![]() |
Foto Sertifikat |
Juara Satu Lomba Menulis Esai Pada Peringatan HAUL AGH. Abdurrahman Ambo Dalle ke-26
Oleh: Salsadilla Musrianti H.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia, pesantren dikenal sebagai lembaga yang berfokus dalam mentransformasikan nilai-nilai keislaman. Sehingga banyak dari masyarakat yang menyematkan panggilan “ustaz” atau “ustazah” terhadap para alumni pesantren, saat bertanya mengenai suatu persoalan terkait keagamaan. Meskipun panggilan tersebut mengindikasikan keyakinan masyarakat bahwa seorang alumni pesantren adalah seseorang yang mahir dalam keagamaan, namun keyakinan tersebut juga berlaku terhadap hal sebaliknya. Seorang santri, seringkali dipandang sebagai orang yang hanya menguasai ilmu agama, dan tidak mengetahui hal-hal selainnya, seperti ilmu kedokteran, psikologi, hukum, dan lain sebagainya. Lantas, benarkah pandangan yang demikian?
Pada mulanya, pondok pesantren memang dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Kehadiran pesantren lebih ditujukan terhadap penyebaran sekaligus wadah dalam mempelajari agama Islam. Metode pengajaran yang diterapkan dalam pesantren pun cukup berbeda dengan sekolah-sekolah formal lainnya, yang hanya memberi sedikit ruang terhadap agama sebagai mata pelajaran yang penting untuk dipelajari. Adapun metode-metode tersebut berupa sorogan dan bandongan. Jika sorogan adalah posisi dimana seorang santri menghadap kiai secara personal, maka bandongan adalah posisi dimana para santri duduk melingkari kiai. Keduanya merupakan ciri khas dari metode pengajaran yang ada di pesantren.
Lambat laun, metode pengajaran yang ada di pesantren semakin bervariatif. Jika metode sebelumnya hanya terbatas pada ruang lingkup majelis keilmuan, maka kehadiran kelas formal menjadi terobosan baru bagi dunia pesantren dalam menghadirkan beragam ilmu selain keagamaan. Bahkan, metode ini telah banyak diterapkan oleh hampir seluruh pesantren di Indonesia. Oleh sebab itu, meskipun kedua metode yang menjadi ciri khas pesantren—yang telah disinggung sebelumnya— tidak benar-benar hilang, namun pesantren di masa sekarang, lebih dikenal sebagai lembaga keislaman yang juga mengajarkan ilmu-ilmu formal, seperti matematika, sains, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai” membagi pesantren menjadi dua kategori: salafi dan khalafi. Adapun pesantren salafi tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya dengan memakai sistem sorogan. Salah satu contoh pesantren jenis ini adalah Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Sedangkan pesantren khalafi ialah pesantren yang telah mengembangkan pengajaran ilmu-ilmu umum, atau dengan membuka model sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Contoh pesantren jenis ini adalah Pondok Modern Gontor.
Tidak cukup di situ, pesantren terus mengalami perkembangan dan pembaharuan di setiap langkahnya. Hal ini didasari oleh kesadaran terhadap perkembangan zaman yang memaksa manusia untuk terus bergerak, alih-alih berdiam di tempat. Tholkhah Hasan, selaku mantan Menteri Agama Republik Indonesia, mengungkapkan bahwa sebagai lembaga pendidikan, pesantren sudah seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi berikut: pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer-transfer ilmu agama. Kedua, pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial. Ketiga, pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial atau perkembangan masyarakat. Menurut beliau, semua itu hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan yang lebih baik.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pesantren perlu terlebih dahulu mengidentifikasi kemampuan para santrinya. Tersebab, pengidentifikasian ini erat kaitannya dengan upaya menyeimbangkan antara hard skill dan soft skill. Adapun hard skill merupakan kemampuan dalam pembacaan kitab-kitab klasik yang sudah menjadi tradisi bagi setiap santri untuk mengamalkannya. Oleh sebab itu, moetode pengajaran yang bersifat sorogan dan bandongan di atas merupakan tradisi yang tidak boleh hilang, dan harus diteruskan dari masa ke masa. Sedangkan soft skill merupakan kemampuan yang ada dalam diri setiap santri. Kemampuan ini bisa berbeda-beda, menurut minat dan bakat setiap santri .
Pengembangan soft skill berkaitan erat dengan pembentukan karakter seorang santri. Oleh sebab itu, proses identifikasi dalam hal ini menjadi penting, sebab dapat membantu pihak-pihak pesantren untuk lebih mengenali santri-santrinya. Sehingga, sebagai lembaga keilmuan yang berfungsi melakukan pekembangan masyarakat, pesantren dapat memfasilitasi bakat dan perkembangan santrinya dengan lebih baik. Tentu, ketika hal ini dapat terealisasikan, seorang santri akan dengan mudah memberikan kontribusinya terhadap masyarakat, sekaligus mengharumkan nama baik pesantren.
Salah satu contohnya adalah perihal organisasi. Jika menilik kategorisasi pesantren sebagai pesantren salaf, maka organisasi bukanlah sesuatu yang penting untuk lahir di lembaga yang hanya berfokus pada ilmu keagamaan. Namun, jika berpihak pada kategorisasi pesantren sebagai pesantren khalaf, maka kehadiran organisasi menjadi sangat perlu, untuk menghadirkan jiwa-jiwa kepemimpinan sekaligus kecakapan dalam diri seorang santri. Lebih daripada itu, kecakapan tersebut juga dapat membantu seorang santri untuk lebih luwes dalam menyesuaikan ataupun berkontribusi di masyarakat.
Masih perihal pembentukan karakter, sistem yang ada di pesantren sangat berperan penting dalam membentuk karakter santri. Salah satunya adalah sistem di pesantren yang mengharuskan setiap santri untuk bersikap mandiri. Meskipun tinggal dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya, setiap santri akan dituntut untuk bersikap mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, seperti merapikan tempat tidur, mencuci baju, dan lain sebagainya. Selain itu, kegiatan di pesantren yang sedemikian padat, juga berperan penting dalam membentuk karakter seorang santri yang pandai mengatur waktu: kapan waktu belajar, kapan waktu mengaji, dan kapan waktu istirahat .
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pesantren di masa sekarang harus termasuk dalam kategori pesantren khalaf, dimana urgensi terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu formal adalah seimbang. Pun melihat sistem pesantren yang dirasa sudah cukup mampu dalam membentuk karakter yang kuat dalam diri seorang santri, sangat disayangkan apabila pesantren di mata masyarakat—terlebih kontribusi alumninya—hanya tersorot dalam bidang keagamaannya saja, dan justru meredup dalam bidang-bidang yang lain.
Padahal, Gus Dur telah memberikan contoh nyata bagi kita, bagaimana seorang santri dapat berkontribusi di luar ranah keagamaan. Bahkan, beliau menjamah dunia perpolitikan yang bagi sebagian orang merupakan dunia yang kotor, dan tidak pantas untuk menjadi tempat berkecimpung bagi orang-orang yang paham agama. Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemikiran ini tertanam dalam diri kita, bahwa santri tidak hanya dapat berperan sebagai ustaz atau ustazah saja, melainkan sebagai agen perubahan yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia.
Daftar Pustaka
Indah Hermaningrum, Muhammad Alfian, dan Pristian Hadi Putra. “Peran Pesantren Sebagai Salah Satu Lembaga Pendidikan Islam.” Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman. Vol. 20, No.2 (2020).
Imam Syafe’i. “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter.” Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 8 (2017) .
Suddin Bani. “Kontribusi Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional.” Auladuna. Vol.2, No. 2 (2015).
Muh. Niam, Isbandi Rukminto Adi. “Kontr.ibusi Pondok Pesantren Dalam Mengembangkan Human Capital.” Jurnal Pembangunan Manusia. Vol.2. No.1 (2021).
Munirah. “Sistem Pendidikan Di Indonesia: Antara Keinginan dan Realita.” Jurnal UIN (Universitas Islam Negeri) Alaudin Makassar.
Dhofier, Zamakhsyari, 1985. “Tradisi Pesantrem Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai”. Jakarta: LP3ES.
Biodata Penulis
Nama: Salsadilla Musrianti Hidayatullah
Asal: Surabaya
Kekeluargaan: Gamajatim
Almamater: Himmah RAM
Jurusan: Syariah wal Qanun
Posting Komentar