BREAKING NEWS

Selasa, 16 September 2025

Islam dan Emansipasi wanita: Meneguhkan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sosial dan Keagamaan

 

 

Oleh : Muhammad Fadhli

Agama Islam dipercaya dan diyakini oleh para penganutnya sebagai sebuah ajaran yang benar dan sesuai dengan fitrah, Islam dalam ajarannya selalu mengedepankan kemudahan kepada para pemeluknya, ini semua antara lain disebabkan karena ajaran Islam yang disampaikan oleh nabi Muhammad Saw. tidak bertujuan kecuali untuk membawa rahmat bagi seluruh alam dan seluruh umat manusia diajak untuk menegakkan agama tersebut.

Sebagai seorang pembawa mandat ketuhanan, Nabi Muhammad Saw. bukan hanya membawa dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang relevan dan memudahkan, tapi beliau juga memiliki berbagai kepribadian yang sangat baik, sebagaimana yang digambarkan dalam hadis Ummul Mukminin Aisyah r.a. berkata: "Tidaklah Rasulullah Saw. diberi dua pilihan kecuali beliau pasti memilih yang paling  mudah, selama tidak merupakan dosa. Jika yang mudah itu dosa, beliau pasti orang yang paling jauh darinya.

Sayangnya, rahmat dan kemudahan yang beliau bawakan dan sebarkan, sering kali tidak dirasakan dampaknya dan boleh jadi terkesan ditutup-tutupi atau bahkan tertutupi oleh kaum muslimin itu sendiri, yang diakibatkan karena kekeliruan dan pemahaman yang konservatif sehingga menyebabkan kesalahan dalam pengamalan syariat yang penuh rahmat, terlebih lagi yang berhubungan dengan kaum hawa.

Utamanya dalam kehidupan sosial, masyarakat seringkali menganggap perempuan sebagai pihak yang selalu berada di belakang layar, pihak yang dinomorduakan, hanya dikarenakan citra mereka yang dianggap sebagai makhluk yang lebih emosional, rapuh dan feminis jika dibandingkan dengan laki-laki, padahal mereka berpotensi memiliki peran yang sangat signifikan dalam tatanan keluarga dan masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Dari berbagai sudut pandang, wanita mengambil porsi yang sama besarnya atau bahkan lebih dari pria dalam strata sosial.

Menurut Furshet (Maulidia 2018) perbedaan publik dan privat dibedakan secara tradisional berdasarkan relasi fakta dari pemisahan antara lingkup domestik, yaitu individu, keluarga, dan waktu. Sedangkan lingkup institusi dominan, seperti ekonomi, hukum, dan institusi politik. Ketika berbicara tentang public sphere, fokus utamanya secara langsung pada ruang politik, di mana terdapat kolektivitas untuk menjalankan aktivitas di berbagai level, seperti bangsa, negara, dan civil society.

Dalam kajian sosiologi gender, ruang publik diartikan secara lebih luas, yaitu ruang di mana tidak ada aktivitas domestik yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat dalam tiga hal, yaitu dapur, sumur, dan kasur. Pertama adalah dapur, karena perempuan dibiasakan untuk dapat memasak dan memenuhi kebutuhan gizi dan pangan para anggota keluarganya. Kedua adalah sumur yaitu berkaitan dengan kebutuhan MCK (Mandi Cuci Kakus), dan kasur yaitu berkaitan dengan tempat tidur para anggota keluarga dan kebutuhan biologis pasangannya.

Sebagaimana yang dikutip dari kalam-Nya:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah SWT. Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Berdasarkan riwayat Abu Daud dan Ibnu Abu Hatim yang meriwayatkan dari Asma binti Yazid bin Sakan Al-Anshari, dia berkata: saya diceraikan pada zaman Rasulullah Saw. dan ketika itu belum ditetapkan iddah untuk para wanita yang diceraikan, maka Allah SWT. menurunkan ayat ini. Namun dalam riwayat lain disebutkan, Ats-Tsa’labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab An-Naasikh meriwayatkan dari Al-Kalbi dan Muqatil bahwa pada masa Rasulullah Saw, Ismail bin Abdullah Al-Ghifari mencerai istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka diapun merujuknya kembali. Lalu istrinya melahirkan, namun keduanya meninggal, Maka turunlah ayat ini.

Berdasarkan tafsir Ibn Kathir, ayat ini menunjukkan bahwa wanita memiliki hak-hak atas suami mereka, sebagaimana suami memiliki hak atas mereka. Hak-hak tersebut mencakup nafkah seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, perlakuan baik, kehormatan dan kasih sayang sebagaimana suami wajib menjaga martabat istrinya. Ibnu Abbas r.a. berkara. “aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku”

Dalam kitab tafsir lainnya, yaitu tafsir Al-Qurthubi diuraikan beberapa hal mengenai ayat 228 surah Al-Baqarah, bahwa pemaknaan kata “bil al-ma’ruf”  memiliki arti bahwa perlakuan yang suami berikan kepada istri itu harus sesuai dengan adat, norma dan kebiasaan yang baik dalam masyarakat dan juga dijelaskan bahwa hak dan kewajiban tidak harus identik dalam rumah tangga, tetapi setara dalam nilai dan keadilan.

Hal diatas menunjukkan bahwa pada dasarnya perempuan memiliki hak yang seimbang dengan laki-laki dan suami mempunyai kelebihan satu tingkat dibanding istrinya. Ini menjadi dalil bahwa dalam amal kebaikan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, dan baik laki-laki maupun perempuan memilki kewajiban dan hak yang sama. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya, baik fisik maupun mental.

Berdasarkan ayat dan tafsir di atas, dalam ruang lingkup keluarga, kedudukan dan peran perempuan mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan suami sesuai dengan kodrat yang dimilikinya. Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan dan rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami sebagai kepala keluarga bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak.

Dalam keluarga/rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Allah Swt. Perbedaan yang ada adalah untuk saling melengkapi dan kerjasama, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia.

Sayangnya, peran istri yang sangat penting di lingkup keluarga kurang mendapat apresiasi dari masyarakat, bahkan terkadang dipandang sebelah mata. Kedudukan wanita sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga, mendidik anak  dan lain-lainnya dalam keluarga seringkali dianggap sebagai sebuah wujud inferiorisasi wanita, sehingga dipandang tidak setara oleh masyarakat sekitar.

Ketidaksetaraan ini bukan hanya persoalan yang berdampak pada individu perempuan, melainkan juga berdampak pada masyarakat keseluruhan. Contoh nyata dari ketidaksetaraan gender di indonesia dapat dilihat dalam sektor pendidikan. Meskipun angka partisipasi pendidikan di kalangan perempuan telah meningkat, terutama di kota-kota besar, namun akses pendidikan masih menjadi tantangan besar bagi banyak perempuan di pedesaan atau daerah terpencil.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022, jenis ijazah tertinggi yang dimiliki sebagian besar perempuan di pedesaan adalah lulusan SD (31,28%), sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK (33,36%). Persentase perempuan yang lulus dari perguruan tinggi di perkotaan adalah sebesar 13,97%, lebih dari dua kali lipat dibanding di pedesaan yang hanya berkisar 6,00%. Tak hanya itu, perempuan yang tidak memiliki ijazah atau tidak pernah bersekolah formal di pedesaan ada sebanyak 19,77%, jauh lebih banyak dibanding perkotaan yang sebanyak 10,26%.

Begitupun di bidang politik, dalam realitas politik di banyak negara termasuk indonesia, terdapat ketidaksetaraan terhadap wanita di lingkup dunia demokrasi atau politik. Konsep-konsep seperti  kompetisi, partisipasi politik serta kebebasan sipil dan politik dalam realitas politik ternyata hanya terbatas pada dunia laki-laki (dunia maskulin).  Kalaupun wanita terlibat di sana, mereka pun harus  masuk dan berperilaku politik dalam dunia laki-laki. Diskriminasi seperti ini lebih didasarkan pada apa  yang disebut sebagai keyakinan gender. Hal ini menjadi dasar ketidakadilan di berbagai tingkatan.

Menjawab fenomena ini, beberapa teori dan penerapan feminisme yang muncul dalam rangka mengusung emansipasi wanita, salah satunya adalah feminisme liberal, yaitu aliran feminis yang menitikberatkan pada kebebasan individu bagi perempuan. Yang menyatakan bahwa kesamaan serta kebebasan individu berakar pada rasionalitas serta pemisahan antara dunia publik serta dunia privat.

Awal mula munculnya Feminisme liberal yaitu pada abad 18 sebagaimana terlihat pada karya-karya Mary Wollstonecrat, ketika menulis “A Vindication of the Right Women”  (1959-1799) dan mendapat pengaruh di abad 19 dari John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul “Subjection of Women”  juga Harriot Taylor Mills dengan judul “Enfranchisemen of Women” .

Pada awal kemunculannya, perjuangan aliran feminisme liberal lebih mengarah pada hak individu perempuan dalam ranah ekonomi, politik serta lingkup sosial. Konsep liberal adalah dasar dari pemikiran feminisme ini, dengan mengeksplorasi suatu pemikiran bahwa manusia memilki nalar dan itu membuat baik perempuan maupun laki-laki juga mempunyai hak yang sama.

Pemikiran ini menuntut akan kesetaraan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Konsep liberal juga sangat memprioritaskan hak individu, seperti kebebasan dalam memilih apa yang baik untuk dirinya maupun tentang sesuatu yang dapat merugikan orang lain atau selama tidak merampas hak orang lain.

Menurut friedan dalam agger (2009) feminisme liberal berpandangan bahwa perempuan dapat menaikkan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual. Misalnya dengan pendidikan tinggi, diskusi rasional dengan suami (laki-laki) sebagai upaya peran gender mereka dan pengambilan keputusan dalam pengasuhan anak, dan lain-lain.

Sejalan dengan gerakan emansipasi wanita dan telah sejak lama menentang inferiorisasi perempuan, fakta dan data sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum muncul gerakan tersebut, Islam lebih dulu bergerak memaparkan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran dan Rasulullah SAW. beserta ajarannya sudah lebih dulu membahas permasalahan wanita dan persamaan haknya secara khusus dan detail. Bahkan lebih dari itu, Islam mencoba bukan sekedar menyamakan hak dan kewajiban, tapi berusaha mengembalikan wanita kepada fitrahnya sebagai perempuan dan manusia.

Dalam QS. Ali Imran [3]: 195 disebutkan yang artinya “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah SWT. dan Allah SWT. pada sisi-Nya pahala yang baik."

Syekh Muhammad Al Ghazali pernah menulis dalam bukunya berjudul Al-Thaaqaat Al-Mu’attalat; “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan perempuan di lima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan” (M. Quraish Shihab, 2004: 269).

Beliau menambahkan lebih lanjut dalam bukunya “Qadaya Al Mar’ah baina Al Taqaalid Al Raakidah wa Al Wafidah” menuliskan: “Sesungguhnya di sana (di dalam sebagian masyarakat muslim) ada dogma-dogma yang dibuat oleh manusia dan bukan dibuat oleh Tuhan yang lama kelamaan dogma dogma itu menjadi budaya dan aturan sosial bagi perempuan, dan dogma dogma tersebut bahkan melebihi kezaliman-kezaliman bangsa jahiliyah sebelumnya” (Muhammad Al Ghazali, 2005: 16).

Jadi pada dasarnya, diskriminasi terhadap kaum hawa yang terjadi di Islam bukan berasal dari syariat Islam itu sendiri, namun dari budaya dan adat yang masih dipelihara sebagian pemeluk Islam dan Islam sebenarnya punya misi mengubah adat dan budaya diskriminatif terhadap kaum perempuan ini dengan berbagai syariat yang menyamakan derajat perempuan dan laki-laki.

Hal ini pun ditegaskan dalam jurnal berjudul Perempuan dalam Kajian Sosiologi Gender: Konstruksi Peran Sosial, Ruang Publik, dan Teori Feminis yang ditulis oleh Hanifa Maulidia, bahwa kedudukan kaum hawa di tengah keluarga dan masyarakat dapat menentukan peran yang sedang atau dapat diemban oleh perempuan. Di tengah situasi kondisi dan zaman yang selalu berubah-ubah, ini menjadi tantangan terhadap Kedudukan perempuan, yang terkesan ditempatkan lebih rendah dari kedudukan laki-laki, sekaligus menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk mengambil porsi yang sama atau bahkan lebih di tengah hidup yang menutut kesetaraan tempat.

Berdasarkan pemaparan dan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam sejak awal telah menegaskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hak maupun kewajiban, meskipun dengan peran yang berbeda sesuai fitrah masing-masing. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. tidak hanya menekankan keadilan, rahmat, dan kemudahan, tetapi juga secara nyata mengangkat derajat perempuan yang sebelumnya terpinggirkan dalam budaya jahiliyah. Hal ini menunjukkan bahwa konsep emansipasi wanita sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam, melainkan sudah diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Emansipasi wanita dalam perspektif Islam berarti mengembalikan perempuan pada fitrahnya, yakni sebagai manusia merdeka yang memiliki potensi, hak, dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki dalam membangun keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan pendidikan yang baik, partisipasi dalam ruang publik, serta dukungan terhadap hak-hak sosial, politik, dan ekonomi, perempuan mampu mengambil peran besar yang sama pentingnya dengan laki-laki.

Tulisan ini pada dasarnya dibuat untuk mendukung gerakan emansipasi wanita demi tercapai hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dan Islam datang sebagai fondasi untuk mewujudkan gagasan tersebut. Maka dapat ditegaskan bahwa Islam dan emansipasi wanita berjalan seiring sebagai kekuatan yang saling mendukung. Keduanya menjadi fondasi penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil, setara, dan berkeadaban. Sudah sepantasnya perempuan diberi ruang yang lebih luas untuk berkarya dan berkontribusi, sehingga cita-cita kesetaraan gender yang hakiki dapat terwujud, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes