BREAKING NEWS

Jumat, 22 Juli 2022

Sejarah dan Sepak Terjang DDI Dalam Kancah Internasional

 

Oleh: Rahmatullah (Dep. SOSIAL IADI Mesir)

 

Tahun 1932, H. M. Yusuf Andi Dagong diangkat menjadi Anang (raja) di swapraja Soppeng Riaja (sekarang salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Barru, Sul-Sel). Tiga tahun kemudian, beliau mendinkan tiga buah masjid dalam wilayah kekuasaannya, salah satunya berada di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan.

Namun masjid tersebut kurang berisi jamaah karena rendahnya pengetahuan dari pemahaman masyarakat terhadap ajaran islam. Untuk mencari solusi, diadakan pertemuan di Saoraja (rumah besar/kediaman raja) Mangkoso. Pertemuan itu meyepakati untuk membuka lembaga pendidikan dengan meminta kepada Anregurutta H. Muhammad As'ad, seorang ulama yang memimpin madrasah/MAI di Sengkang Wajo agar mengirim seorang muridnya, yaitu Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk mengelola lembaga pendidikan (Bugis: angngajiang) yang akan dibuka di Mangkoso.

Rabu 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938, Anrgurnutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle resmi membuka pesantren di Masjid Jami Mangkoso dengan sistem halaqah (Bugis: mangaji tudang). Kemudian pada tanggal 20 Zulkaidah 1357 H atau 11 Januari 1939 dibuka tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah, I'dadiyah, dan Tsanawiyah. Pesantren tersebut diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso. Dalam perkembangannya, MAI membuka cabang di berbagai daerah, misalnya di Pangkep, Soppeng, Wajo, Sidrap, Majene, dan berbagai daerah lainnya.

Tahun 1947, Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah se-Sulawesi Selatan bermusyawarah untuk membahas tentang perlunya dibentuk suatu organisasi guna meningkatkan fungsi dan peranan MAI Mangkoso, maka muncullah beberapa usul tertang nama bagi organisasi yang dibentuk ini. Antara lain usul dan KH. Muh. Abduh pe Pabbadjah نصر الحق (Nashr al-Haqq), dari Ustadz H. Muh. Thahir Usman mengusulkan nama العروة الوثقى (al-Urwah al-Wutsqa) sementara Syekh Abd. Rahman Firdaus mengusulkan nama دار الدعوة والاِرشاد (Darul Da'wah Wal Irsyad). Setelah dimusyawarahkan, maka yang disepakati secara bulat adalah nama “Darul Da'wah Wal Irsyad”.

Menurut Syekh Abd. Rahman Firdaus, pemberian nama demikian adalah merupakan tafa'ul dalam rangka menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian Dar (دار) = Rumah, artinya tempat atau sentral penyiaran, Da'wah (دعوة) = Ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut, al-Irsyad (الاِرشاد) = Petunjuk, artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul pendidikan melalui sarana pesantren/madrasah.

Berdasarkan pada argumen yang disebut di atas, maka Darul Da'wah Wal Irsyad pada hakikatnya adalah suatu organisasi yang mengambil peran dalam fungsi mengajak manusia ke jalan yang benar dan membimbingnya menunut ajaran islam ke arah kebaikan dan mendapatkan keselamatan dunia akhirat.

Demi terwujudnya organisasi ini hingga program-programnya dapat segera terlaksana, maka peserta Alim Ulama mengamanahkan kepada Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle selalu pimpinan MAI Mangkoso urmak mengambil prakarsa seperlunya.

Segera beliau menjalankan amanah yang diembannya ini dengan mengundang seluruh guru MAI Mangkoso beserta utusan cabang-cabang MAI Mangkoso dan daerah-daerah agar segera datang ke Mangkoso untuk menghadiri musyawarah yang akan diadakan pada bulan Sya'ban 1336 H (1947 M). Musyawarah ini diadakan untuk menyusun program yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati dalam musyawarah di Watan Soppeng beberapa waktu sebelumnya. Berdasarkan musyawarah tersebut, maka diketahuilah bahwa pada asasnya MAI Mangkoso adalah cikal bakal berdirinya sebuah organisasi yang sampai kini dikenal dengan nama DDI.

Dilihat dari sudut Historis Sosiologis, MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu 20 Zulkaidah 1357 H atau 11 Januari 1938 merupakan elemen dasar lahirnya suatu wadah yang ditunjang dengan suatu idealisme yang dalam pengembangannya berwujud organisasi DDI. Atas Paradigma inilah, jelas pula posisi musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jam'ah yang diselenggarakan pada hari Jum'at 16 Rabiul Awal 1366 H atau yang bertetapan dengan 17 Februari 1947 di Watan Soppeng suatu forum untuk menumukan usaha untuk mengembangkan potensi umat dengan membenahi dan meningkatkan peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat, dengan konsekuensi diintergrasikannya MAI Mangkoso menjadi organisasi Darul Da'wah Wal Irsyad (DDI).

Pengintegrasian itu sendiri harus diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan struktural dan operasional dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata, menjadi organisasi yang bersifat kemasyarakatan yang lapangan geraknya mengambil peranan dalam bidang pendidikan, dakwah dan usaha-usaha sosial.

 

Perkembangan Dan Sepak Terjang DDI

Sejak dikukuhkannya menjadi organisasi, peran DDI sebagai organisasi, dan peran DDI sebagai lembaga pendidikan dan syiar agama Islam sangat signifikan. Terbukti dengan permohonan untuk mendirikan cabang dari berbagai daerah kian banyak.

Sementara dalam perkembangannya, pola penyebaran DDI ke berbagai daerah di Indonesia sangat erat kaitannya dengan migrasi (diaspora) orang-orang bugis ke berbagai daerah. Itulah sebabnya Anregurutta Ambo Dalle pemah berkata, "Di mana ada orang Bugis, disitu ada DDI".

Pola penyebaran DDI pada umumnya dialami oleh madrasah atau pesantren cabang DDI di berbagai daerah. Itulah sebabnya, DDI berkembang di daerah-daerah yang banyak terkosentrasi pada orang-orang Bugis. Seperti Balikpapan, Tarakan, Bontang, Kutai, di Kalimantan, Riau, Batam, Jambi di Sumatra, Palu, Donggala, Toli-toli di Sulawesi Tengah, dan hampir semua kabupaten di Papua Timur dan Papua Barat.

Namun bukan berarti bahwa DDI hanya bisa berkembang di tangan-tangan orang Bugis atau DDI hanya milik orang Bugis. Di beberapa tempat seperti Flores dan Kendari, DDI juga dibangun dan dikembangkan oleh penduduk lokal atau perantau dari suku lain, perantau dari Bugis hanya merintis dan memperkenalkan.

Eksitensi DDI yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia membuktikan konsitensi DDI dalam membina umat, yang memadukan kedalaman ilmu, keluasan wawasan keagamaan, maupun kebangsaan, dan berhiaskan akhlakul karimah.

Santri DDI berdaya saing marketable, sehingga memiliki kapabilitas untuk melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi agama dan umum, negeri atau swasta, di Indonesia maupun di luar Negri termasuk di Negri Kinanah ini.

Khusus di Mesir, beragam prestasi telah ditorehkan alumnus DDI. Di bidang akedemik, beberapa waktu lalu hingga sekarang alumnus DDI berhasil menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar baik dalam program License, Master, bahkan program Doktoral. Tidak hanya di bidang akademik saja, akan tetapi alumnus DDI juga menorehkan prestasi di bidang non akademik seperti juara 1 Lomba Futsal se-Almamater di kalangan Masisir yang berjumlah 24 Almamater pada 2017 lalu. Dan kembali meraih juara 2 Lomba Futsal se-Almamater di kalangan Masisir yang terdiri dari 16 Almamater pada 2018 lalu. Disamping itu IADI (Ikatan Alumni DDI) juga pernah dinobatkan sebagai almamater terbaik se-Masisir pada tahun 2012/2013.

Layaknya seorang ibu, DDI kini telah melahirkan ribuan bahkan puluhan ribu anak, dengan beragam spesialis dan profesi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, maupun diluar Negeri. Dengan tetap menjaga karakteristik anak DDI: Keikhlasan, Kedisiplinan, Teguh dalam pendirian, Kemandirian dan Kesederhanaan.

                “Berikanlah aku ilmu. Jadikan ilmuku berberkah dan siapapun yang menuntut ilmu di sini (Pesantren DDI) dengan hati yang ikhlas akan mendapatkan keberkahan ilmu itu, dan aku minta agar tujuh generasiku menjadi ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.” (Doa AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle saat didatangi Lailatul Kadar pada tanggal 9 November 1358 di Masjid Jami Addariyah Mangkoso, Barru).

 

                ADDARIYAH EDISI 57, 20 APRIL 2019

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes