BREAKING NEWS

IADI

Nadwah

Esai Pilihan

Senin, 20 Oktober 2025

Pandangan yang Adil terhadap Ibnu Taimiyah

 

 

Oleh: Muhammad Safaras Sulaiman 

Dalam Islam seringkali kita menemukan perbedaan pendapat baik dari segi ibadah dan muamalah. Hal ini tidak bisa kita hindari karena dari perbedaan inilah yang menunjukkan khazanah intelektualitas di dalam agama kita dan menyikapi perbedaan ini dengan bijak akan melahirkan kedewasaan dalam beragama serta memperkuat ukhuwah.

Perbedaan ini sendiri telah ada sejak zaman para sahabat dan ini tidak menunjukkan adanya perpecahan, melainkan sebagai isyarat bahwa adanya keluasan dan kelenturan syariat dalam Islam. Di kalangan para ulama kita sendiri kaya akan perbedaan pendapat sehingga tidak jarang ada yang menuai pujian atau bahkan kritikan. Salah satu ulama yang banyak mendapat perhatian dari kedua aspek tersebut adalah Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya di beberapa bidang ilmu dalam Islam. Ia menekuni beberapa disiplin ilmu, baik dari segi tafsir, hadits ataupun ushul fiqih. Beliau tumbuh dalam keluarga intelektualitas, ayahnya seorang syekh, hakim dan juga khatib. Begitupun dengan kakeknya yang merupakan seorang ulama penghafal Al-Quran  yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul.

Sejak kecil telah tampak dalam dirinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia telah menguasai ilmu Ushuluddin dan mendalami  bidang tafsir dan bahasa arab. Akan tetapi dari semua itu, dibalik keluasan ilmu beliau dan pemikirannya yang tegas dan kritis, justru pendapatnya menuai banyak kritikan dan menuai kontroversi dari beberapa ulama karena menyelisihi pendapat jumhur.

Ada banyak pendapat dari Ibnu Taimiyah yang bersifat menyimpang dan kontroversial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah Akidah. Contoh perkataan Ibnu Taimiyah di kitab Majmu Al-Fatawa juz 4 hal 374 dikatakan, bahwasanya Nabi Muhammad didudukkan diatas Arsy dan Allah Swt. berada disampingnya. Serta masih banyak lagi perkataan beliau yang mengatakan bahwasanya Allah Swt. itu berada di atas Arsy dengan bersandar kepada pemaknaan ayat Al-Qur'an.

Konsekuensi dari perkataan Ibnu Taimiyah ini akan memberikan dampak bahwasanya Allah Swt., berada di suatu tempat dan otomatis memiliki arah. Pandangan akidah seperti ini bertentangan dengan apa yang dibawakan oleh para salafus shalih dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in. Dan secara tidak lansung, naluri akal kita juga tidak sepakat dengan pendapat yang seperti itu karena akan menisbatkan bahwasanya Allah Swt. itu bertempat di suatu tempat, yang akan mengimplikasikan keserupaan sifat Tuhan dengan mahluk.

Perkataan Ibnu Taimiyah ini sendiri dilatarbelakangi oleh penolakan beliau terhadap majaz, sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya Al-Iman. Bahwasanya pembagian bahasa dari hakikat dan majaz itu adalah suatu hal yang baru dan tidak dijumpai di kalangan salafus shalih. Sementara di saat yang sama, para ahli lugah sepakat dengan pembagian bahasa itu sendiri dari segi aspek hakiki maupun majaz.

Berdasarkan hal itu, maka konsekuensi dari ketidakpercayaan beliau terhadap majaz akan berdampak pada penafsiran beliau sendiri terhadap ayat-ayat Al-Quran. Yaitu ketika menemukan ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Qur'an, yang secara makna lahiriahnya  seakan-akan menyerupakan Tuhan dengan mahluk. Beliau memaknainya dengan makna harfiah, dan secara otomatis hal yang seperti ini menyelisihi ijtima' ulama yang menguduskan Tuhan dari sifat-sifat mahluk. Maka dari itu, gelar yang disematkan terhadap beliau sebagai syaikhul Islam masih diperselisihkan oleh beberapa ulama karena penyimpangan beliau terhadap akidah, yang dimana ini adalah pondasi Islam yang paling fundamental.

Meskipun banyak mendapatkan kritikan, banyak pula ulama yang memuji beliau akan keluasan ilmunya, kuatnya hafalan, kezuhudannya serta keberanian beliau dalam membela kebenaran. Disebabkan kritikan dan pujian dari beberapa aktivis Islam, seorang ulama ahlussunah Yusuf An-Nabhani dalam kitabnya syawahidul haq film istigatsah sayyidul khalq, beliau mengatakan “Ibnu Taimiyah dalam keilmuan seperti lautan yang disertai ombak, terkadang menunjukkan mutiara dan terkadang menampilkan kotoran”.

Melihat dari perkataan beliau diatas, dapat dikatakan bahwa ini adalah pandangan yang adil terhadap Ibnu Taimiyah itu sendiri. Jika kita melihat kalimat yang pertama “Ibnu Taimiyah bagaikan lautan” hal ini sebagai isyarat bahwa ia memiliki wawasan yang sangat luas dalam ilmu pengetahuannya dan lanjutan perkataannnya “yang disertai ombak” hal ini bisa menjadi isyarat yang menunjukkan adanya suatu yang berbahaya dari pendapat beliau yang menyimpang dari agama.

Demikian juga dengan kalimat yang dituturkan setelahnya “terkadang menunjukkan mutiara  dan terkadang menampilkan kotoran”, hal ini juga bisa diibaratkan bahwasanya, kita sebagai umat muslim harus lebih teliti dan berhati-hati terhadap apa yang disampaikan terhadap Ibnu Taimiyah, Karena terkadang ilmu yang disampaikan sangat bermanfaat bagi umat Islam layaknya mutiara, tapi terkadang ilmu yang disampaikan dapat merusak pemikiran umat muslim seperti halnya seperti kotoran, terkhusus dalam ilmu akidah.

Maka berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Yusuf An-Nabhani diatas, kita sebagai umat muslim bisa mengambil jalan tengah diantara kritikan dan pujian terhadap Ibnu Taimiyah. Yaitu bersikap objektif terhadap pendapat beliau dengan memandang dengan pandangan kacamata yang adil, atau mempelajari ilmu yang telah diwariskan kepada umat muslim, dengan karyanya yang berjilid jilid seperti majmul fatawa dan beberapa karya-karyanya yang lain, dengan syarat meninggalkan argumen beliau yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama.

Maka bersikap adil terhadap Ibnu Taimiyah menempatkan posisi beliau secara proposional, dengan mengambil pemahaman-pemahaman beliau yang sejalan dengan dalil, sekaligus memahami bahwa sebagian pendapatnya diperselisihkan atau bahkan ditolak dari kalangan mayoritas ulama. Dengan sikap ini kita bisa menghindari dua kutub ekstrem, yaitu mengkultuskan tanpa kritik atau menolak secara total tanpa mempertimbangkan kontribusinya.

Dengan demikian pandangan yang adil terhadap Ibnu Taimiyah memberikan ruang bagi umat Islam untuk menghargai jasa dan pemikiran ulama, tanpa menutup mata dengan perbedaan yang ada dan ini juga sebagai dalil bahwasanya khazanah Islam yang begitu luas, yang ketika ingin di telusuri bagaikan samudra yang tak berujung, sehingga sikap keseimbangan yang adil  ini mengajarkan kita tetap ilmiah, objektif, dan beradab terhadap tokoh-tokoh Islam.

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 16 Oktober 2025

Fleksibilitas Islam: Bagaimana Islam Berdakwah Melalui Kesenian


Oleh : St. Maryam Sultan 

Islam adalah agama yang ajarannya kokoh, namun dalam penyebarannya dikenal sangat fleksibel. Fleksibilitas ini terlihat jelas dalam cara Islam berdakwah yang tidak selalu kaku, melainkan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat. Salah satu buktinya adalah penggunaan kesenian sebagai sarana dakwah, dimana pesan agama disampaikan dengan indah, lembut, dan mudah diterima.

Seni sendiri merupakan bahasa universal yang bisa dipahami siapa saja melalui syair, ukiran, cerita, atau pertunjukan. Manusia dapat menyampaikan makna dan perasaan lebih dalam daripada sekadar kata-kata biasa. Karena sifatnya yang menyentuh rasa, seni mampu menjembatani ajaran Islam agar sampai ke hati masyarakat.

Dalam pandangan Islam, seni tidak berhenti pada hiburan semata. Ia dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt, sekaligus media penghayatan nilai-nilai agama. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyoroti dua persoalan penting, yaitu batas antara seni dan agama yang tidak selalu jelas, serta keterkaitan ajaran Islam dengan pandangan tentang seni itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi seni Islam, mulai dari bacaan Al-Qur’an dan kaligrafi hingga sastra sufistik dan tembang-tembang religius tertentu, sering hadir sebagai bentuk penghayatan spiritual.

Beragam ekspresi ini menunjukkan bahwa keindahan dalam tradisi Islam hampir selalu berdampingan dengan spiritualitas. Seni dipandang bukan hanya sebagai hiasan, melainkan sebagai jalan dakwah yang lembut dan mampu mengena pada masyarakat.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, seni kembali memainkan peran penting. Islam tidak datang melalui penaklukan besar-besaran, melainkan lewat perdagangan, perkawinan, dan interaksi budaya. Para pedagang Muslim berbaur dengan masyarakat lokal, membawa nilai-nilai Islam yang kemudian diterima secara damai. Seperti dicatat Fendy dalam Gramedia Blog (“Sejarah Masuknya Islam di Indonesia dan Perkembangannya”), Islam berkembang melalui jalur damai dan berlangsung secara akomodatif, sehingga tidak menimbulkan penolakan dari masyarakat.

Khususnya di Jawa, masyarakat telah lama dipengaruhi budaya Hindu-Buddha dan tradisi lokal yang kuat. Apabila Islam datang dengan menghapus semua itu, tentu akan menimbulkan konflik. Karena itulah para Walisongo mendekati masyarakat melalui seni dan budaya lokal sebagai media dakwah. Strategi akulturasi ini membuat ajaran Islam lebih mudah diterima tanpa benturan keras dengan tradisi Jawa.

Walisongo memahami bahwa budaya Jawa sangat akrab dengan seni. Mereka tidak meniadakan seni, tetapi memberi ruh baru pada seni yang ada. Dicontohkan juga bagaimana wayang dimodifikasi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, misalnya tokoh Janaka diganti menjadi Arjuna (arju najah, berharap keselamatan) atau Petruk dikaitkan dengan fatruk (tinggalkanlah). Dari sini tampak bahwa Islam menyesuaikan diri dengan masyarakat tanpa kehilangan prinsip pokoknya.

Diantara Walisongo yang berdakwah melalui kesenian yaitu: Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Sunan Kalijaga menjadi contoh populer pemanfaatan seni sebagai sarana dakwah. Pertunjukan wayang yang digemari masyarakat tidak dihapus, melainkan diberi ruh Islami. Kisah pewayangan dimaknai ulang sehingga tokoh-tokoh akrab bagi masyarakat berubah menjadi medium pengenalan ajaran Islam. Dengan cara ini, dakwah terasa dekat dan akrab, namun tetap menyampaikan pesan rohani yang dalam.

Sunan Bonang menempuh jalannya sendiri melalui suluk dan tembang lembut namun penuh makna. Syair-syair ciptaannya, seperti Tombo Ati, masih sering dilantunkan masyarakat. Melalui bahasa sederhana dan alunan yang menenangkan, ia mengajarkan zikir, salat, dan kesabaran dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga Islam diterima dengan sentuhan rasa, bukan paksaan.

Sunan Giri menciptakan tembang anak-anak bernuansa Islami, seperti Cublak-Cublak Suweng dan Padang Bulan. Anak-anak belajar agama sambil bermain dan bernyanyi, sehingga nilai-nilai Islam tertanam sejak dini tanpa menghilangkan keceriaan masa kecil maupun tradisi permainan lokal.

Selain Sunan Kalijaga, Bonang, dan Giri, wali lain juga menyalurkan dakwah melalui seni dan budaya rakyat. Mereka tidak meniadakan tradisi, melainkan mengisinya dengan ruh Islami agar ajaran agama terasa akrab dan mudah diterima. Dakwah Walisongo tidak berjalan seragam, melainkan fleksibel dan kaya strategi, menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Uraian ini bersumber dari artikel Fendy di Gramedia Blog berjudul “Strategi Dakwah Walisongo di Nusantara”.

Pendekatan yang akrab dengan budaya lokal memberikan dampak sosial yang signifikan. Masyarakat Jawa menerima Islam tanpa kehilangan identitas budaya nya. Akulturasi seni dan tradisi, sebagaimana dicatat dalam kajian Sultanate Institute, “Pengaruh Dakwah dan Islamisasi Wali Songo: Dari Sumber Sejarah hingga Data Arkeologi”, membuat ajaran Islam hadir sebagai bagian kehidupan sehari-hari, bukan sebagai kekuatan yang memaksa perubahan. Tradisi yang lahir dari dakwah Walisongo, seperti festival Sekaten, Grebeg Maulud, Tembang Tombo Ati, dan pertunjukan wayang kulit bernuansa Islami masih lestari hingga kini. Membuktikan bahwa seni dakwah Walisongo bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi bagian hidup budaya masyarakat.

Di era modern, warisan dakwah Walisongo melalui seni tetap relevan. Nilai yang mereka tanamkan, berdakwah dengan lembut, membumi, dan menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat, terlihat pada cara generasi Muslim kini mengemas pesan agama melalui media kreatif. Nasyid, film Islami, kaligrafi digital, hingga konten edukatif di media sosial menjadi sarana baru yang membawa pesan moral dan spiritual tanpa kehilangan estetika dan daya tariknya.

Fleksibilitas Islam dalam berdakwah melalui kesenian bukan berarti mengorbankan prinsip. Sebaliknya, Islam selalu mencari cara terbaik agar ajaran diterima masyarakat. Seni menjadi medium yang ramah, mampu menjembatani nilai-nilai rohani dengan realitas budaya yang ada.

Dengan demikian, seni bukan sekadar pelengkap dalam dakwah Islam, melainkan jembatan yang menyatukan agama dengan budaya. Walisongo telah membuktikan bahwa melalui wayang, tembang, maupun tradisi rakyat, Islam bisa hadir dengan indah dan membumi. Warisan itu tetap hidup hingga hari ini, menjadi cermin bahwa Islam mampu masuk ke hati masyarakat lewat jalan yang lembut, penuh hikmah, dan tak lekang oleh waktu.



Senin, 13 Oktober 2025

Mengupas Sejarah Dogmatisme Dan Radikalisme DiTanah Air



Oleh : Fathul Muin Zubair

Radikalisme telah menjadi isu yang sangat diperdebatkan dalam beberapa dekade terakhir, dengan dampaknya yang luas dan beragam pada masyarakat dan politik global. Namun, di balik fenomena radikalisme yang kompleks ini, terdapat sebuah faktor yang sering kali menjadi pemicu utama, diantaranya dogmatisme. 

Dogmatisme, atau sikap memegang teguh pada keyakinan tanpa mau mempertimbangkan pandangan lain, seringkali menjadi fondasi bagi pemikiran radikal yang ekstrem dan tidak toleran.

Dogmatisme dapat menjadi akar pemikiran radikalisme. Namun bagaimana keduanya saling terkait dalam konteks sosial dan politik. Juga bagaimana dogmatisme dapat memengaruhi individu dan kelompok untuk mengadopsi pandangan yang ekstrem, serta bagaimana hal ini dapat memicu tindakan radikal yang berdampak luas pada masyarakat. Tentunya itu semua dapat tercapai dengan cara memahami lebih dalam tentang kompleksitas hubungan antara dogmatisme dan radikalisme, terlebih lagi pengertian keduanya sebagai langkah awal sebelum menyelam lebih dalam.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dogmatisme diartikan sebagai paham yang didasarkan pada dogma, yaitu pokok ajaran atau kepercayaan yang harus diterima sebagai kebenaran mutlak, tanpa boleh dibantah atau diragukan. Doktrin ini membentuk landasan bagi pola pikir dogmatis. 

Hal inilah yang secara ekstensif diteliti oleh Milton Rokeach dalam karyanya, seperti buku "The Open and Closed Mind." Berdasarkan teori Rokeach, seseorang yang dogmatis memiliki sejumlah karakteristik utama, yang secara keseluruhan mencerminkan pikiran tertutup (Closed-Mindedness). Individu seperti ini enggan untuk menerima, memahami, atau mengevaluasi ide, keyakinan, atau pandangan yang bertentangan dengan sistem keyakinannya sendiri.

Sikap pikiran tertutup ini diperkuat oleh kepastian kaku (Rigid Certainty), di mana keyakinan dipertahankan dengan keteguhan yang tidak dapat dibenarkan, bahkan ketika dihadapkan pada bukti yang jelas bertentangan, sehingga sulit bagi mereka untuk menyatakan kondisi di mana mereka bisa terbukti salah. 

Secara kognitif, sistem keyakinan orang dogmatis diorganisir menjadi dua sistem yang terpisah dan sangat ditekankan perbedaannya: sistem keyakinan (Belief System), yaitu apa yang diyakini benar, dan sistem ketidakpercayaan (Disbelief System), yaitu apa yang diyakini salah.

Selain itu, bagian-bagian dari sistem keyakinan ini sering kali mengalami isolasi dan kompartementalisasi, artinya keyakinan yang kontradiktif dapat hidup berdampingan tanpa disadari atau diterima sebagai masalah. Pemikiran mereka juga ditandai dengan toleransi rendah terhadap ambigu, yang membuat mereka cenderung berpikir hitam-putih (either/or thinking) dan menghindari nuansa atau ketidakjelasan dalam informasi.

Di Indonesia, sejarah dogmatisme seringkali berkaitan dengan perkembangan agama dan politik. Diantara sejarah penting mengenai sejarah dogmatisme di Indonesia yaitu dalam konteks keagamaan kontemporer. Dalam konteks keagamaan, dogmatisme dapat terlihat dalam sikap eksklusif yang menganggap ajarannya sebagai kebenaran mutlak dan menolak keberagaman. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan konflik. Misalnya, dalam beberapa kasus, gangguan dan penolakan pendirian rumah ibadah. 

Ini adalah salah satu bentuk manifestasi dogmatisme yang paling sering terjadi. Sikap eksklusif yang meyakini kebenaran tunggal seringkali diwujudkan dalam penolakan terhadap hak kelompok lain untuk memiliki ruang ibadah, yang dianggap "mengganggu" atau "tidak sah". Berdasarkan Laporan Setara Institute, terjadi kasus-kasus penolakan pembangunan atau penyegelan gereja seperti di GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, penutupan rumah ibadah lain seperti masjid Ahmadiyah, pura, atau vihara. 

Setelah memahami apa itu dogmatisme, pertanyaan selanjutnya adalah apa itu radikalisme? Bagaimana dogmatisme bisa menjadi akar bagi paham radikalisme? Prof. Rubaidi seorang profesor tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan mengartikan radikalisme dalam lingkup keagamaan sebagai gerakan yang berusaha merombak total tatanan sosial dan politik dengan jalan kekerasan. Radikalisme juga seringkali diartikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau tindakan yang berusaha untuk mengubah secara drastis struktur sosial, politik, atau ekonomi yang ada. 

Dalam beberapa kasus, radikalisme dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk kekerasan atau tindakan ekstrem lainnya. Radikalisme dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau tindakan yang berusaha untuk mengubah secara drastis struktur sosial, politik, atau ekonomi yang ada. Radikalisme seringkali dihubungkan dengan ideologi politik atau agama yang ekstrem, dan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, mulai dari aktivisme damai hingga kekerasan.

Radikalisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan berkembang melalui beberapa fase penting. Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Hal ini terlihat dalam beberapa sejarah Indonesia.
Masa Pasca-Reformasi menjadi fase krusial dalam perkembangan radikalisme. Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, ruang gerak kelompok-kelompok radikal terbuka lebar. Krisis politik dan sosial yang menyelimuti Indonesia kala itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ini untuk menyebarkan ideologi dan merekrut anggota baru. Masa ini ditandai dengan munculnya berbagai kelompok radikal yang lebih beragam dan terkadang militan.

Salah satu yang paling signifikan adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jaringan ini berakar dari ideologi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan menjalin hubungan dengan jaringan teroris internasional. JI bertanggung jawab atas serangkaian serangan teror yang mengguncang Indonesia, termasuk Bom Bali I pada tahun 2002, yang tercatat sebagai salah satu peristiwa teror paling mematikan di negara ini. (Merujuk pada: "JI Sampai NKRI: Deradikalisasi Kolektif Jemaah Islamiyah" oleh M. Khairul Fahmi).

Selain itu, muncul pula gerakan ideologis yang fokus pada pendirian sistem negara Islam global, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI secara eksplisit berjuang untuk mendirikan khilafah global dan menolak konsep negara-bangsa. Meskipun aktivitasnya awalnya tidak menggunakan kekerasan fisik, ideologi mereka dianggap bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara.

Fenomena radikalisme juga terlihat dari kemunculan kelompok-kelompok yang mengedepankan penegakan moral agama secara represif. Kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad seringkali menggunakan kekerasan untuk melakukan "sweeping" atau penertiban yang mereka anggap sebagai bentuk penegakan moral agama. Kelompok-kelompok ini menambah kompleksitas lanskap radikalisme Indonesia di era Reformasi.

Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, internet dan media sosial telah menjadi medan yang krusial dalam penyebaran radikalisme. Kelompok-kelompok radikal kini memanfaatkan platform daring ini secara efektif untuk mengindoktrinasi, merekrut, dan berkomunikasi, membuat penyebaran paham mereka menjadi jauh lebih cepat dan lebih sulit dideteksi. 

Muncul dan berkembangnya radikalisme di Indonesia sendiri didorong oleh beberapa faktor mendasar. Salah satunya adalah pemahaman agama yang sempit. Interpretasi yang terlalu literal, doktriner, dan kaku, sering kali mengabaikan konteks sosial dan historis, yang dapat menjadi cikal-bakal paham radikal. 

Faktor internal lainnya adalah isu ketidakadilan dan diskriminasi. Perasaan termarjinalisasi—baik secara ekonomi maupun politik—mendorong individu untuk mencari jalan keluar dengan bergabung pada kelompok radikal yang menjanjikan "perjuangan" atau "keadilan." Meskipun menghadapi tantangan ini, Pemerintah Indonesia terus berupaya mengatasi masalah radikalisme melalui berbagai program komprehensif.

Hubungan antara keduanya memang tidak langsung, tetapi saling menguatkan. Dimana dogmatisme dapat menjadi akar pemikiran radikalisme karena keduanya memiliki benang merah yang kuat. Ketika dogmatisme dianut secara ekstrem, dapat memicu pemikiran radikal yang berusaha untuk menerapkan ideologi atau keyakinan secara paksa dan tidak toleran. 

Penelitian (van Prooijen & Krouwel, 2017) menunjukkan bahwa keyakinan politik yang ekstrem, baik dari spektrum kiri maupun kanan, secara signifikan memprediksi tingkat intoleransi dogmatis yang lebih tinggi dibandingkan dengan pandangan moderat. Keyakinan yang dipegang dengan kuat, tanpa memandang kontennya, menimbulkan intoleransi dogmatis. Yang selanjutnya diasosiasikan dengan kesediaan untuk menolak kebebasan berpendapat (denial of free speech) dan mendukung perilaku antisosial.

Dogmatisme menciptakan fondasi yang subur bagi radikalisme melalui serangkaian mekanisme kognitif dan sosial. Penolakan terhadap Pluralisme menjadi langkah awal yang krusial. Dogmatisme secara inheren menolak gagasan bahwa ada kebenaran lain di luar keyakinan yang dianut. 

Dalam konteks agama, ini dapat termanifestasi sebagai keyakinan bahwa hanya ajaran mereka yang benar dan semua yang lain dianggap salah atau sesat. Secara politik, ini berarti menganggap ideologi mereka sebagai satu-satunya kebenaran yang harus diberlakukan. Penolakan terhadap pengakuan keberagaman dan kemajemukan ini secara langsung memicu intoleransi dan merupakan pintu gerbang menuju tindakan ekstrem.

Selanjutnya, keyakinan akan kebenaran mutlak ini berujung pada Dehumanisasi Lawan. Ketika sebuah dogma diyakini tak terbantahkan, mereka yang tidak memeluknya seringkali dianggap lebih rendah atau tidak setara. Lawan lantas dilabeli dengan stigma seperti orang kafir, musuh negara, atau pengkhianat. Proses dehumanisasi ini sangat berbahaya karena mempermudah pembenaran tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap "inferior" atau "ancaman."

Van Prooijen & Krouwel juga mengatakan bahwa dogmatisme memaksakan Logika Hitam-Putih dalam memandang dunia. Individu dogmatis cenderung melihat realitas hanya dalam kategori biner: benar atau salah, baik atau buruk, tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk diskusi, nuansa, atau kompromi. Logika biner ini menciptakan demarkasi musuh yang jelas, yang pada gilirannya memicu hasrat untuk melawan atau menghancurkan pihak yang buruk. 

Puncaknya, keyakinan bahwa dogma adalah kebenaran mutlak yang harus ditegakkan menjadi Pembenaran Kekerasan. Bagi individu atau kelompok radikal, kekerasan dapat dilihat sebagai alat yang sah untuk mencapai tujuan sakral mereka. Dogma berfungsi sebagai legitimasi moral untuk melakukan tindakan ekstrem, seperti terorisme, yang mereka anggap sebagai bentuk perjuangan suci atau revolusi yang adil demi mewujudkan keyakinan absolut mereka.

Contoh dalam sejarah Indonesia bisa kita lihat pada kejadian pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini berakar pada dogma bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam. Pandangan dogmatis ini menolak dasar negara Pancasila dan membenarkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka.

Tidak hanya itu, kelompok-kelompok teroris global seperti kelompok ISIS dan Al-Qaeda memiliki dogma bahwa hanya ajaran mereka yang benar dan harus disebarkan, bahkan dengan kekerasan. Mereka menganggap siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka, baik itu non-Muslim maupun Muslim yang tidak sepaham, sebagai musuh yang harus diperangi. Penjelasan lebih lanjut tentang ISIS dan Al-Qaeda bisa kita lihat di jurnal MOVEMENT STRATEGIES OF RADICAL GROUPS IN THE MIDDLE EAST: A COMPARATIVE STUDY BETWEEN ISIS AND AL-QAEDA" (Strategi Pergerakan Kelompok Radikal di Timur Tengah: Studi Perbandingan antara ISIS dan Al-Qaeda).

Singkatnya, dogmatisme dan radikalisme memiliki hubungan kausal. Dogmatisme (keyakinan kaku tanpa kritik) adalah akar pemikiran yang berpotensi melahirkan radikalisme (manifestasi ekstrem dari keyakinan tersebut). Sikap dogmatis sering kali menolak keragaman, memandang orang lain sebagai musuh, dan membenarkan kekerasan. 

Kesimpulannya, dogmatisme merupakan akar yang berpotensi untuk melahirkan paham radikalisme. Bahkan merupakan kondisi yang subur bagi pertumbuhan radikalisme. Dengan menghilangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan menerima keragaman, dogmatisme membuka pintu bagi pemikiran ekstrem yang dapat dengan mudah membenarkan kekerasan. 

Oleh karena itu untuk terhindar dari dampak negatif dogmatisme dan radikalisme, kita perlu mempromosikan pemikiran kritis, toleransi dan empati dalam masyarakat. Pertama, kita perlu mempromosikan pendidikan yang memfokuskan pada pemikiran kritis, toleransi dan empati. Dengan demikian, individu dapat memahami dan menghargai perbedaan, serta tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem.

 Kedua, kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dogmatisme dan radikalisme. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih waspada dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda atau ideologi ekstrem.

Ketiga, kita perlu mempromosikan dialog dan kerjasama antara individu dan kelompok yang berbeda. Dengan demikian, kita dapat memahami perspektif masing-masing dan meningkatkan toleransi.

Terakhir, kita perlu mempromosikan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan dan kesetaraan. Dengan melakukan beberapa cara di atas, dapat mengurangi dampak negatif dogmatisme dan radikalisme, sehingga terciptalah keharmonisan antar masyarakat yang lebih toleran, aman dan damai.


Kamis, 09 Oktober 2025

Kesalahpahaman dalam Memahami Tekstualitas Al-Quran

 

 

Oleh: Muhammad Khalil Jibran 

Setiap agama di dunia ini memiliki pedoman hidup tersendiri. Al-Qur'an merupakan kitab suci bagi umat Islam di seluruh dunia. Kaum muslimin menjadikannya pedoman hidup yang akan membawa mereka menuju hidup yang lebih teratur dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Para ahli menuturkan bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang berupa mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Merujuk pada definisi di atas, orisinalitas Al-Qur'an tidak lagi diragukan karena penukilannya dilakukan secara mutawatir. Maksud dari periwayatan Al-Qur'an secara mutawatir adalah kitab suci ini diriwayatkan dari generasi ke generasi dalam jumlah yang banyak dan tidak terputus sehingga mustahil terjadinya manipulasi.

Kesucian kitab suci ini diperkuat lagi oleh firman Allah dalam surah Al-Hijr ayat 9 :

{ إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ }

Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan kami benar-benar menjaganya"

Namun, sakralitas Al-Qur'an terkadang dimaknai dengan tidak tepat atau tidak dengan semestinya. Banyak ayat di dalamnya yang disalahartikan oleh beberapa golongan yang memicu terjadinya kerancuan dalam memahami teks dan konteks dari Al-Qur'an itu sendiri.

Perbedaan pemahaman terhadap makna Al-Qur'an telah terjadi pada masa ulama dulu hingga zaman sekarang. Ketika memahami satu ayat tertentu, terkadang ada beberapa pendapat dari para ulama yang berbeda, bahkan saling bertentangan, terutama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Quran yang maknanya samar, butuh pentakwilan dan tidak ada yang dapat mengetahui makna hakikinya kecuali Allah. Definisi ini tercantum dalam kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur'an karya Syekh Jalaluddin As-Suyuthi.

Pada masa ulama dahulu, terdapat beberapa pendapat dari kalangan para ulama dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat. Prof. Dr. Rabi’ Jauhari, Guru Besar Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar dalam buku beliau Aqidatuna menjelaskan, bahwa ada beberapa mazhab ulama dalam menyikapi ayat-ayat tersebut. Di antaranya ada yang mengisbatkan hukum ayat tersebut sesuai dengan makna bahasa secara tekstualnya. Mazhab ini dikenal dengan sebutan al-mutsbitin. Diantara ulama yang berpegang pada mazhab ini adalah Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah.

Selain itu, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ketika dalil Al-Qur'an bertentangan dengan dalil ‘aqli, maka makna yang diisbatkan bukan makna tekstualnya, namun mengharuskan adanya makna lain yang terkandung dalam ayat tersebut. Kalangan ulama yang berpendapat demikian terbagi menjadi dua mazhab. Mazhab yang pertama adalah mazhab salaf yang ketika mendapati hal demikian maka mereka mengambil metode tafwidh. Metode ini tidak mengisbatkan makna tekstual yang ada, namun tidak juga mengambil jalan takwil, melainkan menyerahkan persoalan makna ayat tersebut kepada Allah. Mazhab ini juga disebut dengan mazhab al-mufawwidhin. Para ulama yang termasuk mazhab ini adalah ulama periode sebelum abad ke 3 hijriyah.

Mazhab selanjutnya adalah mazhab khalaf, dimana ketika mendapati hal seperti di atas, maka mereka mengambil metode interpretasi metaforis atau biasa disebut dengan takwil. Mereka menganalisis teks ayat tersebut sampai mendapatkan makna yang paling sesuai dengan konteks ayatnya. Para ulama mazhab ini disebut dengan mazhab al-mu’awwilin. Sebagian besar ulama mazhab ini adalah para ahli tafsir dan pen-syarah hadis Rasulullah SAW.

Hal tersebut tidak hanya terjadi pada zaman ulama dahulu, namun juga terjadi pada masa sekarang. Mirisnya, yang terjadi bukanlah perbedaan pendapat, namum kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an, baik itu ayat muhakkamah terlebih lagi ayat-ayat mutasyabihat. Salah satu contohnya adalah kesalahan dalam pemahaman penggalan ayat :

 "...والفتنة أشد من القتل"

Sebagian besar masyarakat awam pada masa kini memahami dari ayat tersebut bahwa fitnah (menyebarkan berita bohong tentang seseorang) itu lebih kejam dari pembunuhan. Mereka pun menguatkan klaim tersebut dengan banyaknya kerusakan yang terjadi akibat fitnah, bahkan terkadang fitnah mampu memicu pertumpahan darah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dilansir dari laman wahdah.or.id yang ditulis oleh Abu 'Aqilah Altofunnisa.

Bila menilik secara sekilas, klaim tersebut sangat baik dan tepat. Namun, apakah itu sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah?. Imam At-Thabari dalam tafsir beliau menjelaskan bahwa kata الفتنة pada ayat tersebut tidak berarti penyebaran hoax terhadap seseorang, namun beliau menjelaskan bahwa makna الفتنة  adalah cobaan dan ujian. Selain itu dengan meninjau aspek asbabun nuzul ayat ini, maka didapati bahwa ayat ini tidak membahas perkara penyebaran hoax, namun ayat ini berkenaan tentang peristiwa dan anjuran untuk berperang.

Perbandingan antara dua zaman di atas sangat berbeda. Yang terjadi pada ulama dulu adalah perbedaan pendapat dan bukan kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an, karena mereka mempunyai keahlian dalam bidang tersebut. Berbeda dengan yang terjadi pada masa ini, yang terjadi adalah kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam jurnal yang berjudul Sebab-sebab Kesalahan dalam Tafsir, Abd. Halim, M.Hum. memaparkan pendapat Syekh Yusuf al-Qardawi yang bersumber dari kitab beliau Kaifa Nata'amal ma'a Al-Qur'an al-Azim, diantara faktor kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an adalah lemahnya pengetahuan terhadap hal-hal yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Quran, di antaranya adalah ilmu gramatikal arab serta ilmu penunjang lainnya seperti nasikh wal mansukh, asbabun nuzul dan lain sebagainya.

Pada tulisan ini penulis menitik beratkan bahwa, dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tidaklah cukup hanya dengan menggunakan terjemahan saja ataupun pemahaman secara tekstualitas, melainkan harus menggunakan perangkat penunjang berupa ilmu-ilmu tafsir. Pemahaman Al-Qur'an belum cukup dengan meninjau ke teksnya saja namun perlu pula meninjau secara konteksnya.

Kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran akan menimbulkan kerancuan serta kekeliruan yang sangat fatal jika terjadi. Ulama dahulu berusaha memahami kitab suci ini bukan hanya seenak mereka, melainkan melalui proses yang panjang serta pengetahuan yang mendalam. Pemahaman terhadap panduan hidup ini sangat krusial dalam kehidupan ini, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Dengan adanya tulisan ini penulis berharap, semoga para pembaca tidak menerima pemahaman Al-Qur'an secara teksnya saja, melainkan memerlukan pemahaman konteks serta aspek penting lainnya. Pemahaman secara tekstualitas tanpa meninjau hal-hal tersebut dapat memicu adanya pemahaman  yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Quran.

 

Selasa, 30 September 2025

Poligami dan Mitos Kesalehan; Kritik Pemahaman Perempuan Sebagai Objek Keimanan


Oleh: Aqsha Rif'at RM Saeed

Sebuah gelombang narasi tengah berhembus dalam percakapan keagamaan kita. Ia menyelinap dalam ceramah, obrolan media sosial, dan diskusi keluarga. Menyuguhkan sebuah standar tak tertulis, bahwa perempuan yang "benar-benar shalehah" adalah ia yang dengan lapang dada menerima poligami. Penerimaan itu dianggap sebagai bukti tertinggi dari keikhlasan, kedalaman ilmu, dan kekuatan iman. Seolah-olah, ridanya hati dalam membagi kasih sayang adalah ujian pamungkas dari kesalehan seorang wanita.

Poligami pun, yang dalam syariat adalah sebuah ketentuan yang dibingkai dengan syarat-syarat yang sangat ketat, perlahan diromantisasi. Ia tidak lagi banyak dibahas sebagai sebuah solusi yang berat dan penuh tanggung jawab, melainkan lebih sering dikemas sebagai lompatan spiritual. Sebuah "ladang pahala" atau "ujian keimanan" yang harus dijalani perempuan.

Narasi ini kerap menyederhanakan perasaan sedih, kecewa, dan cemburu seorang istri sekadar sebagai bentuk keimanan yang belum matang. Di sisi lain, penerimaan total dianggap sebagai puncak kematangan beragama. Pola pikir ini lambat laun membentuk sebuah pandangan yang sangat berisiko, seakan tingkat ketakwaan seorang perempuan ditentukan oleh kemampuannya mematikan fitrahnya untuk cemburu.

Pertanyaannya kemudian, benarkah gelar ‘shalehah’ harus diraih dengan mengubur suara hati dan hak untuk merasa aman? Tulisan ini ingin mengajak kita melihat lebih jernih, membahas antara ketentuan syariat yang ada dan tuntutan kesalehan yang tidak proporsional, dimana ini justru dibebankan hanya kepada satu pihak.

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami esensi yang sering terlupakan, apakah poligami benar-benar sebuah anjuran dalam Islam? Syariat memang memberikan kebolehan berpoligami, namun dengan catatan yang sangat jelas dan tegas. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa' ayat 3 yang artinya, "Maka nikahilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat...". Tapi justru di sinilah letak kunci pemahamannya—ayat ini tidak berdiri sendiri.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih Al-Ghaib menjelaskan bahwa konteks QS. An-Nisa' ayat 3 ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak beristri terlalu banyak. Secara historis, masyarakat Arab pra-Islam atau zaman Jahiliyah melakukan poligami tanpa batas dan aturan. Seorang laki-laki bisa menikahi puluhan wanita tanpa keharusan untuk berlaku adil. Perempuan sering kali diperlakukan sebagai bagian dari harta warisan, dan status mereka sangat rentan.

Pendapat ini berkembang dari pandangan sahabat Ikrimah R.A. yang mengemukakan bahwa konteks ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak yatim yang juga banyak. Ketika ia menafkahkan hartanya untuk para istrinya, hartanya habis dan menjadi orang yang kurang harta, maka ia tidak akan mampu memenuhi hak nafkah anak yatim yang dirawatnya.

Dalam konteks sosial yang keras dan tidak berpihak kepada perempuan inilah, syariat Islam datang membawa reformasi radikal. Islam tidak menciptakan poligami untuk memperbanyak istri, tetapi justru untuk membatasinya dan memberinya kerangka etika yang sangat ketat. Ayat ini turun bukan dalam ruang hampa, melainkan sebagai bagian dari solusi untuk masalah sosial saat itu, termasuk melindungi janda dan anak yatim yang rentan pasca peperangan.

Al-Qur’an juga langsung menegaskan kekhawatiran akan ketidakadilan dengan lanjutan ayat tersebut, "...jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hendaklah seorang saja...". Ayat ini tidak hanya sekadar peringatan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa monogami (beristri satu) justru lebih dianjurkan ketika keadilan tidak dapat dijamin.

Banyak ulama yang memandang poligami sebagai jalan yang tidak lazim—bukan sesuatu yang dianjurkan—apabila ikatan monogami sudah mampu menciptakan keluarga yang tenang dan penuh cinta. Imam Syafi'i, seperti dikutip dalam kitab Al-Bayan karya Syaikh Al-Umroni, berkata, "Aku lebih menganjurkan seseorang untuk menikahi satu wanita saja, meskipun boleh baginya menikah lebih dari satu." Pendapatnya ini berlandaskan firman Allah Swt. yang memprioritaskan keadilan.

Pernyataan beliau ini bukanlah tanpa alasan. Dalam kitab yang sama, al-Bayan, bahkan diriwayatkan sebuah dialog yang memperjelas sikapnya. Suatu ketika, Imam Syafi'i ditanya, "Mengapa engkau mengatakan menikahi satu perempuan itu lebih utama? Padahal Rasulullah Saw. memiliki banyak istri? Sedangkan Nabi tidak mungkin melakukan kecuali yang terbaik?"

Imam Syafi'i menjawab, "Selain Nabi, yang utama baginya adalah menikahi satu wanita saja karena dikhawatirkan ia tidak bisa adil. Sedangkan Nabi sudah pasti dijamin bisa berbuat adil."

Jawaban ini membedakan dengan tegas antara kekhususan Nabi Muhammad Saw., yang mendapatkan jaminan keadilan langsung dari Allah, dengan kondisi manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Bagi Imam Syafi'i, meneladani Nabi bukanlah dengan meniru jumlah istri beliau, tetapi dengan meneladani kepastian dan komitmen beliau dalam menegakkan keadilan—sebuah standar yang sangat tinggi dan sulit dicapai oleh orang biasa.

Pesan utamanya jelas, syariat justru mengajak kita untuk bersikap hati-hati, realistis, dan menomorsatukan keadilan di atas keinginan. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj yang menyatakan, "Dan disunahkan bagi seseorang untuk tidak menambah lebih dari satu istri tanpa ada kebutuhan mendesak."

Kemudian, yang kerap luput dari perbincangan adalah kelanjutan firman Allah dalam QS. An-Nisa' ayat 129 yang secara gamblang menyatakan, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat adil...". Ayat ini bukan sekadar pengingat, melainkan penegasan tentang keterbatasan manusia dalam memenuhi syarat utama poligami.

Lantas, seperti apa konsep keadilan yang dimaksud syariat? Prof. Quraish Shihab dalam berbagai karyanya sering menekankan bahwa keadilan dalam poligami bersifat multidimensi. Ia bukan hanya keadilan material yang terukur, seperti pembagian harta, giliran, dan tempat tinggal. Lebih dari itu, keadilan yang dimaksud mencakup keadilan immaterial yang jauh lebih halus dan sulit diukur, yaitu keadilan dalam cinta, kasih sayang, dan perhatian. Menurutnya, ketidakmampuan untuk bersikap adil dalam hal perasaan inilah yang ditegaskan oleh QS. An-Nisa’ ayat 129, sehingga poligami tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang mudah dan biasa.

Justru karena ketidakmampuan inilah, poligami ditempuh hanya dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak. Hakikatnya, syariat lebih mengutamakan kehati-hatian dan menjadikan monogami sebagai pilihan utama ketika keadilan—yang menjadi pondasi—tidak dapat dijamin. Hal ini juga senada dengan pendapat Syekh Said Ramadhan Al-Buthi bahwa tidak seharusnya seorang lelaki menambah istri kecuali dalam keadaan gawat darurat.

Pemahaman ini meluruskan narasi yang sering menyempitkan makna adil sekadar pada pembagian jatah yang bersifat fisik. Keadilan sejati, dalam pandangan Islam, harus memenuhi rasa aman dan diakui keberadaannya secara utuh oleh setiap pihak. Oleh karena itu, ketika syariat mensyaratkan keadilan, ia sebenarnya sedang menetapkan standar yang sangat tinggi—bahkan hampir mustahil dicapai secara sempurna oleh manusia biasa—sehingga poligami secara implisit lebih diposisikan sebagai rukhsah (keringanan) dalam kondisi tertentu, bukan sebuah anjuran yang harus diraih.

Oleh karena itu, mendudukkan poligami dalam bingkai yang tepat menjadi sangat penting. Ia bukan medan ujian kesalehan satu arah yang hanya dibebankan kepada perempuan. Kesalehan adalah jalan dua arah, sebuah tanggung jawab bersama yang dibangun di atas fondasi keadilan, kejujuran, dan kasih sayang, bukan pengorbanan sepihak.

Mengaitkan gelar ‘shalehah’ dengan penerimaan poligami tanpa syarat justru berisiko mengubah perempuan dari subjek yang beriman menjadi objek pasif dalam sebuah proyek kesalehan. Ia seolah ditempatkan sebagai batu uji bagi spiritualitas suami, sekaligus penjaga gawang yang harus menelan pahitnya ketidakadilan dengan senyuman. Ini adalah beban yang tidak proporsional dan justru bertentangan dengan ruh syariat yang datang untuk melindungi dan memuliakan perempuan.

Islam memandang perempuan sebagai mitra yang setara dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesalehan sejati terletak pada kemampuan kedua belah pihak untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran. Seorang suami yang shaleh adalah yang mampu bersikap adil dan bertanggung jawab, bukan hanya yang mampu mengumpulkan istri. Seorang istri yang shalehah adalah yang mampu menjaga hak suami dan keluarganya dengan penuh cinta dan kelembutan, bukan yang dipaksa mematikan fitrahnya untuk merasa cemburu dan ingin dilindungi secara eksklusif.

Misi reformatif Islam dalam poligami justru ingin mengangkat martabat perempuan, bukan menurunkannya. Ia hadir untuk melindungi, bukan untuk menistakan. Ia adalah opsi dalam kondisi tertentu yang penuh pertimbangan, bukan sebuah kompetisi spiritual untuk melihat siapa yang paling tahan sakit.


 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes