Oleh:
Muhammad Jurais
Iman secara etimologi berasal dari kata amana yang dalam Bahasa Arab
diartikan sebagai aman. Dalam konteks ini, iman dapat diartikan sebagai rasa
aman dari pendustaan ataupun pelanggaran terhadap yang diimani. Hal ini secara
tidak langsung mengantarkan seseorang yang ingin mendapatkan rasa aman, agar memercayai
sekaligus membenarkan apa saja yang dilakukan oleh sesuatu yang kita Imani,
baik salah ataupun benar sebagaimana dikatakan Syekh Abu Daqiqah dalam kitabnya
Al-Qoul as-Sadid fi ‘Ilm at-Tauhid.
Dalam Islam, iman sudah menjadi sesuatu yang harusnya melekat dalam diri
seorang hamba. Bagi seorang muslim, iman menjadi inti dari kehidupan spiritual
yang mencerminkan keyakinan, kepasrahan, dan hubungan yang mendalam kepada Allah
swt. Ia adalah cahaya yang menerangi sekaligus membimbing seorang hamba menuju
jalan kebenaran. Iman melambangkan kesempurnaan dalam beragama, juga menjadi
pondasi yang kokoh agar tak mudah terbawa arus kehidupan yang berlika-liku.
Seseorang tanpa iman bisa saja memiliki cara pandang tersendiri terhadap
keyakinan, seperti mengandalkan analisa melalui akalnya. Tetapi tidak bisa
dipungkiri, bahwa akal seringkali memiliki banyak celah apabila tidak dibarengi
dengan keimanan, karena bisa saja, sesuatu yang tidak masuk akal itu bukan
berarti tidak ada, seperti peristiwa isra mikraj, bentuk malaikat dan lain-lain.
Dalam sebuah artikel berjudul, Akal Pikiran Harus Didampingi Oleh
Iman ust Yurnalis s.Ag, salah satu dai yang terkenal di Riau mengemukakan,
bahwa manusia itu harus menggunakan akal sesuai dengan proporsinya. Bila akal
tidak mampu, maka iman memiliki peran yang penting dalam hal ini. Sesuatu yang
tidak logis belum tentu tidak ada, karena dalam lingkup Allah, itu tidak ada
yang tidak mungkin.
Semua itu dapat terjadi ketika seseorang tidak menempatkan iman dalam keyakinannya, layaknya perahu yang mengarungi
lautan tetapi tidak memiliki nahkoda. Rela diombang-ambing oleh arus dunia yang
tidak jelas arahnya ke mana. Terlebih bagi yang tidak memiliki dasar keyakinan
sama sekali, sudah jauh tenggelam di dalam huru-hara dunia yang fana dan penuh
kelalaian.
Ini menjadi dasar bahwa kapabilitas iman dalam diri manusia memang
sangat dibutuhkan, bahkan memiliki kedudukan serta peran penting dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Karena sifatnya yang sangat dibutuhkan, tak jarang orang
memiliki sikap fanatisme dalam beragama, khususnya permasalahan yang erat
kaitannya dengan keyakinan.
Tentang fanatisme, secara etimologi berasal dari Bahasa latin fanaticus
yang memiliki arti “terinspirasi oleh dewa” atau “kerasukan roh”. Dari
sini, kemudian masuk ke Bahasa Prancis sebagai “fanatisme” yang di kemudian
hari diadopsi oleh Bahasa Inggris sampai ke Bahasa Indonesia. Awalnya, kata ini digunakan dalam perspektif
keagamaan, yaitu menggambarkan seseorang yang memiliki pengabdian atau
kepercayaan ekstrim terhadap suatu ajaran. Seiring waktu, kata ini merambah dan
mencakup makna yang lebih luas, entah pada bidang politik, sosial, dan lain
lain.
Orang yang memiliki kefanatikan dalam dirinya sangat mempertahankan
prinsip yang tertanam dalam dirinya terhadap sesuatu dan dalam keadaan apapun,
bahkan dalam beberapa kasus, mereka tidak menerima pendapat orang lain,
kebanyakan pula berujung mencela pendapat yang dianut oleh orang lain.
Hal ini tentu berakibat mengantarkan orang-orang memandang fanatisme
cenderung ke arah negatif. Bukan tanpa alasan, orang yang memiliki sisi kefanatikan
sering mengorbankan pemikiran independennya demi mengikuti kepercayaan yang ia
anut. Parahnya lagi, ini bisa mengantarkan orang tersebut ke arah kepatuhan
yang tak mendasar tanpa memandang ajaran itu salah atau benar.
Seperti beberapa kasus yang terjadi di indonesia, salah satunya adalah
bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar pada tahun 2021.
Mirisnya, pelaku yang melakukan aksi ini ternyata adalah sepasang suami istri yang
baru 6 bulan dari pernikahannya dan istrinya hamil 4 bulan. Akibat ulah mereka,
diduga dua orang pelaku tewas mengenaskan, serta 20 orang yang terdiri dari
warga, petugas keamanan gereja, dan jemaat nya mengalami luka parah akibat ledakan
tersebut.
Setelah di telusuri lebih jauh, pasangan di atas ternyata terpapar ajaran
radikalisme oleh Jaringan Asharut Daulah (JAD). Pengikutnya dihidangkan nilai-nilai
tertentu yang diyakini sebagai kebenaran, seakan akan hal tersebut sesuai dengan
dasar agama, khususnya doktrin yang mengarah pada suatu kelompok yang
dipersepsikan sebagai kafir. Hal ini ditandai dengan anggapan bahwa, membunuh
orang kafir itu diperbolehkan oleh sebagian kelompok.
Peristiwa di atas jelas menegaskan bahwa bom bunuh diri secara tidak
langsung, merupakan manifestasi ekstrem dari fanatisme yang sangat berbahaya
dan tidak terkendali. Hal itu jelas dapat mendorong individu lain atau sebuah
kelompok untuk melakukan-hal hal yang tidak wajar, sekaligus bertentangan
dengan ajaran dan pemahaman yang benar.
Padahal sejatinya, fanatisme tidaklah seperti itu, terlebih lagi dalam
cakupan keimanan. Bahkan bisa dikatakan bahwa fanatisme merupakan sarana
mengesakan tuhan, meyakininya setulus dan sepenuh hati, tanpa ada keraguan
sedikit pun terhadap-Nya. Bersungguh sungguh untuk beribadah kepada-Nya, dan
berpegang teguh pada ajaran-Nya.
Seorang ulama yang bergelar Syaikhul
Bashrah, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pun menunjukkan sikap ketertarikan
lebih nya kepada Allah swt, melalui perkataannya, “Barang siapa yang mengenal Rabb-nya,
maka dia akan mencintai-Nya, maka dia akan lebih mendahulukan-Nya daripada yang
lain.”
Ini menunjukkan bahwa seseorang yang betul betul mencintai Tuhannya akan
menempatkan-Nya di atas apapun, hal ini tentu menunjukkan bentuk kecintaan yang
sangat dalam, bahkan termasuk pada ranah fanatik dalam arti totalitas dalam
kecintaan dan ketaatan kepada Tuhan.
Bahkan Prof. Quraish shihab, salah satu pakar tafsir di Indonesia
menegaskan, bahwa apa yang ia klaim sebagai Tuhan, agama, pun dengan ajaran
yang ia anut memiliki kebenaran yang sudah ia tidak ragukan. Tentunya dengan
bukti-bukti rasional dan teruji kebenarannya makin mempermantap apa yang ia anut.
Bukankah totalitas dalam menyembah-Nya dapat membuat keimanan kita lebih
bagus dan makin terjaga?. ketika seorang hamba memberikan dedikasi penuh kepada
Tuhannya, tentu akan menjadikannya lebih dekat kepada-Nya, sehingga menjadikan
hidupnya lebih tenang dan tentram, pun tidak mudah untuk terpengaruh oleh paham
yang menyimpang. “Wahai orang orang beriman! Masuklah ke dalam islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti Langkah Langkah setan. Sungguh, ia
musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 208).
Alhasil, fanatisme secara tidak langsung juga menjadi sarana untuk
menjaga kepercayaan, yang tentunya ini merupakan salah satu perkara yang sangat
diwajibkan dalam agama. Bahkan keimanan merupakan sesuatu yang mesti dijaga dan
dibawa sampai ke liang kubur, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
yang diyakini (ajal)” (QS. al-Hijr [15]: 99).
Pada dasarnya, fanatisme itu memiliki sisi positif dan negatif yang
tentunya kembali kepada masing masing manusia, pun bergantung pada intensitas
dan cara mengekspresikannya. tentunya juga, perlu dikendalikan agar tetap dalam
batas yang sehat dan tidak merugikan orang lain.
Prof. Quraish shihab pun menambahkan, bahwa berbuat adil merupakan aspek
yang sangat penting dalam sebuah perbedaan, pun dalam masalah kefanatikan
terhadap masing masing keyakinan. Kefanatikan seperti di atas pun tetap
dianggap buruk apabila kita tidak berlaku adil kepada keyakinan orang lain. Setiap
orang pun memiliki tingkat kefanatikan dalam keyakinannya yang mungkin lebih
baik dari pada diri kita sendiri, “untukmu agamamu, dan untukku agamaku”
(al-Kaafiruun [109]: 6)
Berdasarkan hal tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa setiap individu
memiliki latar belakang, pemikiran dan keyakinan masing- masing, sehingga sikap
adil dalam menyikapi sebuah perbedaan adalah bentuk penghormatan pada hak dan
martabat setiap orang. Dengan sikap adil, kita bisa menilai sesuatu dengan
objektif dan tidak berat sebelah. Dengan begitu, kita bisa hidup dalam
masyarakat yang lebih damai dan saling pengertian.
Seseorang memang perlu untuk bersikap adil dalam menyikapi kefanatikan,
karena itu adalah bagian perbedaan yang mesti dihormati, tetapi yang perlu
digaris bawahi adalah kefanatikan yang melanggar prinsip keadilan dan kebaikan
bersama itu memiliki dampak yang sangat berbahaya, entah bagi individu ataupun
masyarakat, juga sekaligus merusak perdamaian dan kesejahteraan sosial.
Posting Komentar