![]() |
Foto pemateri |
Resume Nadwah Ilmiah IADI Mesir
Jumat, 16 Februari 2024
Pemateri: Alman Haris Harjuni
Moderator: Andi Baso Alwan Jaya
Notulis: Ahmad Adnang
Tema: POLITIK IDENTITAS DALAM PARADIGMA POLITIK ISLAM
Politik identitas merupakan alat perpolitikan yang digunakan oleh suatu kelompok seperti suku, etnis, budaya, agama atau sebagainya. Politik Identitas merupakan alat politik yang digunakan untuk melakukan perlawanan atau juga digunakan sebagai alat untuk menunjukan jati diri kelompok-kelompok tersebut. Politik Identitas memiliki fokus pada permasalahan yang terkait dengan perbedaan-perbedaan yang tertuju pada fisik tubuh, pertentangan agama, etnisitas, budaya, ataupun bahasa yang digunakan. Politik Identitas lahir karena adanya kepentingan minoritas yang termarjinalkan.
Jika ditelisik dari sejarahnya, politik identitas muncul karena reaksi bukan aksi, sebagai akibat alih-alih penyebab. Ketika kelompok mayoritas atau mainstream mengabaikan kelompok tertentu yang memiliki arus pinggiran dalam politik, apakah itu suku, kedaerahan atau keagamaan.
A. Konsep Politik.
Politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani kuno atau bahasa Latin, politicos atau ploiticus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti warga Negara atau warga kota. Dalam bahasa Inggris, kata politic menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan yang berarti bijaksana. Politik diartikan pula sebagai kebijakan, cara bertindak
Secara istilah, “politik” pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang juga dikenal dengan Republik. Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul Politeia. Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui bahwa politik merupan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan Masyarakat
B. Konsep Plitik Islam
Secara istilah, banyak tokoh cendekiawan muslim yang memberikan definisi dan pandangan tentang politik Islam. Menurut Syekh Muhammad Imarah, politik Islam merupakan sebuah praktek politik yang lebih mendekatkan manusia kepada kemaslahatannya, dan menjauhkannya dari kerusakannya, walaupun tidak secara langsung disyariatkan atau diturunkan wahyu berkenaan dengannya.
Atas dasar itulah terdapat perbedaan yang mendasar antara politik Islam yang berorientasi dengan dunia dan akhirat dengan politik umum (sekuler) yang sebatas berorientasikan dunia semata, karena politik sekuler hanya mengurus manusia yang berorientasikan duniawi, untuk kehidupan duniawinya, guna mencapai tujuan duniawinya semata.
C. Politik Identitas
Tidak ada definisi tunggal untuk istilah “politik identitas” (identity politics) dalam literatur. Namun secara umum, politik identitas dikaitkan dengan agenda, aksi, aktivisme politik yang di dalamnya anggota kelompok berbasis identitas mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, dan praktik yang hegemonik.
D. Politik Identitas Dalam pandangan Politik Islam
Ada tiga hal mendasar yang menjadi inti beridentitas dalam politik menurut Hadratussyekh Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Nahdhatul Ulama: Melihat fenomena yang ada pada Masyarakat terkait politik identitas, dimana segala cara dilakukan politisi dalam mendapatkan kekuasaan. Dan tentu identitas adalah salah satu alat untuk mencapai itu. Misalnya identitas Agama, maklum saja kewajiban setiap warga negara Indonesia yang tertuang dalam Pancasila pada urutan pertama adalah ketuhanan yang maha esa, Ini memiliki arti bahwa Setiap warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk beragama. Dalam hal ini pastinya al-Qur’an akan ikut andil dalam meluruskan pemahaman mengenai politik identitas ini. Disebutkan secara eksplisit keragaman etnis manusia dalam AlQur’an, Al-Qur’an juga menyebutkan perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku yang menunjukkan pengakuan terbuka Islam terhadap
keragaman etnis dan budaya manusia.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”(Al-Hujurat:13)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Kebiasaan manusia selalu memandang harkat martabat itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.
Pertanyaan Panelis
• Pertanyaan: Kapan isu politik identitas mewarnai diskusi di Indonesia?
• Jawaban: Pelacakan dokumen yang terindeks “Google” menemukan frasa ini sudah digunakan di pertengahan atau akhir 1990an. Secara spesifik, pelacakan terhadap artikel ilmiah di “Google Scholar” menemukan, buku pertama berbahasa Indonesia yang menyinggung isu ini adalah tulisan Muhammad A.S. Hikam (2000) yang berjudul “Islam, Demokrasi, dan Permberdayaan Civil Society”.
Untuk selengkapnya baca di link ini:
https://docs.google.com/document/d/1SpGXGngYWrDAN2y7bHKmit7TrfCzLt4_/edit?usp=drivesdk&ouid=112339717109274718683&rtpof=true&sd=true
Posting Komentar