Kaki itu mengayun menyapu pasir halus berwarna kekuningan di sekitarnya. Meninggalkan jejak-jejak seketika, sebelum hilang kembali tersapu angin yang tak mau kalah perkasa oleh terik matahari yang juga semakin sangar menyengat segala sesuatu yang ia jumpai. Pandangannya mengalun ke seluruh arah bersamaan dengan kakinya yang masih saja sempoyongan melangkah. Tidak ada yang matanya tangkap kecuali semua nampak sama, padang pasir gersang yang seolah tak bertepi. Sudah dari tadi ia berusaha menggerakkan jasadnya mencari jalan keluar dari jiwanya yang semakin terombang-ambing.
Mulutnya yang tadinya masih ia usahakan menyebut-nyebut nama Tuhan serta kekasih-Nya, kini hanya menganga kepayahan karena lelah yang sudah tak tertahankan. Sesekali pasir-pasir yang dibawa udara panas itu singgah ke tenggorokan keringnya, membuatnya batuk dengan kesakitan yang luar biasa. Tangannya yang masih kukuh memegang erat tasbih usang rapuh. Tasbih sederhana dengan 99 butir terbuat dari kayu yang kini sudah tampak retak di sebagian sisinya, juga dengan tali perangkai yang juga sudah mulai terurai. Tasbih itu ia dapatkan dari gurunya lima tahun lalu. Dari awal ia menerimanya, keadaannya memang sudah tidak tampak baik.
Namun tampaknya tak ada lagi untaian-untaian tasbih di setiap butirnya kali ini, hanya genggamannya yang semakin kuat mencengkeram benda kesayangannya itu. Pakaian putih tipis yang ia kenakan juga sembari dari tadi basah tak terkira oleh keringat tubuhnya. Kopiahnya sudah dari tadi diterbangkan angin, ia tak punya kuasa dan daya untuk mengejar, mengambil, lalu meletakan kembali ke kepalanya, untuk berjalan saja ia sudah setengah mati.
Namun bukan hanya jasad tubuhnya yang merasakan kesengsaraan saat ini, bahkan juga hatinya begitu merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Ia tak tahu dari mana kesedihan itu. Seolah mengikuti kepayahan jasadnya, jiwanya bersedih bahkan melebihi kesedihan jasadnya. Jiwa itu seperti mencari-cari sesuatu yang hilang darinya. Kegelisahan menyelimuti relung jiwanya, bahkan puji-pujian kepada kekasih dan Tuhannya serasa tak memberi debaran ketenangan seperti apa yang sering ia rasakan. Ia sungguh merasa sengsara lahir dan batin.
Tiba-tiba kedua kakinya terhenti, bukan karena telah menemukan jalan keluar dari kesengsaraannya, melainkan ia merasa tidak punya daya lagi untuk beranjak. Ia menjatuhkan tubuhnya bersimpuh lusu di atas hamparan pasir. Ia persis seperti unta kurus yang duduk di tengah gersangnya padang pasir. Ia menengadahkan wajahnya ke langit yang gagah bersih dari awan, lalu mengangkat tangan kanannya yang sembari dari tadi menggenggam tasbih usangnya. Ia menatap benda itu, benda yang senantiasa menemani perjalanan rohaninya. Tak ia sadari setetes air kesedihan jatuh dari mata merahnya, diikuti tetesan-demi tetesan yang semakin deras membasahi wajah usangnya. Ia merasa putus asa atas kesedihan dan kegelisahan yang membelenggunya. “Ke mana rasa ketenangan dan kesejukan yang selalu engkau beri? Aku sungguh membutuhkannya sekarang.” Hatinya bergumam sungguh bersedih, seolah berharap tasbih itu memberikan jawaban. Namun seperti seharusnnya, benda mati tetaplah benda mati, tak ada yang bisa di harapkan darinya, meski ia harap hukum kebiasaan terlampaui sekarang, namun nyatanya tidak. Jadilah ia semakin bersedih dalam tangisnya, yang kini juga telah diiringi suara tangisan dari mulutnya. Menangislah ia seperti seorang bayi kehausan meminta asi ibunya.
“Sejak kapan aku ajarkan engkau berharap pada benda mati, wahai anakku?”
Tiba-tiba jiwanya menangkap satu sura yang begitu jelas. Ia sepontan mengangkat kepalanya, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Ia menoleh ke segala arah, namun tak ada seseorangpun yang ia temui, hingga pandangannya menangkap sebuah bayangan putih dari arah kanan dirinya. Ia berdiri seketika, berusaha menggerakkan tubuhnya, berlari menghampiri bayangan putih itu, seolah mendapat kembali asupan tenaga, ia berlari sekuat tenaga yang ia punya. Ia tak asing dengan suara khas itu, sambil kakinya mengayun semakin cepat, mulutnya berucap lirih: “Guru!”
Namun semakin kakinya melangkah lebih cepat, juga mulutnya yang semakin sering dan lirih memanggil sosok yang ia tuju, bayangan putih itu juga terasa semakin jauh. Langkahnya mulai melambat, hingga akhirnya tubuhnya kembali mencapai batasnya, lalu terhenti. Namun mulutnya masih saja menyebut-nyebut kata yang sama. Kini ia hanya bisa berdiri, terdiam menghadap sosok tujuannya itu, sembari matanya yang masih terus menggambarkan kesedihan jiwanya.
“Wahai anakku! Mengapa engkau seperti kehilangan arah tujuan?”
Suara itu kembali tertangkap jiwanya, namun hanya tangisan yang bisa ia suguhkan sebagai jawaban.
“Sejak kapan aku ajarkan dirimu untuk menjadikan mahluk sebagai tujuan atas perjalananmu, duhai anakku?” Sura itu kembali berlanjur, namun setelahnya hanya hening, bersama hilangnya pula bayangan putih di hadapannya.
Kini ia hanya terdiam, tertunduk seolah menghitung pasir yang menyapu kakinya. Hatinya seolah tertusuk begitu pedih oleh makna yang dihantarkan suara-suara itu, terutama pada kalimat yang terakhir. Ia merenung, seolah kebodohan dan ketersesatannya kini dipaparkan begitu jelas dalam jiwanya. Ia baru saja menyekutukan Kekasihnya secara tidak sadar, sungguh ia merasa begitu durhaka sekarang. Dengan tangisan penyesalan yang begitu sedih ia pejamkan matanya lalu berujar:
“Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah al azim allazi la Ilaha illa Anta, subehanaka inni kuntu minaz zaalimin, astagfiruka wa atubu ilaik. Ilahi Anta maksudi wa ridaka matlubi, aatini mahabbatak, wa ma’rimatak, wa biqurbika ya Allah!” Begitu lirih kalimat penghambaan itu terucap.
Seketika, kaki yang tadinya begitu panas oleh pasir gurun, kini terasa hawa sejuk di sana. Ia membuka matanya, dan ia dapati gemericik air mengaliri kedua kakinya, ia menghamparkan pandangannya ke seluruh arah. Padang pasir gersang dengan hawa panas yang begitu mencekam sudah tak ada, tergantikan menjadi pemandangan yang begitu menyejukan tubuh. Rindang tumbuhan di sekelilingnya, dengan hembusan udara sejuk menyapu dedaunan memberi suara-suara yang begitu tentram, seperti nyanyian ketenangan. Dirinya sekarang ia dapati berdiri di tepian sungai, dengan kedua kaki yang tersapu aliran jerninya. Seketika suasana kesusahan dan kegelisahan yang dari tadi membelenggunya kini tergantikan dengan kesejukan dan ketenangan yang begitu melenakan.
Ia menatap aliran sungai yang begitu jerni di hadapannya, airnya bening hingga dasar sungai terlihat jelas. Air sungai seolah mengundang dirinya untuk menikmati kesegarannya. Ia tak sanggup menolak ajakan itu, setelah sekian lama dirinya terbelenggu dalam kesengsaraan, ia merasa ini adalah saatnya untuk membayar kepayahan yang ia dapatkan sebelumnya, juga berharap mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Tak berpikir dua kali, ia seketika menyeburkan raganya, namun tak sadar ia juga ikut membawa jiwanya dalam kenikmatan itu.
Cukup lama ia menikmati segarnya air sungai, hingga rasa dingin menyelimuti raganya, dan ia rasa sudah cukup untuk itu. Kini ia duduk bersila di pinggiran sungai, menatap matahari yang sebentar lagi terbenam, dengan raga yang masih basah oleh air sungai. Ia tersenyum begitu bahagia, menikmati semua kenikmatan itu. Dari wajahnya tak terlihat lagi bekas kesengsaraan yang ia rasakan sebelumnya. Ia seperti telah mendapatkan tujuan dalam perjalanannya.
“Jangan engkau kira hijab hanya berupa kegelapan nak!”
Tiba-tiba suara itu kembali tertangkap oleh jiwanya, dan sungguh itu sangat jelas dengan telinga kanannya sekarang. Ia menoleh ke arah suara itu berasal, dan ia dapati seorang kakek tua telah duduk di sampingnya, mengikuti cara duduknya, dengan tatapan juga pada jingga di barat sana. Di tangan kanan sang kakek tampak tasbih yang butirannya bergerak saling tindih-menindih dengan jari telunjuk sebagai penggerak, dan ibu jari serta jari tengah sebagai tempat tasbih tergantung.
Seketika ia sadar, ia kehilangan tasbihnya, bagaimana mungkin ia tak menyadarinya, ia tak tau sejak kapan tasbih itu hilang dari genggamannya. Yang jelasnya tasbih yang sedang dipakai kakek tua itu adalah tasbih miliknya. Namun ia tak berani memintanya kembali, karena sekarang ia menatap senyum di wajah sang kakek tua: itu senyum gurunya. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya matanya yang kembali berbicara dengan air mata, seolah mengungkapkan betapa merindu dirinya pada sosok yang ada di sampingya sekarang.
“Jangan engkau kira hijab hanya berupa kegelapan nak!”
Gurunya kembali mengulang kalimat sebelumnya. Ia seolah tau muridnya belum sadar dengan kalimat pertamanya.
“Terkadang cahaya lebih keras menutupi daripada kegelapan. Ingat nak, dengan engkau sampai pada Sang Kekasih Sejati, ketenangan dan kebahagiaan akan menyelimutimu. Bukan sebaliknya, anakku. Tuhanmu bukanlah sebuah rasa. Bukan ketenangan dan ketentraman yang engkau sembah, nak!” Kalam-kalam itu berlanjut.
Hening sejenak,
“Niga-niga masero lesse angolnna, mawatanngitu lettu.”
Lalu angin dari selatan berhembus halus, sedikit menggoyangkan tasbih yang masih tergantung di tangan sang guru. Begitu juga dengan sarungnya yang terkibas halus. Semua rangkaian itu seolah mengiringi kalimat itu.
Setelah kalam-kalam itu terucap, lalu sang kakek menggerakan tangan kanannya, yang masih ada tasbih di sana, meletakan benda usang itu pada pangkuan sang murid, lalu berucap dengan tenang diakhiri senyum, sembari jasadnya seolah mengikuti hembusan arah angin, lalu pudar bersama ke mana laju udara itu berhembus.
“Aku kembalikan milikmu.”
***
Ia terbangun dari tidur lelapnya, dengan bekas perjalanan pada kantong matanya.
Tamat.
Oleh: Ahmad Adnang
Posting Komentar