BREAKING NEWS

Kamis, 05 Desember 2024

Hukum Fa'il


Resume Nadwah Lughowiyah


Pemateri 1: Mushawwir Rahman

Pemateri 2: Agung Putra Wijaya

Moderator: Andi Faris

Notulis: Muhammad Kamil



Bahasa Arab merupakan identitas umat Islam; karena memegang peranan sentral dalam kehidupannya, sebagai sarana untuk memahami ajaran agamanya. Sebagai bahasa Al-Qur’an, menguasai Bahasa Arab memungkinkan pelajar untuk menyelami makna dan konteks dari kitab suci serta hadis dengan lebih mendalam. Selain itu, dengan banyaknya sumber ilmu pengetahuan, dari tafsir hingga fiqh, yang ditulis dalam Bahasa Arab, kemampuan berbahasa ini menjadi kunci untuk menggali dan mendalami aspek-aspek agama Islam yang lebih luas.


Oleh karna itu, dalam Nadwah Lughowiyah kali ini akan membahas tentang hukum-hukum fail. Dengan murujuk pada kitab Audhah Al-Masalik.


Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap fi’il itu ada yang mengerjakan, dan yang mengerjakannya itulah yang dimaksud fa’il. Definisi  fail sebagaimana dalam kitab Audhah Al-Masalik adalah: 

اسم أو ما في تأويله أسند إليه فعل أو ما في تأويله، مقدم أصلي المحل والصيغة


Makna muqoddamun disini adalah bahwa fa’il nya tidak boleh mendahului fi’il nya. Sehingga fail yang mendahului fi’il nya bukanlah disebut jumlah fi’liyyah melainkan jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada’ dan Khabar.

Juga tidak termasuk dalam pengertian ini adalah fi’il mabni Lil majhul, karna isim rafa’ setelahnya bukanlah dirafa’ karna dia fail melainkan Naib ‘anil fail. Fa’il juga terkadang disandarkan kepada isim yang serupa dengan fi’il. Misalnya ( هيهات الرجل) kalimat ( الرجل ) disini sebagai fi’il.


Hukum-hukum fa’il

1. Sebuah fi’il manakala mempunyai fail yang berbentuk mufrad, mutsanna, atau jama’ maka fi’il nya tetap dalam bentuk mufrad/tunggal. Kecuali di beberapa kitab seperti (أكلوني البراغيث) Yang tidak sejalan dengan hukum ini. Misalnya ( قاما محمدان) dengan tetap menyesuaikan fi’il dan fa’ilnya.

2. Jika fa’ilnya muannats maka fi’ilnya ditambahkan ta’ ta’nis. Dalam hal ini penambahan  ta’ ta’nis ada dua hukum, wajib  dan  Jaiz. 

A. Wajib menambahkan ta’ ta’nis ada fi’il

Jika failnya adalah dhomir muttasil yang gaibah yang menunjukkan kepada fail muanntas, baik muannats haqiqi maupun majazi.

Jika antara fi’il dan fa’il yang muannats haqiqi tidak ada perantara, maka wajib hukumnya pada fi’il ada ketambahan ta’ ta’nis

B. Boleh menambahkan ta’ ta’nis ataupun tidak

Jika antara fi’il dan fa’il yang muannas haqiqi ada pemisah. Misalnya ( قام أمام المسجد فاطمة)

Jika failnya adalah muannas majazi. Misalnya (طلعت الشمس) juga bisa mengatakan (طلع الشمس).

Pertanyaan

1. Bagaimana pada ayat waqala niswatun minal manidah, disini fi’il nya tidak menggunakan ta’ ta’nis?

Jawab :

Menurut ulama basrah yang termasuk dalam muannas majazi adalah ismul jam’i, ismul jinsi, dan jama’ taksir. Dan kata ( نسوة) adalah ismul jam’i yang merupakan muannas majazi maka dalam hal ini fi’il nya boleh menggunakan ta’ ta’nis di ujungnya atau tidak.

 

2. Antara dua isim (mudzakkar dan muannas) mengapa hanya pada isim muannas yang membutuhkan alamat?

Jawab :

Karna mudzakkar adalah asli dan muannas adalah far’un. Sesuatu yang asli memiliki perbedaan dengan yang far’un. Perbedaan tersebut adalah bahwasanya yang asli itu tidak butuh tanda untuk menunjukkan bahwa dirinya asli, sedangkan far’un butuh tanda untukenunjukkan bahwa dia far’un.





Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes