BREAKING NEWS

Kamis, 13 Februari 2025

Bagaimana Manusia Berjalan di Bawah Bayang-Bayang Tuhan


Oleh: Hamsah Hasbar 

Hidup, bisa diibaratkan seperti sebuah rumah yang di dalamnya menghidangkan kepada tamunya beberapa pilihan. Pilihan yang setiap orang bertanggung jawab atasnya dan siap dengan konsekuensinya. Pilihan yang membuat kita melihat orang-orang kadang tertawa karena bahagia atau menangis karena sedih. Sementara hidup akan terus menawarkannya seolah-olah dia berkata terimalah dan kamu pasti bisa membawanya. Maka setiap jiwa membawa warna masing-masing, dari sananya kita bisa mengenal adanya perbedaan karakter antara aku, kamu, dan kita.

Misalnya seorang bayi terlahir ke dunia bertemankan tangis. Entah tangisnya karna telah tergambar baginya beban hidup atau tangisnya justru ungkapan bahagia yang tidak seorangpun bisa memahami kecuali si dia yang baru lahir. Namun teriak tangisnya disambut orang-orang sekitar dengan tawa bahagia. Inilah pesan si kehidupan, menjelaskan dirinya  bahwa hidup itu adalah kedua-duanya, bukan hanya tawa semata atau tangis sahaja, melainkan keduanya. 

Hidup telah menggambarkan banyak kepada kita bagaimana orang-orang menghabiskan jatah umurnya. Baik dari kisah-kisah yang telah lalu atau gambaran yang kita lihat di sekitar kita sekarang ini. Membuat kita mengamati dan berpikir ke mana mereka membawa langkah kaki dan bagaimana menutupnya di satu detik terakhir usia. Hidup terlalu baik untuk mengajarkan kita bagaimana melangkah di perjalanan berat, di waktu yang singkat dengan angan-angan yang tiada henti.

Hidup ini yang menjadikan sebuah keluarga yang hanya beratapkan bambu bisa tertawa lepas bersama. Juga di sebuah keluarga yang mendiami istana namun sepi suara tawa dan saling sapa. Jadi ada beribu kemungkinan, berjuta warna yang ditawarkan hidup untuk dijalani. Dan menjadi sebuah pertanyaan, mau dibawa kemana berjuta-juta warna itu?

Inilah yang diceritakan oleh M. Farhan Al Fadlil dalam bukunya yang berjudul Dilarang Mengajari Tuhan. Betapa Tuhan menganugerahkan kepada kita kenikmatan yang begitu luas. Dengan keluasan yang tak bertepi dan tak terhitung. Namun kenikmatan itu akan tertutup ketika pintu syukur juga tertutup. Sehingga celotehan dunia memenuhi jiwa. Hati menjadi buta. Tak ada ruang untuk menemukan kembali jalan yang lurus walau setapak, sedang Tuhan telah menyediakan delapan pintu surga yang terbuka untuk hamba-hambanya yang saleh. Artinya ada banyak jalan untuk selalu melangkahkan kaki-kaki kehidupan ke jalan yang semestinya.

Anak-anak manusia dengan segala kelimpahannya kadang terlalaikan dari tujuan hidupnya atau dengan kekurangannya pun membuat ia terlalu sibuk dengan tuntutan hidupnya. Tapi ada satu titik kesamaan yang mempertemukan kesempurnaan dan kekurangan, yaitu pencariannya pada rida Allah SWT. Bagaimana hidup dapat diarahkan kepada hal-hal yang diridai-Nya, baik dengan segala kesempurnaannya, pun dengan kekurangannya.

Sejarah mengajarkan bagimana dulunya seorang anak manusia bernama Fir’aun dengan kesempurnaan yang dimiliki, justru menjadikannya penutup kisah yang pilu. Hingga tak ada seorangpun yang ingin menamai anaknya dengan nama Fir’aun. Di sisi lain, nabi Sulaiman a.s. orang terkaya sepanjang sejarah hidup manusia sebelum dan sesudahnya, dengan kesempurnaan yang dimiliki justru menjadikannya akhir kisah yang indah bertintakan emas. Apa yang menjadikan Fir’aun dan nabi Sulaiman berbeda, meski kedua-duanya adalah raja yang paling berkuasa di zamannya? Ya, pencarian akan rida Tuhan.

Penulis akan sedikit mengisahkan bagaimana Fir’aun dan kekuasaannya yang melimpah ruah justru menjadi manusia tamak yang lupa akan diri dan penciptanya. Fir’aun adalah seorang raja di Mesir kuno yang terkenal zalim. Penindasannya terhadap Bani Israil sudah sangat melampaui batas. Pun dengan kesombongan dan keangkuhannya sampai-sampai ia mendeklarasikan bahwa dirinyalah Tuhan yang patut disembah.

Diutuslah seorang nabi yang akan mendakwahkan tauhid kepada Fir’aun, juga mengingatkannya akan kesombongannya. Beliaulah nabi Musa a.s. yang akan menyampaikan kepadanya pesan-pesan ilahi dan menuntunnya ke jalan hidup yang benar. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Fir’aun malah semakin sombong dan menentang ajaran yang dibawa nabi Musa a.s.

Hingga pada akhir kisah di keangkuhannya, Fir’aun bersama pasukannya mengejar nabi Musa dan pengikutnya. Dengan pasukan besarnya, ia berharap akan menangkap Musa dan mengalahkannya. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, merekalah yang dikalahkan. Fir’aun dan pasukannya ditenggelamkan Allah di laut Merah sekaligus itu menjadi akhir kisahnya.

Berbeda dengan tokoh satunya, yang juga diberikan banyak kelimpahan oleh Tuhan, seorang tokoh yang dikenal dengan nama nabi Sulaimn a.s., dikaruniai kelimpahan kekuasaan dan kekayaan, tidaklah menjadikannya kufur kepada Sang Pemberi, justru kelimpahan itulah yang membuatnya semakin bersyukur dan menghamba kepada Sang Haq. Dengan ujian dan cobaan dari sang mahakuasa membuatnya justru semakin sadar bahwa apa yang dia miliki bukanlah apa-apa dihadapan Allah Swt. dan semuanya akan kembali kepadanya. Kekayaan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, ia gunakan untuk kebaikan umat, menegakkan keadilan dan memperjuangkan agama Allah Swt., bukan malah membuatnya lupa dan buta akan diri dan Sang Pencipta.

Dari dua kisah di atas, kita bisa melihat bagaimana kehidupan mengajari kita di tiap zamannya. Apa yang terjadi hari ini adalah sejarah yang terulang. Seorang seberkuasa Fir’aun tidak kita dengar lagi namanya, tapi di luar sana Fir’aun-Fir’aun lain bermunculan. Dan hidup juga selalu melahirkan Sulaiman-Sulaiman kecil dari rahimnya. Lantas bagaimana dengan kita yang sekarang menyaksikan? Tentu bukan ingin menjadi Fir’aun selanjutnya kan?

Dari sini kita bisa melihat, banyak hal yang diajarkan hidup kepada manusia semasa hidupnya. Nilai-nilai kehidupan yang bukan hanya dongeng pengantar tidur belaka. Kalaulah dongeng dibacakan sebagai pengantar tidur, maka nilai-nilai ajaran hidup dibacakan sebagai pengantar menyelami nyenyaknya hidup. Nyenyak tanpa terganggu celotehan-celotehan dunia, nyenyak tanpa tergoda bisikan-bisikan dunia yang dapat membangunkan dari nyenyaknya hidup. Hidup bukan hanya melahirkan anak-anaknya tanpa arah dan tenggelam di palung kesesatan hingga terombang-ambing ombak dunia. Hidup menginginkan kita menjadi apa yang dicontohkann-Nya melalui utusan-utusan-Nya. Nabi Sulaiman, Nabi Musa, dan lain-lainnya, hingga nabi Muhammad SAW, adalah utusan-utusannya dan cerminan dalam memberikan teladan kepada anak-anak manusia lainnya. Sebagai tali pegangan yang menuntun kepada keselamatan dalam mengarungi ombak kehidupan. Inilah sedikit makna dari ayat ke 69 surah An Nisa yang berbunyi :

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا ۝٦٩

Artinya : “Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.



Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes