![]() |
Oleh: Muhammad Alim Nur
Tidak terasa lebaran tinggal beberapa hari lagi, namun kita akan
dihadapkan lagi dengan hal yang selalu menjadi perdebatan setiap tahunnya di
tengah-tengah masyarakat tentang metode penetapan Hari Raya di Indonesia.
Baru-baru ini, Kementerian Agama (Kemenag) menyebut akan ada
kemungkinan terjadinya perbedaan penetapan awal Bulan Syawal 1444 H atau 2023 M. Artinya, ada kemungkinan terjadinya
perbedaan Hari Raya Idul Fitri 2023.
Perbedaan pandangan mengenai siapa yang berhak menentuan Hari Raya Idul
Fitri di Indonesia belum sampai pada titik final, akan tetapi jika kita memakai
kacamata Islam, maka kita akan mendapati bahwa yang berhak menentukan hari raya
adalah ulu al-amr. Dan ini sudah menjadi diskusi tahunan setiap beberapa
hari sebelum Idul Fitri.
Pengertian Ulu al-Amri
Sebelum terlalu jauh membahas apa itu ulu al-amr, ada baiknya kita
mengkaji maknanya terlebih dahulu. Ulama mempunyai pengertian yang berbeda
tentang ulu al-amr. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Jailani dalam
bukunya Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Ibnu Uyainah memberikan
pengertian ulu al-amr dengan para pemegang kekuasaan. Adapun ar-Radzi
menyebut ahli ijmak (mujtahid) sebagai ulu al-amr.
Kemudian dalam, Ensiklopedia Al-Qur'an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
kunci karya Dawam Raharjo, kata ulu al-amr menurut Muhammad Abduh
adalah Sekelompok orang yang mempunyai otoritas keilmuan yang diistilahkan
dengan Ahl al-halli wa al- ‘aqdi.
Dalam kitab tafsir karya at-Thabari yang berjudul al-Musamma Jami‘u
al-Bayan fi Ta’wilal-Qur’an menyebutkan beberapa pengertian ulu al-amr,
yaitu ahli fikih dan ahli agama (ahl al-fiqh wa ad-Din), cendikiawan (ahl
‘ilm), ulama dan para sahabat Rasulullah Saw.
Adapun pengertian dari Departemen Agama tentang ulu al-amr adalah
orang-orang yang memegang kekuasaan di antara umat Islam yang meliputi pemerintah,
penguasa, alim ulama, pemimpin politik dan pemimpin organisasi. Ini berarti
pengertian ulu al-amr yang diartikan dengan pemimpin mempunyai Makna
yang luas yang meliputi urusan duniawi dan urusan akhirat.
Peran dan Fungsi Ulu al-Amri
Berbicara tentang peran dan fungsi ulu al-amr, berarti berbicara
perannya sebagai pemegang kekuasaan atau kekuasaan yang kewenangannya
didelegasikan Kepadanya. Dengan kehidupan atau bidang-bidang kehidupan
kemasyarakatan yang menimbulkan kekuasaan adalah merupakan lahan ulu al-amr.
Oleh karena itu, ulu al-amr adalah Pemegang kekuasaan, pemegang komando,
pemegang otoritas kekuasaan adalah merupakan lahan ulu al-amr. Oleh
karena itu, ulu al-amr adalah pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang otoritas
(Dawam Raharjo).
Perdebatan tentang peran dan fungsi ulu al-amr tidak akan pernah
selesai dibicarakan, karena egosentrisme di antara ormas Islam di Indonesia
sangat tinggi. Jika kita telusuri peran dan fungsi ulu al-amr pada masa
Rasulullah saw., kita bisa melihat bagitu pentingnya kedudukan ulu al-amr.
Akan tetapi Perlu dibedakan antara ulu al-amr pada masa
Rasulullah saw. dengan ulu al-amr setelah beliau wafat. ulu al-amr
yang pertama diangkat oleh Rasulullah saw., sedang yang kedua tidak diangkat
oleh beliau, tetapi diangkat sebagai pelaksana tugas kepemimpinan yang dimiliki
oleh Rasulullah saw. semasa hidupnya, yakni mengatur kehidupan umat dengan
menegakkan hukum-hukum Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara
Rasulullah saw. dan para ulu al-amr terdapat ikatan yang menghubungkan
mereka berupa kewajiban menegakkan hukum Allah, atau dengan perkataan lain
bahwa ulu al-amr adalah pemimpin yang perannya adalah sebagai khalifah
Rasulullah saw. dengan fungsi melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan politik
atas umat Islam.
Siapakah yang berhak menentukan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia?
Penentuan Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi diskusi tahunan setiap
mendekati hari lebaran di Indonesia, karena permasalahan siapakah ulu al-amr itu?
Lalu jika ada yang ditunjuk oleh presiden menjadi hakim dan ulu al-amr untuk
menentukan Hari Raya Idul Fitri, apakah semuanya sepakat untuk mengikutinya? Melihat
negara kita banyak diwarnai dengan ormas Islam yang memiliki acuan dan pijakan
yang berbeda.
Setidaknya terdapat dua polarisasi pemahaman tentang pelaksanaan
keputusan Pemerintah (Menteri Agama). Pertama, karena pemerintah adalah ulu
al-amr maka keputusannya harus ditaati. Kedua, tidak ada keharusan
mengikuti keputusan pemerintah tentang hari raya karena pemerintah bukanlah
satu-satunya yang dimaksud dengan ulu al-amr. Dan hal inilah yang
membuat mengapa selalu terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan Hari Raya
Idul Fitri.
Metode Ru’yatu al-Hilal
Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan metode ru’yatu
al-hilal dalam menentukan awal Ramadan, Idulfitri maupun Iduladha. Metode
ini dipilih lantaran dianggap sesuai dengan sunah Nabi Muhammad saw..
Ketua PBNU Bidang Keagamaan KH Ahmad Fahrurrozi mengatakan, metode ru’yatu
al-hilal sudah digunakan nabi dan para sahabat dalam menentukan awal waktu.
Sedangkan metode hisab baru ditemukan ratusan tahun setelah zaman nabi.
Menurutnya metode hisab itu perhitungan kalau ru'yat itu penglihatan.
Jadi pada zaman nabi itu belum ada orang pintar matematika pada hari itu, jadi
nabi itu patokannya melihat.
Kemudian 300 tahun kemudian dari zaman nabi, zaman sahabat hisab
itu belum ada. Setelah ditemukan metode hisab, para ulama sudah mulai menggunakannya.
Kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan oleh nabi adalah metode ru’yatu
al-hilal, dan metode hisab baru ada setelah Rasulullah wafat, dalam
artian metode hisab tidak pernah digunakan oleh nabi untuk menentukan
awal Ramadhan.
Metode Hisab
Dalam buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi Dan Aplikasi karya Asjmuni Abdurrahman bahwa Hisab
atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu
astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung
posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan awal bulan dan awal tahun
dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal
Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Muhammadiah menggunakan metode hisab untuk menentukan Hari Raya
Idul Fitri, karena alasan semangat
Al-Quran adalah metode hisab. Begitu juga dengan Nahdlatul Ulama (NU)
yang menggunakan metode penentuan ru’yatu al-hilal yang juga
mengambil dari semangat Al-Quran untuk menentukan hari raya dengan
didasarkan pada penglihatan dan pengamatan bulan secara langsung.
Keotentikan metode Ru’yatu al-Hilal
Menurut Ibnu Daqiq al A’id dalam kitab ihkam
al-ahkam mengatakan bahwa ru’yatu al-hilal adalah cara satu-satunya
mengetahui masuknya suatu bulan, hisab hanya digunakan ketika kita tidak mampu
melihat hilal. Begitupun hadis-hadis yang membahas tentang pergantian bulan
pun mengatakan seperti itu, dan lafadz-lafadznya tidak menunjukkan kalau kita
bisa memilih salah satunya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dari metode
ru’yatu al-hilal lebih otentik untuk menentukan awal dan akhir bulan
Ramadan. Saya melihat bahwa wajar saja kita berbeda pendapat dalam hal ini,
karena perbedaan metode, akan tetapi sepatutnya kita se-iya dalam satu kata sambil
bergandengan tangan, menentukan Hari Raya Idul Fitri misalnya, karena syariat
telah mengatur semua itu, dengan memakai metode ru’yatu al-hilal.
Maka dari itu, agar tidak terjadi lagi perdebatan,
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama harus memaksimalkan peran
Dewan Itsbat sebagai hakim, karena semua komponen ulu al-al-amr sudah
ada di sana. Mengapa terjadi perbedaan lagi, padahal al-al-qhodoou yarfa’u al-khilaf
(ketetapan hakim menghilangkan perbedaan).
Dapat dilihat bahwa yang di Indonesia, yang
bertindak sebagai hakim adalah Dewan Itsbat sebagai lembaga yang benar-benar
menjadi tempat musyawarah para ulama atau mujtahid dalam menetapkan Hari Raya
Idul Fitri dan seyogianya semua ormas harus mengikuti dan menaatinya. Bukan
tidak menghargai perbedaan, akan tetapi singkirkan dulu egonya, agar kita bisa
merasakan kebahagiaan dan kemenangan di hari yang sama.
Posting Komentar