![]() |
Foto Sertifikat |
Juara Dua Lomba Menulis Esai Pada Peringatan HAUL AGH. Abdurrahman Ambo Dalle ke-26
Oleh: Fikru Jayyid Husain
Akal adalah anugerah sekaligus ujian bagi manusia. Melalui akal, manusia pada mampu mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mempermudah hidupnya. Namun, akal juga yang membuat manusia saling bermusuhan, merugikan satu sama lain, dan melupakan makna hidupnya. Pengetahuan tanpa makna hanya akan membuat manusia semakin jauh dari jati dirinya. Sisi spiritual manusia semakin tergerus oleh materialisme. Mereka tidak lagi mampu mencapai makna dan hakikat dari berbagai hal karena sibuk memikirkan sisi luarnya saja.
Umat muslim pun tidak luput dari krisis spiritual. Salah satu indikasinya yang mewabah saat ini adalah pertentangan dan permusuhan. Umat muslim terpecah belah di bawah fanatisme golongan (‘așabiyah). Akhirnya wajah Islam yang penuh damai jadi tercoreng. Mereka mengeksklusifkan diri dengan yang lain, menganggap golongan di luarnya atau yang berbeda paham dengannya sebagai musuh yang harus dibasmi. Islam yang harusnya “ramah”, dibuat “marah” oleh umatnya sendiri. Tak heran jika banyak yang mempersoalkan kembali Islam sebagai rahmatan lil ‘ālamīn.
Dimensi lahir manusia memang tidak bisa luput, namun jika tidak dilengkapi dengan batin, ia akan kering tak bermakna. Mengembangkan kecerdasan spiritual menjadi penting dan perlu, karena manusia bermodal jasmani dan akalnya saja belum bisa menjadi insān kāmil. Menggunakan potensi jasmani, akal, dan spiritual secara seimbang akan mengantar manusia menuju kesadaran fungsi utamanya di dunia ini, sebagai khalifah yang mewujudkan kemaslahatan dan mencegah mudarat.
Kecerdasan Spiritual: Telaah Konsep dan Relasinya dengan Agama
Sebelum membahas kecerdasan spiritual, penulis terlebih dahulu memaparkan apa itu kecerdasan intelektual (IQ) dan emosional (EQ). Hal ini perlu untuk memberi pemahaman komprehensif bagaimana kaitan antar ketiga bentuk kecerdasan tersebut.
Kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient, sering disingkat IQ) adalah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh psikolog yang berkebangsaan Jerman, Willian Stern pada 1912. IQ adalah kecakapan intelektual, analisis, logika, dan rasio. IQ juga bisa diefinisikan sebagai ketajaman akal atau ketajaman kognisi. Tokoh psikologi pendidikan, Edward Lee Thorndike memberi pengertian bahwa IQ terbagi menjadi beberapa kemampuan spesifik. Ia mengklasifikasikan IQ ke dalam tiga bentuk. Pertama, abstraksi. Kemampuan individu memanfaatkan gagasan dan simbol-simbol. Kedua, mekanik. Kemampuan menggunakan berbagai alat mekanik dan kemampuan melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas sensor motorik. Ketiga, sosial. IQ juga bisa dilihat dari kecakapan individu dalam berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang efektif. Bisa dipahami bahwa IQ tidak hanya dalam ranah abstraksi, tapi bagaimana kemudian hal-hal abstrak tersebut dimanfaatkan dalam realitas kehidupan.
Mengandalkan IQ semata tidaklah cukup, maka perlu juga mengembangkan potensi kecerdasan emosinal (Emotional Quotient, sering disingkat EQ). Tokoh yang pertama kali mengembangkan konsep ini adalah Daniel Goleman. Ia mendefinisikan bahwa EQ adalah kemampuan individu dalam mengenali beragam emosi dari diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola berbagai emosi, baik pribadi maupun yang berhubungan dengan yang lain. Ukuran EQ bisa dilihat dari kecakapan berempati dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Lebih lanjut Cooper menjelaskan bahwa EQ tidak hanya sekadar peka secara emosional, namun juga menuntut untuk belajar mengakui dan menghargai emosi yang dialami diri sendiri dan orang lain. Dari dua pengertian ini bisa ditarik satu benang merah bahwa EQ adalah kecakapan dalam mengetahui dan mengelola emosi pribadi dan orang lain.
Lalu ada kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, bisa disingkat SQ) sebagai kemampuan individu dalam menghadapi dan menemukan solusi dari berbagai masalah esensialnya. Tokoh yang mengembangkan konsep SQ ini adalah Danah Zohar, ia mendefinisikan SQ sebagai kecerdasan yang digunakan individu dalam mengatasi dan memecahkan berbagai masalah makna dan nilai. Kecerdasan yang mampu menempatkan realitas kehidupan individu dalam konteks yang lebih luas, lebih kaya, dan memberi makna. Kecerdasan yang mampu memberi nilai bahwa satu tindakan atau jalan hidup yang ditempuh lebih bermakna daripada yang lain.
Posisi SQ di antara IQ dan EQ adalah penyeimbang. Jika IQ diwakilkan dengan “What I think”, EQ dengan “What I feel”, maka SQ diwakilkan dengan “What I am”. IQ tanpa EQ dan SQ akan menyebabkan hati menjadi buta dan membatu. Pengetahuan yang diperoleh hanya akan menyebabkan kerusakan. Mengandalkan IQ dan EQ semata akan melahirkan individu yang egois, apatis dan agnostik. Bahkan bisa menjadi diktator dan koruptor. Keadaan-keadaan ini bisa terjadi karena IQ dan EQ tidak mampu menemukan tujuan hidup. Hidupnya hampa, sehingga pertanyaan “mengapa” tidak mampu dijawab.
SQ adalah pangkal yang mampu melandasi kecerdasan-kecerdasan lainnya, sehingga semuanya bisa saling terhubung. Kertawirian menjelaskan bahwa manusia secara hakikat memiliki potensi sifat-sifat ketuhanan. Jika otak kiri berfikir rasional-logis, maka ia harus berdasarkan petunjuk Tuhan Yang Maha Pemberi Petunjuk atas paradigma rasional-logis tersebut. Adapun otak kanan yang berfikir emosional, maka ia meyakini ada Yang Maha Penyayang, Maha Pemaaf, dan Maha Pembalas. Penting untuk menyeimbangkan ketiganya kecerdasan ini, dengan IQ terisi, EQ terkontrol, dan SQ terpenuhi. Bentuk ideal dari sinkronisasi ketiga kecerdasan ini akan melahirkan pribadi yang pintar, berakhlak, dan religius.
Dimensi SQ tidak selalu tentang agama, namun jika memperhatikan definisi yang telah dijelaskan, nampaknya SQ sangat erat kaitannya dengan agama karena sama-sama berakhir pada hubungan dengan realitas tertinggi, Tuhan. Nilai yang diperoleh tidak menjadi sakral jika tidak diyakini berasal dari Tuhan. Maka SQ menjadi penting bagi pribadi muslim dalam menyempurnakan potensi kemanusiaannya. Tanpa SQ, berbagai ritual keagamaan hanya menjadi rutinitas tanpa makna. Seorang muslim tanpa SQ hanya akan merepresentasikan Islam sebagai agama yang kering, agama yang kehilangan jiwa dan semangatnya.
Pengembangan Kecerdasan Spiritual sebagai Ikhtiar menuju Insān Kāmil
Allah sangat menyayangi manusia, dan salah satunya dengan cara menganugerahi mereka berbagai ragam kecerdasan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kecerdasan manusia bisa dikategorikan dalam tiga-tipe, IQ, EQ, dan SQ, yang ketiganya tidak mesti menegasikan satu sama lain, melainkan saling memengaruhi dan memberi manfaat. Optimalisasi ketiganya akan mampu mengantar manusia pada taraf insān kāmil, manusia yang sempurna.
Manusia dianugerahi berbagai hal oleh Allah demi menjalankan fungsinya sebagai pengelola dunia ini. Berbagai ciptaan yang Allah sediakan di dumi tak ayal untuk kepentingan manusia. Ia diberi hak mengelola bumi beserta isinya sebagai lanjutan dari amanah yang telah diemban. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan paling sempurna dan paling mumpuni struktur tubuhnya (Aḥsan Taqwīm). Namun, jika anugerah tersebut tidak dioptimalkan, maka manusia akan jatuh dalam kehinaan dan degradasi. Demikian apa yang tertuang dalam QS. at-Tīn.
Unsur-unsur yang melengkapi manusia sehingga ia dikategorikan sebagai Aḥsan Taqwīm adalah rangkaian dari fisik, roh, akal, nafsu, dan kalbu. Fisik adalah unsur lahiriah manusia secara biologis. Roh adalah esensi yang menyebabkan tubuh fisik manusia hidup, memiliki kesadaran, dan berbagai emosi. Lalu terdapat akal sebagai instrumen yang pelengkap sehingga manusia memiliki IQ. Melalui akal, manusia mampu mengenal, mengetahui, menganalisis, memahami, dan merefleksikan kembali berbagai hal yang diketahuinya. Manusia juga diberi nafsu, unsur yang dikonotasikan dengan kebutuhan biologis, materalis, dan segala hal yang bersifat profan. Nafsu adalah salah satu unsur yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa nafsu, manusia akan punah. Nampaknya posisi EQ ada pada tautan akal dan nafsu ini. Lalu, unsur pelengkap terakhir adalah kalbu. Di sinilah posisi SQ penting dikembangkan. Kalbu adalah unsur yang digunakan manusia dalam upayanya memahami makna dan hakikat sesuatu dan juga sebagai pengontrol akal dan hati. 11 Demikian jika kelima unsur ini dioptimalkan, manusia akan bisa mempertahankan predikat Aḥsan Taqwīmnya.
Lalu bagaimana seorang muslim bisa mengupayakan potensi SQnya? SQ dalam Islam harus dibangun berdasarkan hubungan dengan Allah, karena menurut Nasr, spiritualitas bersumber dari ajaran Islam yang meliputi akidah, ibadah, muamalah, dan ilmu. Seorang muslim harus mengenal Allah melalui pemahaman sifat dan perbuatan-Nya sehingga ia bisa meniru sifat-sifat-Nya yang mulia. Jika hal tersebut tidak dilanggengkan, sebagai konsekuensinya Allah sendiri yang akan menutup dimensi spiritual manusia itu. Fazlur Rahman menjelaskan ini ketika ia berusaha menguak spirit di balik ayat-ayat yang menyebabkan tertutupnya hati. Menurutnya, jika seorang manusia melakukan kebaikan atau kejahatan maka kesempatan untuk melakukan perbuatan yang sama akan semakin besar, dan di sisi lain kesempatan untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin kecil. Maka dengan terus menerus berbuat baik, maka manusia akan dihindarkan dari perbuatan jahat, dan juga sebaliknya.
Selain hubungan dengan Allah, SQ juga dibangun dengan hubungan sesama manusia. Termasuk indikasi kemapanan SQ adalah mereka yang selalu mengedepankan nilai persaudaraan, kesetaraan, keterhubungan, empati, dan cinta terhadap sesama. Hal ini bisa diemplementasikan dalam kehidupan muamalah. Selain dengan sesama manusia, SQ juga ditandai dengan penghayatannya dengan alam sekitar, sehingga tanda-tanda Allah yang ada pada ciptaannya bisa ditadaburi. Tak hanya berhenti pada tadabur, manusia juga akan menyadari tanggung jawabnya untuk menjaga bumi. Dalam Islam, eksploitasi terhadap lingkungan adalah dosa, sehingga para ulama memformulasikan ri’āyah al-bī’ah sebagai keniscayaan dalam Maqāṣid Syarīah demi mengatasi krisis ekologi.
Jika disimpulkan, setidaknya kecerdasan spiritual bisa dilihat dengan kemapanan dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan kepada Allah dengan penguatan akidah, melaksanakan berbagai ibadah, dan melakukan perjalanan tasawuf. Sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan personal, komunal, dan lingkungan yang terpatri dalam Maqāṣid al-Qur’ān, yaitu iṣlāh al-fard (maslahat individual), iṣlāḥ al-mujtama’ (maslahat sosial), dan iṣlāḥ al-‘Ālam (maslahat alam, lingkungan). Pengoptimalan SQ ini akan menyempurnakan dua kecerdasan lainnya, IQ dan EQ, sehingga manusia mampu mencapai taraf insān kāmil.
Daftar Pustaka
A. Anastasi. Psychologycal Testing. New York: MacMillan Publishing Co.INC, 1976.
Carter, Philip. Tes IQ dan Psikometri. Jakarta: PT Indeks, 2010.
Cooper dan Sawaf. EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Ghobary Bonab, Bagher; Miner. “Attachment to God in Islamic Spirituality.” Journal of Muslim Mental Health 7, no. 2 (2013). https://doi.org/10.3998/jmmh.10381607.0007.205.
Goleman, Daniel. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books, 1999.
Kertawirian, Rajendra. 12 Langkah membentuk Manusia Cerdas. Jakarta: Hikmah, 2004.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Spiritualitas dan Akhlak. 1. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam and the Plight of Modern Man. Diterjemahkan oleh Anas Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.
Ngaji Filsafat 354 : Kecerdasan Spiritual, 2022.
https://www.youtube.com/watch?v=H53pU91my6o.
Pakpahan, Dedek Pranto. Kecerdasan Spiritual (SQ) dan Kecerdasan Intelektual (IQ) dalam Moralitas Remaja Berpacaran: Upaya Mewujudkan Manusia yang Seutuhnya. Malang: CV. Multimedia Edukasi, 2021.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1983.
Rena, Syahidah. “Mengatasi Stres Melalui Spiritualitas dan Regulasi Diri: Studi pada Mahasiswa Kedokteran di DKI Jakarta.” DoctoralThesis, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/50109.
Safaria T. Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. Yogyakarta: Amara Books, 2005.
Thorndike, Edwars Lee. The Development of Intelligency. United Kingdom: Psychological Press, 1999.
Zohar, Danah, dan Ian Marshall. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Jakarta: Mizan, 2005.
Biodata Penulis
Fikru Jayyid Husain, lahir pada tanggal 2 Maret 1999 di Polewali Mandar Sulawesi Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Usai menamatkan pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso, penulis menimba ilmu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta program studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Penulis bertempat tinggal di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini berdomisili di Yogyakarta. Akun media sosial yang dapat dikunjungi antara lain: Facebook:Fikru Jayyid, email: fikrujayyid@gmail.com.
Posting Komentar