan keberadaan malaikat misalnya, atau surga dan neraka, atau bahkan keberadaan setan yang akan menjadi titik bahasan kedepannya.

Kita akan sedikit mundur sekitar abad 14 sampai 17 M, yang saat itu terjadi perubahan signifikan di benua Eropa. Pergerakan yang membawa peradaban Eropa yang sebelumnya tertidur dan terbelenggu pada dogma-dogma ajaran yang mengikat, menuju kepada kebangkitan pemikiran yang super modern seperti yang kita lihat saat ini. Mereka sudah terlalu capek dibodoh-bodohi dengan ajaran-ajaran buatan manusia yang dicanangkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi saat itu, yakni gereja. Masa ini disebut masa Renaissance. Di mana asas ilmu pengetahuan benar-benar didasari pada sumber penelitian ilmiah  yang teruji dan lebih kritis , bukan hanya dengan doktrin semata. Di masa inilah muncul beberapa tokoh-tokoh pemikir besar yang lebih mengedepankan nalar dan rasional berpikir. Seperti Leonardo da Vinci dan Galileo Galilei.

Hal ini yang nantinya berdampak pada kepercayaan sebelumnya mengenai hal-hal gaib. Penulis akan sedikit mengerucutkannya dalam suatu hal yang kadang kita sebut makhluk halus. Menurut kaum rasional, melalui beberapa penelitian ilmiah, pristiwa mistis yang terjadi selama ini, hanya doktrin agama yang sebenarnya bisa dijelaskan dalam ranah sains, yang dengan mengetahui sebab dari sesuatu itu maka kita lebih bisa merespon sesuatu tersebut dengan cara yang lebih tepat dan masuk akal.

Melihat penampakan hantu misalnya. Selama ini kita sering mendengar dari pengalaman beberapa orang yang mengaku pernah melihat hantu dengan mata kepalanya sendiri. Dan ini terjadi bukan hanya pada satu orang melainkan banyak. Hingga kasus ini dan beberapa kasus lainnya seperti kesurupan dan ketindihan menjadi dalih kuat keberadaan hantu. Bisakah sains menjelaskan hal ini?

Cania citta, seorang pemudi intelektual, dalam chanel Malaka, menjelaskan dalam kasus yang sama, yakni melihat penampakan dan bagaimana sains merespons hal ini. Menurutnya kasus penampakan, melihat sosok hantu atau mendengar bisikan-bisikan aneh merupakan gangguan psikis yang disebut skizofrenia.

Nah apa itu skizofrenia? dr. Renate dalam chanel alodokter menjelaskan bahwa “skizofrenia adalah salah satu gangguan mental kronis yang bisa mempengaruhi pola pikir, persepsi, tingkah laku, emosi dan kemampuan berkomunikasi penderitanya. Gejala skizofrenia positif diantaranya adalah halusinasi. “Jadi halusinasi ini merupakan perasaan saat seseorang mengalami sesuatu yang sebenarnya enggak nyata. Misalnya nih kayak mendengar bisikan-bisikan tertentu atau melihat sesuatu yang sebenarnya nggak ada. Biasanya sih pada penderita skizofrenia, halusinasi pendengaran merupakan bentuk halusinasi yang paling sering terjadi,” ungkapnya.

Kasus lainnya adalah ketindihan, yang dalam istilah medis disebut sleep paraylysis. Dikutip dari laman resmi alodokter.com, sleep paralysis adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak bisa bergerak atau berbicara saat bangun tidur atau ketika akan tidur. Jadi ketika kita berada di siklus  tidur, tubuh akan menjadi lemas. Otak sengaja melumpuhkan anggota tubuh supaya bisa merepair atau memperbaiki fungsi organ yang lain. dr. Zicky yombana, seorang spesialis saraf menambahkan, ada beberapa kondisi saat kita tidur, ketika otak sudah di fase bangun tapi badan masih belum kuat, akhirnya kita terbangun tapi gak bisa gerak. Nah karena memang masih masa peralihan tidur dan bangun, disini sering muncul halusinasi maka kebanyakan orang akan mengalami halusinasi, dan ini akan muncul berdasarkan budaya setempat.

Terus bagaimana dalam pandangan agamawan? Setan atau istilah gaib lainnya juga sangat kental dalam pemahaman agamawan. Lebih seringnya digambarkan sebagai musuh umat manusia dalam mengabdi dan menyembah kepada tuhan. Setan akan terus menggoda dan menjauhkan hubungan manusia dari tuhannya. Manusia yang selamat dari rayuan setan akan menjadi dekat kepada tuhannya. Pun sebaliknya, yang mendengarkan rayuannya hingga jatuh ke dalam perangkapnya akan jauh dari petunjuk tuhan.

Prof. M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul ‘setan dalam Al Qur’an’ menyebutkan bahwa manusia Barat biasanya hanya mengandalkan nalar. Rasio adalah mahkota dan kodrat manusia, dan alam adalah benda mati yang harus ditaklukkan serta dikuras. Begitu pandangan banyak di antara manusia Barat. Adapun manusia Timur, mereka mengandalkan intuisi dan memandang alam memiliki jiwa yang dalam banyak hal, membutuhkan persahabatan. Makhluk halus adalah sebagian dari jiwa itu. Makhluk halus itu berwujud dan berkepribadian. Demikian yang banyak didengar sebagai pandangan manusia Timur.

 

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan anugrah akal. Kendati demikian, mau sekuat apapun usaha manusia dalam menggunakan akalnya, itu akan tetap terbatas. Sehingga manusia tidak bisa menjadikan akal sebagai tuhan dalam arti hanya mengamini sesuatu dari apa yang diamini oleh akalnya saja. Banyak hal yang berada diluar jangkauan akal. Contohnya misalnya sesorang yang mengklaim ketiadaan sesuatu yang tidak berwujud, dan hanya menganggap sesuatu itu ada ketika mampu melihatnya atau memahaminya dengan indera atas dasar kerasionalan.

Semakin kuat mereka meyakini hal ini menggunakan akal semakin runtuh pula klaim ini. Dia bepegang pada akalnya atas dasar rasional padahal sebenarnya akal itu sendiri merupakan sesuatu di luar jangkauan manusia. Karna keberadaan akal merupakan sesuatu yang diyakini adanya tapi eksistensi wujudnya tidak ada yang tau. Contoh lain ketika manusia mengalami kematian. Apa yang menyebabkan mayyit tersebut kehilangan energi yang tadinya mampu menggerakkan tangannya atau anggota tubuhnya yang lain sebelum kematiannya. Agamawan menyebutnya sebagai ruh. Ketika ruh meninggalkan jasad maka tersisalah jasad yang nampak oleh mata kita sebagai mayat. Ruh tidak bisa dijelaskan eksistensi wujud dan tempatnya, tapi keberadaannya ditiap manusia menunjukkan bahwa ruh itu ada. 

Manusia barat dengan rasional akalnya dan manusia timur yang cenderung menggunakan intuisinya, memunculkan perbedaan-perbedaan besar dalam pola pikir berkehidupan. Perbedaan mendasar inilah yang menyebabkan penanganan kasus yang bersinggungan dengan hal gaib menjadi berbeda-beda. Kaum yang kontra akan lebih membawa solusinya kepada penanganan intensif seperti terapi psikologi, obat-obatan dan pemeriksaan rutin pada si penderita. Dan kaum yang mempercayai adanya hal gaib lebih condong membawanya kepada tuntunan agama, bersumber kepada wahyu ilahi yang diajarkan nabinya. Dalam agama islam sendiri kerap disebut rukyah, atau pengobatan syar’i. 

Dalam agama islam sendiri keberadaan setan adalah satu hal yang diamini adanya. Setan yang termasuk hal gaib merupakan satu kabar yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW di beberapa sabdanya ( perkataannya ). Seperti misalnya nabi memerintahkan kepada umatnya untuk berdoa ketika hendak masuk toilet agar terhindar dari gangguan setan laki-laki dan perempaun. Allāhumma innī a‘ūżu bika minal khubuṣi wal khabā’iṣi. Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan”. Juga di beberapa ayat al quran, seperti di surah al a’raf ayat 200 yang artinya “ jika setan benar-benar menggodamu dengan halus, berlindunglah kepada allah. Sesungguhnya dia maha mendengar lagi maha mengetahui”. dan di surah an nahl ayat 98 yang artinya “apabila engkau hendak membaca al quran, mohonlah pelindungan kepada allah dari setan yang terkutuk”.

Cukupkah dengan hal ini menunjukkan bahwa setan itu ada? Untuk menguji kebenaran klaim ini bagi umat Islam pada dasarnya cukup dengan memandang kepada siapa yang mengabarkannya. Keberadaan adanya setan dan hal gaib ini dikabarkan oleh seorang yang mengaku nabi atau pembawa risalah dari tuhan. Apa yang hendak allah sampaikan kepada umat manusia seluruhnya itu dijembatani oleh seorang nabi, dalam hal ini nabi muhammad SAW. Maka ketika terbukti bahwa muhammad adalah utusan tuhan dan pembawa risalahnya maka apa yang keluar dari lisan nabi muhammad adalah sebuah kebenaran yang harus diamini. Termasuk pengabarannya mengenai hal yang gaib dan sesuatu yang berada diluar jangkauan manusia. 

Jadi kasus penampakan atau kerasukan atau kasus gaib lainnya, menurut agamawan itu adalah real gangguan setan. Setan sendiri adalah bagian dari kelompok jin yang membangkan terhadap perintah allah. Dan tak henti-hentinya mengganggu umat manusia agar jauh dari petunjuk tuhan. Adapun yang mengaku mampu melihat setan, maka yang sebenarnya dilihatnya adalah bentuk penyamarannya. Dalam surat al A’raf : 27, Allah Swt. Berfirman, “ Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka”. dapat dipahami dari ayat ini bahwa manusia tidak mungkin dapat melihat jin, kecuali pada bentuk penyamarannya.

 

 


Minggu, 16 Maret 2025

Napak Tilas Penolakan Sujud Iblis



Oleh: Diman Darwis

Seperti yang kita ketahui, dan juga sebagaimana yang terdapat dalam naskah Al-Quran. Iblis diusir dari surga oleh Allah Swt. Hal itu terjadi ketika Allah Swt. memerintahkan malaikat dan iblis untuk sujud kepada nabi Adam sebagai penghormatan akan tetapi iblis enggan bersujud dengan alasan seperti dikutip dari ayat berikut:

“Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A'raf : 12)  

Dalam Kitab Tafsir al-Qurthubi karangan Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi terdapat perkataan Ibnu Abbas, Hasan, dan Ibnu Sirin. Mereka mengemukakan bahwa, “Makhluk pertama yang melakukan perbandingan adalah iblis, dan dia melakukan kesalahan dalam melakukan perbandingan tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang mengiaskan ajaran agama dengan pendapatnya sendiri, maka Allah menggolongkannya termasuk kaum iblis.”

Berangkat dari permasalahan di atas, sebuah pertanyaan pun muncul dalam benak penulis, memangnya lebih mulia mana tanah atau api? Di dalam Al-Quran tidak dijelaskan mengenai hal itu melainkan iblis sendirilah yang mengklaim dirinya yang terbuat dari api itu lebih mulia dari nabi Adam yang berasal dari tanah.

Prof. Quraish Shihab menjelaskan pernyataan iblis bahwa lebih mulia api daripada tanah itu sekali-kali tidak benar. Hal ini selaras dengan kacamata nalar manusia yang membuktikan kekeliruan logika iblis, antara lain: 

1.  Api mampu dipadamkan oleh air sedangkan tanah dapat menyerap air dan mengubahnya menjadi sumber kehidupan; 

2.   Api sangat mudah digoyangkan oleh angin sedangkan tanah tidak mudah digoyangkan oleh angin; 

3.   Api sangat mudah dipadamkan oleh tanah sedangkan tanah tidak mudah dibakar oleh api; 

4.  Tanah dibutuhkan oleh manusia dan binatang, sedangkan api tidak dibutuhkan oleh binatang, bahkan manusia pun dapat hidup sekian lama tanpa api; 

5. Walaupun api ada manfaatnya, bahayanya pun tidak kecil. Berbeda dengan tanah. Kegunaannya terdapat pada dirinya tanpa bahaya; 

6.  Dalam shalat, kita sujud ke tanah yang merupakan simbol kepatuhan dan kerendahan hati kepada Allah Swt., sedangkan api adalah sesuatu yang menakutkan dan berkonotasi azab. 

7.  Dalam Tafsir al-Qurthubi ada hadis yang menyatakan bahwa tanah surga adalah seperti buah misik adzfar. Tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa di dalam surga itu terdapat api dan di dalam neraka terdapat tanah. 

Ditambah lagi bahwa Allah Swt. banyak menyebut tanah selalu bersandingan dengan air yang menunjukkan dalam konteks yang positif, sedangkan api selalu bersandingan dengan keburukan atau siksaan. Berikut dalam beberapa potongan ayat:

Ayat-ayat tentang tanah:

“Dialah yang menurunkan air dari langit lalu dengannya Kami menumbuhkan segala macam tumbuhan. Maka, darinya Kami mengeluarkan tanaman yang menghijau.” (QS. Al-An'am : 99)

“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Bagaimana langit ditinggikan? Bagaimana gunung-gunung ditegakkan? Bagaimana pula bumi dihamparkan?.” (QS. Al-Ghasyiyah : 17- 20)

“Lalu, dengan (air) itu Kami tumbuhkan untukmu kebun-kebun kurma dan anggur. Di sana kamu mendapatkan buah-buahan yang banyak dan dari sebagiannya itu kamu makan.” (QS. Al-Mu'minun : 19) 

Ayat-ayat tentang api. 

Takutlah pada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 24)

Sebelumnya Kami telah menciptakan jin dari api yang sangat panas." (QS. Al-Hijr : 27)

Sesungguhnya (neraka) Jahanam benar-benar (tempat) yang telah dijanjikan untuk mereka (pengikut setan) semua." (QS. Surat Al-Hijr : 43) 

Deretan argumentasi dan dalil seperti yang telah disebutkan masih bisa ditambah dan bisa saja dibantah. Kalaupun unsur api lebih mulia dari unsur tanah, Iblis tidak akan serta merta enggan bersujud kepada nabi Adam dengan mengklaim api lebih baik dari tanah, sebab yang memerintahnya adalah Allah Swt. Allah Swt. Dalam firman-Nya menyebutkan “Idz amratuk” menunjukkan seperti yang dikatakan oleh para ahli fikih, yaitu bahwa perintah itu menunjukkan suatu kewajiban secara mutlak, tanpa ada hal lain yang menyertainya. Karena, celaan itu dikaitkan dengan sikap mengabaikan perintah yang mutlak. Dalam hal ini adalah firman Allah kepada para malaikat, seperti dikutip dalam Al-Qur’an “Sujudlah kamu kepada Adam!” (QS. Al-Baqarah: 34) adalah hal yang sangat jelas. 

Kita berhenti sejenak mengenai lebih mulia mana di antara keduanya. Sebuah pertanyaan kemudian muncul, mengapa iblis sedemikian berani menolak perintah Allah? Bukankah ia mengaku, sebagaimana ia tegaskan dan dibenarkan oleh al-Qur'an bahwa: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah dan Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Anfal : 48). 

Jika demikian, apa yang menjadikan ketakutan iblis itu sirna, sampai-sampai bukan hanya menolak sujud, tetapi tetap bertekad dan membangkang? Bahkan, ia dan anak cucunya bersikeras untuk terus-menerus durhaka kepada Allah. Apakah ia meremehkan siksa Allah? Jelas tidak! Bukankah ia sendiri telah mengakui: “Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Anfal : 48). 

Untuk menjawabnya, ada baiknya kita mengutip pernyataan Syekh Abdul Halîm Mahmûd, Grand Syekh al-Azhar periode 1973-1978. Dalam bukunya, Al-Islam wa al-'Aql, beliau menyebutkan kedurhakaan iblis bahwa iblis dikecam dan dikutuk oleh Allah bukan saja karena ia enggan sujud, melainkan juga karena ia enggan sujud pada saat diperintah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” (QS. Al-A'raf : 12). 

Dan juga Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa para ulama berkata, "Yang mencegahnya untuk tidak bersujud adalah sifat takabur dan dengki.” Imam Al-Qurthubi melanjutkan bahwa sifat ini tersimpan di dalam dirinya ketika dia diperintahkan untuk bersujud.” Berbeda dengan nabi Adam yang mengakui kesalahan dan memohon ampun  kepada Allah Swt. 

Dengan demikian, iblis memilih untuk tidak bersujud dikarenakan jiwanya dipenuhi dengan keangkuhan, ketika keangkuhan menguasainya ia tak peduli apapun yang terjadi. Kalaupun ia celaka biarlah ia celaka dan akan sangat puas hatinya kalau kecelakaan yang sama menimpa musuhnya. ia bersumpah: “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Shâd : 82-83) 

Dari sini dapat dipahami mengapa anak cucu Adam ada yang bersifat layaknya sifat iblis. Ia menyatakan dirinya lebih baik dari yang lain, aku kaya dia miskin maka aku lebih baik, aku pejabat sedang mereka hanya rakyat maka aku lebih baik. Padahal letak kemuliaan tidaklah diukur dari semua itu, termasuk dari mana unsur kita berasal, melainkan sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an,  

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha teliti.” (QS. Al-Hujurat : 13).  

Wallahu a’lam. 

 

 

 


Senin, 10 Maret 2025

Mengenal Setan Lebih Dalam; Serba-Serbi Penciptaan dan Keniscayaan Sang Makhluk


Oleh: Azzahra Nur Awalia

Konsep setan atau entitas jahat hadir dalam hampir semua budaya dan agama, meskipun dengan interpretasi  yang berbeda-beda. Misalnya menurut sudut pandang agama Islam, setan dikenal  sebagai iblis, yang merupakan makhluk dari api yang menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam karena kesombongan dan kebanggaannya.

Sedangkan menurut sudut pandang agama Kristen, setan sering disebut iblis atau Lucifer yang awalnya adalah malaikat yang jatuh akibat pemberontakannya terhadap Tuhan. Adapun menurut budaya populer, setan sering digambarkan sebagai entitas jahat yang memiliki kekuatan super atau supranatural ,seringkali terlihat dalam bentuk monster atau makhluk iblis. Setiap budaya  atau agama membawa pemahaman unik tentang setan, tetapi secara umum, setan merupakan simbol dari kejahahatan dan yang menghalangi perjalanan spiritual dan moral manusia.

Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti dengan tujuan dan tidak sembarangan, lalu apa sebenarnya tujuan tuhan  menciptakan setan? Pertanyaan ini kerap kali muncul dalam setiap pembahasan terkait alasan diciptakannya suatu makhluk, mengapa Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Baik menciptakan sebuah makhluk bernama setan? Pertanyaan itulah yang akan coba penulis jawab dalam tulisan ini, namun sebelum melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mencoba untuk mengenalkan terlebih dahulu bagaimana sifat dan segala keniscayaan yang ditetapkan untuk sebuah makhluk bernama setan ini.

Taufiq Hakim menggambarkan peranan iblis di pentas kehidupan dalam karyanya yang berjudul asy-Syahid (sang syahid) bahwasanya setan datang kepada pemuka para agama untuk memohon agar dia diampuni oleh Tuhan, tapi para pemuka agama pun bingung dalam menghadapi permintaan setan tersebut, karena apabila tobatnya diterima Tuhan, apa jadinya  kepercayaan  tentang dosa yang telah diwariskan dan jalan keselamatan yang merupakan dampak dari dosa setan,  pemuka islam pun juga bingung karena apabila tobat iblis diterima, apa jadinya perintah ber-ta’awudz memohon perlindungan kepada Allah. Ketika umat mengucapkan kalimat ta’awudz, setan pun berteriak “Eksistensi saya diperlukan untuk wujud kebaikan di dunia ini, kegelapan yang saya miliki akan merefleksikan cahaya ilahi pada para umat yang percaya kepada Tuhannya”

Apabila ilustrasi Taufiq Hakim dalam tulisannya menggambarkan keniscayaan setan dalam kehidupan, berbeda dengan Abbas Al-Aqqad dalam karyanya  yang berjudul Tarjumat Syaitan (Biografi Setan). Dia menceritakan tentang keniscayaan setan dalam kedurhakaan, dimana keinginan setan untuk bertobat karena dia telah jenuh dalam menggoda manusia sebab kelakuan manusia yang taat dan durhaka memiliki rasio yang tidak berbeda jauh. Oleh karena itu dia mulai jenuh, dan ketika itu setan pun dimasukkan kembali ke dalam surga, dengan begitu dia kembali kepada kenikmatan surgawi yang tak ada  batas. Setan dengan sifat aslinya, dia kembali terlena oleh kenikmatan itu, membangkang dan kembai durhaka, akibat kedurhakaannya dia dikutuk menjadi batu yang terpancar dari patung-patung dan aneka seni.

Dalam referensi lainnya, dinukil di dalam Al-Kitab pada yohanes 8 : 44 “Bahwasanya Allah tidak menciptakan iblis, yang Allah ciptakan adalah malaikat yang belakangan menjadi iblis atau setan.” Para malaikat ini adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan keindahan dan kecerdasannya, akan tetapi keinginannya untuk disembah lebih menggebu-gebu dibandingkan keinginannya menaati perintah Allah. Ini menjadi permulaan perjalanan setan dalam merusak moral dan spiritual manusia.
Hari ini telah banyak teori yang tersebar tentang bagaimana pergerakan setan dalam menyesatkan manusia.

Dalam Al-Quran sendiri, saat sudah berurusan dengan setan, manusia digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan memerlukan pertolongan Allah. Contohnya dalam surat Al-Furqan ayat 2, disebutkan “Dialah yang telah menciptakan kalian dari tanah dan telah membuat kalian dari tanah, dan telah membuat kalian menjadi makhluk yang lemah,” Dari kelemahan itu, setan seringkali mengambil celah untuk mempengaruhi manusia.

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menggambarkan bisikan setan, antara lain nazgh (نزغ), hamz (همز), mass(مس), dan waswasah(وسوسة). Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, ulama besar dan mantan menteri Waqaf Mesir (w. 1998 M), dalam bukunya , Asy-Syaitan wa Al-Insan, kata nazgh mengandung makna gangguan, tetapi ada jarak antara subjek dan objek, antara yang mengganggu dan yang diganggu, nazgh yang bersumber dari setan, bisikannya ke dalam hati menimbulkan dorongan negatif sehingga menjadikan manusia mengalami suatu konsdisi psikologis yang menjadikannya melakukan hal-hal yang dilarang.

Allah berfirman yang ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW. : “Dan jika setan mengganggumu dengan satu gangguan (berupa nazgh), mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS.Fushilat[41] :36). Dari kata nazgh, yang digunakan pada ayat di atas, terlihat bahwa ketakwaan sempurna yang dimiliki Nabi Muhammd SAW, menjadikan setan tidak dapat melakukan hubungan yang ssngat dekat dikarenakan ketakwaan dan pertahanan iman mereka.

Seorang tokoh tafsir beraliran rasional dan pakar bahasa Arab yang lahir di Khawarizmi (kini sekitar Uzbekistan dan Turkmenistan) yang bernama Az-Zamakhsyari (1075-1144). Mengomentari ayat yang menyatakan bahwa : “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan” (QS. Al-baqarah [2] :275). 

Az-Zamakhsyari mengomentari sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada seorang pun yang lahir kecuali setan menyentuhnya ketika ia dilahirkan, sehingga ia menangis keras karena  sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya (Isa alayhissalam). Bahwasanya haditsnya menggambarkan betapa besar keinginan setan untuk mengganggu manusia, sekan-akan ia menunjunjuk dan menusuknya sambil berkata : “Anak ini yang akan saya jerumuskan.”

Terdapat juga pemahaman lain tentang teks-teks keagamaan diatas sebagai potensi negatif yang terdapat dalam diri manusia. Bukankah kata Allah telah mengilhami jiwa manusia kebaikan dan keburukan,”Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaanya) maka Allah mengilhami (kepada jiwa itu) kefasikan dan ketakwaan nya” (QS. Asy-syams [91]: 7-8)

Kefasikan itulah yang melahirkan kejahatan, sedangkan ketakwaaan melahirkan kebaikan. Hal ini bukan berasal hal dari luar ataupun dari setan, setan yang mengalir dalam darah manusia bukan memiliki arti hakiki, akan tetapi setan menjadi potensi negatif kepada manusia unutk melakukan keburukan ataupun kefasikan, sebagaimana darah yang senantiasa mengalir di dalam tubuh manusia selama ia masih bernafas, saat itupun setan akan senantiasa mengganggu manusia sampai di penghujung hayat nya.

Allah  Adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, tapi bagaimana bisa Dia menciptakan sebuah keburukan dan penyebab kefasikan ini? Dalam kitabnya yang berjudul Al-Lama’at, Said Nursi menjelaskan bahwa sesungguhnya dibalik kejahatan-kejahatan yang tersembunyi dalam diri setan, terdapat maksud-maksud terbaik dan lebih besar yang mengandung kesempurnaan yang dapat mengangkat derajat manusia. “Ya, seperti adanya banyak fase pada tumbuhan yang dimulai dari biji hingga menjadi pohon yang tinggi. Begitu pula potensi yang ada dalam diri manusia berupa tingkatan atau derajat yang lebih banyak daripada tumbuhan dari atom hingga matahari,” kata  Said Nursi dikutip dari buku Al-Lama’at terbitan Risalah Nur Press halaman 141-142.

Hal ini sejalan dengan penjelasan salah satu ayat Al-Quran, yaitu surah al-an’am : 112 “Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah menipu ( manusia). Jikalau Tuhan mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan” ayat ini menunjukan bahwa setiap nabi memiliki musuh yang berusaha  menyesatkan mereka dan ayat ini mengingatkan kita bahwasanya setan-setan tidak akan bisa  menyesatkan jika kita memiliki iman yang kuat dan taat kepada Allah.

Kehadiran iblis dan setan sebagai ujian, seperti dimaklumi, makhluk hidup jelaslah lebih mulia daripada makhluk yang tak bernyawa. Yang bertanggung jawab dari mahluk hidup, seperti jin dan manusia lebih utama daripada yang tidak bertanggung jawab, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang mampu memepertanggung jawabkan setiap tindakannya, lebih tinggi kedudukannya dibanding yang gagal mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya. Dari sini muncul sebuah pertanyaan : Bagaiamana mengatahui yang gagal dan yang berhasil? Sesorang akan dinyatakan lulus dari sekolah apabila berhasil mengerjakan ujian dengan baik, begitupun dengan kehidupan manusia dan jin keduanya adalah mahkluk yang tidak luput dari ujian dan cobaan. Ini merupakan suatu keniscayaan “Allah yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al- Mulk [67]:2), serta ayat : Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata oirang-orang yang sabar”(QS.Ali Imran [3]:142). Salah satu cara Allah melakukan ujian adalah dengan menciptakan penggoda, dalam hal ini adalah setan.

Berdasarkan paparan diatas penulis menyimpulkan bahwa, syaitan awalnya adalah makhluk yang taat, tetapi karena kesombonganya menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam, ia dikutuk dan diberi kesempatan oleh Allah untuk menyesatkan manusia sampai hari kiamat saat itulah manusia akan memilih apakah dia akan memilih jalan kebaikan atau keburukan, setan akan selamanya menjadi makhluk pengganggu sebagai ujian untuk manusia selama hidupnya, dan manusia yang berhasil melewati ujian itu dengan baik, akan diberi derajat yang tinggi di sisi Allah, itulah eksistensi setan diciptakan. 

Wallahu a’lam bissawab


 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes