BREAKING NEWS

Rabu, 19 April 2023

Egosentrisme Ormas Islam dalam Menentukan Hari Raya Idul Fitri





Oleh: Muhammad Alim Nur

Tidak terasa lebaran tinggal beberapa hari lagi, namun kita akan dihadapkan lagi dengan hal yang selalu menjadi perdebatan setiap tahunnya di tengah-tengah masyarakat tentang metode penetapan Hari Raya di Indonesia.

Baru-baru ini, Kementerian Agama (Kemenag) menyebut akan ada kemungkinan terjadinya perbedaan penetapan awal Bulan Syawal 1444 H atau  2023 M. Artinya, ada kemungkinan terjadinya perbedaan Hari Raya Idul Fitri 2023.

Perbedaan pandangan mengenai siapa yang berhak menentuan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia belum sampai pada titik final, akan tetapi jika kita memakai kacamata Islam, maka kita akan mendapati bahwa yang berhak menentukan hari raya adalah ulu al-amr. Dan ini sudah menjadi diskusi tahunan setiap beberapa hari sebelum Idul Fitri.

Pengertian Ulu al-Amri

Sebelum terlalu jauh membahas apa itu ulu al-amr, ada baiknya kita mengkaji maknanya terlebih dahulu. Ulama mempunyai pengertian yang berbeda tentang ulu al-amr. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Jailani dalam bukunya Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Ibnu Uyainah memberikan pengertian ulu al-amr dengan para pemegang kekuasaan. Adapun ar-Radzi menyebut ahli ijmak (mujtahid) sebagai ulu al-amr.

Kemudian dalam, Ensiklopedia Al-Qur'an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci karya Dawam Raharjo, kata ulu al-amr menurut Muhammad Abduh adalah Sekelompok orang yang mempunyai otoritas keilmuan yang diistilahkan dengan Ahl al-halli wa al- ‘aqdi.

Dalam kitab tafsir karya at-Thabari yang berjudul al-Musamma Jami‘u al-Bayan fi Ta’wilal-Qur’an menyebutkan beberapa pengertian ulu al-amr, yaitu ahli fikih dan ahli agama (ahl al-fiqh wa ad-Din), cendikiawan (ahl ‘ilm), ulama dan para sahabat Rasulullah Saw.

Adapun pengertian dari Departemen Agama tentang ulu al-amr adalah orang-orang yang memegang kekuasaan di antara umat Islam yang meliputi pemerintah, penguasa, alim ulama, pemimpin politik dan pemimpin organisasi. Ini berarti pengertian ulu al-amr yang diartikan dengan pemimpin mempunyai Makna yang luas yang meliputi urusan duniawi dan urusan akhirat.

Peran dan Fungsi Ulu al-Amri

Berbicara tentang peran dan fungsi ulu al-amr, berarti berbicara perannya sebagai pemegang kekuasaan atau kekuasaan yang kewenangannya didelegasikan Kepadanya. Dengan kehidupan atau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan kekuasaan adalah merupakan lahan ulu al-amr. Oleh karena itu, ulu al-amr adalah Pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang otoritas kekuasaan adalah merupakan lahan ulu al-amr. Oleh karena itu, ulu al-amr adalah pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang otoritas (Dawam Raharjo).

Perdebatan tentang peran dan fungsi ulu al-amr tidak akan pernah selesai dibicarakan, karena egosentrisme di antara ormas Islam di Indonesia sangat tinggi. Jika kita telusuri peran dan fungsi ulu al-amr pada masa Rasulullah saw., kita bisa melihat bagitu pentingnya kedudukan ulu al-amr.

Akan tetapi Perlu dibedakan antara ulu al-amr pada masa Rasulullah saw. dengan ulu al-amr setelah beliau wafat. ulu al-amr yang pertama diangkat oleh Rasulullah saw., sedang yang kedua tidak diangkat oleh beliau, tetapi diangkat sebagai pelaksana tugas kepemimpinan yang dimiliki oleh Rasulullah saw. semasa hidupnya, yakni mengatur kehidupan umat dengan menegakkan hukum-hukum Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara Rasulullah saw. dan para ulu al-amr terdapat ikatan yang menghubungkan mereka berupa kewajiban menegakkan hukum Allah, atau dengan perkataan lain bahwa ulu al-amr adalah pemimpin yang perannya adalah sebagai khalifah Rasulullah saw. dengan fungsi melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan politik atas umat Islam.

Siapakah yang berhak menentukan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia?

Penentuan Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi diskusi tahunan setiap mendekati hari lebaran di Indonesia, karena  permasalahan siapakah ulu al-amr itu? Lalu jika ada yang ditunjuk oleh presiden menjadi hakim dan ulu al-amr untuk menentukan Hari Raya Idul Fitri, apakah semuanya sepakat untuk mengikutinya? Melihat negara kita banyak diwarnai dengan ormas Islam yang memiliki acuan dan pijakan yang berbeda.

Setidaknya terdapat dua polarisasi pemahaman tentang pelaksanaan keputusan Pemerintah (Menteri Agama). Pertama, karena pemerintah adalah ulu al-amr maka keputusannya harus ditaati. Kedua, tidak ada keharusan mengikuti keputusan pemerintah tentang hari raya karena pemerintah bukanlah satu-satunya yang dimaksud dengan ulu al-amr. Dan hal inilah yang membuat mengapa selalu terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri.

Metode Ru’yatu al-Hilal

Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan metode ru’yatu al-hilal dalam menentukan awal Ramadan, Idulfitri maupun Iduladha. Metode ini dipilih lantaran dianggap sesuai dengan sunah Nabi Muhammad saw..

Ketua PBNU Bidang Keagamaan KH Ahmad Fahrurrozi mengatakan, metode ru’yatu al-hilal sudah digunakan nabi dan para sahabat dalam menentukan awal waktu. Sedangkan metode hisab baru ditemukan ratusan tahun setelah zaman nabi.

Menurutnya metode hisab itu perhitungan kalau ru'yat itu penglihatan. Jadi pada zaman nabi itu belum ada orang pintar matematika pada hari itu, jadi nabi itu patokannya melihat.

Kemudian 300 tahun kemudian dari zaman nabi, zaman sahabat hisab itu belum ada. Setelah ditemukan metode hisab, para ulama sudah mulai menggunakannya.

Kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan oleh nabi adalah metode ru’yatu al-hilal, dan metode hisab baru ada setelah Rasulullah wafat, dalam artian metode hisab tidak pernah digunakan oleh nabi untuk menentukan awal Ramadhan.

Metode Hisab

Dalam buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi Dan Aplikasi  karya Asjmuni Abdurrahman bahwa Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan awal bulan dan awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.

Muhammadiah menggunakan metode hisab untuk menentukan Hari Raya Idul Fitri, karena alasan  semangat Al-Quran adalah metode hisab. Begitu juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode  penentuan ru’yatu al-hilal yang juga mengambil dari semangat Al-Quran untuk menentukan hari raya dengan didasarkan pada penglihatan dan pengamatan bulan secara langsung.

Keotentikan metode Ru’yatu al-Hilal

Menurut Ibnu Daqiq al A’id dalam kitab ihkam al-ahkam mengatakan bahwa ru’yatu al-hilal adalah cara satu-satunya mengetahui masuknya suatu bulan, hisab hanya digunakan ketika kita tidak mampu melihat hilal. Begitupun hadis-hadis yang membahas tentang pergantian bulan pun mengatakan seperti itu, dan lafadz-lafadznya tidak menunjukkan kalau kita bisa memilih salah satunya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa dari metode ru’yatu al-hilal lebih otentik untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadan. Saya melihat bahwa wajar saja kita berbeda pendapat dalam hal ini, karena perbedaan metode, akan tetapi sepatutnya kita se-iya dalam satu kata sambil bergandengan tangan, menentukan Hari Raya Idul Fitri misalnya, karena syariat telah mengatur semua itu, dengan memakai metode ru’yatu al-hilal.

Maka dari itu, agar tidak terjadi lagi perdebatan, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama harus memaksimalkan peran Dewan Itsbat sebagai hakim, karena semua komponen ulu al-al-amr sudah ada di sana. Mengapa terjadi perbedaan lagi, padahal al-al-qhodoou yarfa’u al-khilaf (ketetapan hakim menghilangkan perbedaan).

Dapat dilihat bahwa yang di Indonesia, yang bertindak sebagai hakim adalah Dewan Itsbat sebagai lembaga yang benar-benar menjadi tempat musyawarah para ulama atau mujtahid dalam menetapkan Hari Raya Idul Fitri dan seyogianya semua ormas harus mengikuti dan menaatinya. Bukan tidak menghargai perbedaan, akan tetapi singkirkan dulu egonya, agar kita bisa merasakan kebahagiaan dan kemenangan di hari yang sama.


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes