Oleh: Muammar Ahmad
Ajaran Islam sejak awal kedatangannya mengusung berbagai risalah utama, salah satunya memuliakan manusia secara utuh. Prinsip ini memberikan hak-hak penuh bagi setiap individu, tanpa diskriminasi baik dari asal daerah, warna kulit hingga jenis kelamin.
Hal tersebut tergambar dalam Maqasid Syariah yang menjadi dasar pengambilan syariat Islam. Bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing dijamin haknya atas agamanya, akalnya, jiwanya, keturunannya dan hartanya. Jaminan ini menjadi bukti bahwa perintah dan larangan dalam Islam semuanya bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Jika dilihat dari konteks sejarahnya, kedatangan Islam menjadi pintu reformasi dalam pengembalian hak-hak tersebut, utamanya perempuan. Pada masa jahiliah perempuan hidup dalam keterbatasan dan kehinaan. Mereka tidak diakui hak-haknya, bahkan kelahirannya dianggap sebagai aib yang memalukan. Namun kedatangan Islam merombak struktur kezaliman tersebut, lalu mengubahnya dengan syariat yang menegaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang dimuliakan, memiliki hak yang setara sebagai manusia.
Syariat Islam yang menjadi titik balik bagi perempuan, semuanya bertujuan untuk menjaga dan meninggikan martabat mereka. Misalnya perintah bagi laki-laki untuk memberikan mahar kepada perempuan yang ingin ia nikahi.
Demikian pula dengan perintah menutup aurat, yang juga menjadi salah satu bentuk pemuliaan Allah SWT kepada perempuan, dalam menjaga kehormatannya. Sebagaimana firman Allah SWT didalam Surah Al-Ahzab ayat 59 :
Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini betul-betul menunjukkan bagaimana perhatian dan kasih sayang Allah SWT kepada perempuan melalui perintah mengenakan hijab. Selain itu, hijab menjadi sarana bagi mereka untuk mendapatkan rida Allah SWT, sebagai bentuk ketundukan total kepada-Nya. Sehingga dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa menutup aurat menjadi manifestasi kesalehan spiritual seorang perempuan terhadap Tuhannya.
Lebih dari itu, perintah mengenakan hijab tidak hanya berbicara soal aturan berpakaian, melainkan juga menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan keamanan, sekaligus menjadi simbol perlindungan dari Allah SWT kepada mereka.
Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa dengan memakai hijab yang melindungi tubuh, perempuan Muslimah dapat dikenali sebagai pribadi yang terhormat dan beriman, serta menjadi langkah awal bagi mereka untuk menghindarkan diri dari pelecehan, setidaknya dari menjadi objek seksual.
Sejalan dengan hal tersebut, Imam Al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, bahwa pandangan laki-laki terhadap perempuan adalah potensi “panah setan” yang dapat menimbulkan syahwat jika tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu mengenakan hijab dapat menjadi langkah pencegahan bagi perempuan untuk melindungi dirinya sekaligus menjadi pengingat bagi laki-laki agar menjaga pandangannya.
Akan tetapi, jika kita lihat fenomena pelecehan yang terjadi pada perempuan, realitas seakan berkata sebaliknya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dari 62.224 responden tahun 2018 terdapat 17% responden berhijab yang mengalami pelecehan seksual. Hasil survei tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa meskipun perempuan sudah menutup aurat, nyatanya ia belum terhindar dari pelecehan laki-laki yang tak mampu mengendalikan syahwatnya. Fakta ini menjadi bukti bahwa pakaian bukanlah satu-satunya faktor utama penyebab pelecehan.
Meskipun data tersebut menujukkan bagaimana pakaian bukan menjadi satu-satunya faktor terjadinya pelecehan, sayangnya di kalangan masyarakat masih berkembang stigma yang menyederhanakan hubungan antara etika berpakaian dan syahwat manusia, yang seringkali menjadi titik kesalahpahaman. Seolah-olah pakaian perempuan adalah satu-satunya tameng atau peredam bagi syahwat laki-laki. Pandangan yang sempit ini telah menimbulkan banyak kekeliruan dan ketidakadilan, karena nantinya beban moral seakan-akan hanya ditanggung oleh kaum perempuan saja, dimana mereka terus-menerus disalahkan ketika terjadinya pelecehan seksual.
Pandangan ini diperkuat dari hasil survei seputar streotip gender dari FISIPOL UGM yang menyatakan bahwa sebanyak 70% responden dari kalangan masyarakat menyatakan setuju, perempuan diperkosa atau dilecehkan karena menggunakan pakaian terbuka.
Lebih dari itu, stigma ini tak jarang menjadi legal permit bagi pelaku untuk membenarkan kejahatannya, serta menjadikan perempuan yang awalnya menjadi korban pelecehan lalu kedua kalinya menjadi korban victim blaming untuk mengalihkan kesalahan dari dirinya sebagai pelaku utama. Nantinya hal tersebut dapat membuat laki-laki menutup mata dari tanggung jawab untuk mengendalikan syahwatnya.
Bahkan lebih jauh lagi, deretan tekanan moral yang lahir dari stigma ini, menjadi salah satu sebab, korban enggan melaporkan pelecehan yang terjadi pada dirinya; Karena takut disalahkan, dipinggirkan serta dilabeli negatif sebagai penyebab terjadinya pelecehan, dengan anggapan bahwa merekalah yang tidak bisa menjaga diri. Bahkan tak jarang dianggap bahwa dialah yang mengundang pelecehan.
Pada akhirnya stigma ini bukan hanya tidak adil, tapi berbahaya. Karena mengaburkan akar permasalahan dari fenomena pelecehan-pelecehan yang terjadi. Hal ini betul-betul merugikan perempuan, Karena pada kasus pelecehan yang terjadi, sejatinya merekalah yang membutuhkan rangkulan dan perlindungan. Namun ironisnya, malah mereka yang disalahkan.
Di sisi lain hal inilah juga yang menjadikan pelaku terbebas dari kebejatan yang ia lakukan, karena stigma yang tersebar dimasyarakat betul-betul tak memberikan ruang dan menitikberatkan kesalahan hanya pada perempuan. Oleh karena itu dengan segala mudharat yang diakbatkan . Stigma ini perlu dihapuskan dan diluruskan, karena jelas-jelas bertentangan dengan risalah utama kedatangan agama Islam yang bertujuan untuk memuliakan manusia, menegakkan keadilan serta membela kaum tertiindas. Maka dalam konteks ini, perempuan yang menjadi korban harusnya mendapatkan perlindungan bukan disalahkan sebagaimana yang terjadi, dimana hal ini disebabkan salah satunya karena kesalahpahaman terhadap perintah menutup aurat yang telah dijelaskan sebelumnya.
Padahal, Jika kita telaah lebih dalam, ajaran Islam yang kaffah (menyeluruh) tidaklah demikian. Kewajiban menutup aurat bagi perempuan adalah bagian dari ketaatan mereka kepada Allah, yang mana hikmahnya untuk menjaga dirinya sendiri dan menghindarkan mereka dari menjadi objek seksual. Namun sekali lagi, ia tidak secara otomatis menjadi penutup atas syahwat orang lain.
Oleh karena itu, Islam tidak hanya memerintahkan menutup aurat saja, tapi ia juga mewajibkan orang-orang untuk mengendalikan syahwatnya sebagai poros utama dalam terjadinya pelecehan. Lebih dari itu, Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab mengendalikan syahwat adalah urusan individu yang bersangkutan, ini menjadi sebuah kewajiban spiritual dan moral yang tidak bisa dialihkan kepada orang lain, apalagi pada pakaian.
Sehingga dari hal itu, untuk menghindari terjadinya pelecehan dibutuhkan penjagaan atas keduanya. Bukan membebankan semuanya pada penjaagaan aurat. Bahkan sebenarnya penekanan itu harusnya ditekankan pada pengendalian syahwat, sebagai jalan utama untuk menghindari terjadinya pelecehan; karena pada kenyataannya tanpa pengendalian terhadap hal tersebut tetap saja menjadikan pelecehan tidak dapat dihindari.
Perpaduan hal tersebut didasarkan pada dua perintah yang menjadi pilar keamanan didalam Al-Qur’an dan hadis yaitu perintah mengendalikan syahwat dan perintah menjaga aurat. Dua perintah ini sudah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Bahkan lebih dalam, jika kita telisik ayat yang memerintahkan untuk menutup aurat, sejatinya didahului oleh perintah mengendalikan syahwat terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-nur ayat 30-31
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya
Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, menyatakan bahwa dalam dua ayat ini ada beberapa perintah. Dua diantaranya berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan yang lain khusus untuk perempuan.
Melalui perintah-perintah dari dua ayat tersebut jika dilihat urutannya, secara eksplisit mendahulukan perintah kepada kaum laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka serta menjaga kemaluan lalu begitupula kepada perempuan dengan tambahan perintah menutup aurat.
Dapat dikatakan bahwa perintah mengendalikan hawa nafsu lebih dahulu ditekankan sebelum menutup aurat. Sehingga urutan ayat ini menjadi penting, untuk menegaskan bahwa sebelum membicarakan etika berpakaian perempuan, Al-Qur'an terlebih dahulu menggarisbawahi etika pandangan. Ini menunjukkan bagaimana prioritas ajaran Islam dalam menyikapi persoalan ini.
Lebih dari itu, pengendalian syahwat diperintahkan melalui dua sisi. Pertama, dari sisi menjaga pandangan sebagai sumber lahirnya syahwat, dan kedua dari sisi menjaga kemaluan yang merupakan bentuk pelampiasan dari syahwat tersebut.
Para ulama telah memberikan penekanan yang sangat kuat pada dua perintah ini. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa perintah ghadh al-bashar (menundukkan pandangan) berarti menghindarkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan dan segala sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah. Ini adalah penyucian jiwa dan hati.
Sementara Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa perintah hifzh al-furuj (menjaga kemaluan) tidak hanya berarti tidak berzina, tetapi juga menutup dan mencegahnya dari segala hal yang dapat mengarah kepada perbuatan zina, termasuk pandangan, sentuhan, dan khayalan yang haram. Ini adalah benteng yang melindungi kehormatan individu dan kemuliaan masyarakat.
Pandangan Islam yang moderat dan komprehensif melihat bahwa pencegahan pelecehan seksual ibarat sebuah bangunan yang membutuhkan dua pilar yang kokoh, bukan satu. Pilar pertama adalah kewajiban laki-laki dan perempuan untuk mengendalikan syahwat dengan menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Ini adalah pilar utama dan tanggung jawab personal yang mutlak. Pilar kedua adalah kewajiban menjaga aurat sebagai bentuk ketaatan, identitas, dan partisipasi dalam menciptakan lingkungan sosial yang tertib dan terhormat.
Kedua pilar ini saling melengkapi, bukan saling menggantikan. Menutup aurat tanpa disertai pengendalian syahwat dari pihak lain akan tetap berpotensi menimbulkan masalah, sebagaimana data survei membuktikannya. Sebaliknya, menuntut lingkungan yang "aman" tanpa upaya untuk menutup aurat juga bertentangan dengan perintah Allah SWT. Sehingga Solusi terbaik adalah menjalankan keduanya secara seimbang, dengan memahami bahwa akar masalahnya terletak pada nafsu yang tidak terkendali, bukan pada pakaian semata.
Untuk bisa mengibaratkan keduanya, kita bisa mengambil perumpamaan dalam sebuah hadis. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku ikat untaku lalu bertawakkal kepada Allah, atau aku lepas saja lalu bertawakkal?” Beliau menjawab, “Ikatlah untamu lalu bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini dapat menjadi metafora sempurna untung menggambarkan peran menutup aurat dan mengendalikan syahwat. "Mengikat unta" adalah representasi dari segala bentuk ikhtiar atau usaha preventif, termasuk di dalamnya perintah menutup aurat. Disamping itu Nabi tetap melarang mencuri, dan larangannya tetap mutlak berlaku pada setiap orang, terlepas dari apakah unta orang lain diikat atau tidak. Seseorang yang mencuri unta yang tidak terikat tetap saja disebut pencuri dan akan dihukum.
Demikian pula dalam konteks pelecehan, kewajiban menutup aurat adalah bentuk usaha, tetapi kewajiban mengendalikan syahwat dan tidak melecehkan adalah hukum yang mutlak. Pelaku pelecehan tetaplah bersalah dan bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, terlepas dari apapun yang dikenakan korbannya.
Dari segala rangkaian penjelasan yang telah kita paparkan dapat kita simpulkan bahwa hijab adalah pakaian yang mulia yang merupakan ketaatan spiritual seorang perempuan kepada Tuhannya. Ia memiliki hikmah untuk melindungi kehormatan pemakainya, namun ia bukanlah sebuah alat atau penutup ajaib yang dapat mengontrol syahwat laki-laki.
Stigma yang menyalahkan pakaian korban adalah stigma yang keliru, tidak adil, dan berbahaya karena membebankan tanggung jawab pada pihak yang salah dan membebaskan pelaku dari akuntabilitas. Oleh karena itu menitikberatkan kesalahan berpakaian saat terjadinya pelecehan, adalah suatu tindakan diskriminasi kepada perempuan. Karena pada dasarnya syariat dan fakta yang terjadi lebih dipengaruhi oleh tidak adanya pengendalian terhadap syahwat pelaku.
Dengan demikian semua hal ini dapat menjadi bukti bahwa pengendalian syahwat sangat penting dalam menjaga keharmonisan dalam interaksi sosial; sebab ia menjadi poros utama dalam menanggulangi terjadinya pelecehan.
Sebenarnya untuk menyelesaikan masalah ini, Islam menawarkan solusi yang berkeadilan dengan menitikberatkan tanggung jawab utama pada pengendalian syahwat. Perintah untuk ghadh al-bashar (menundukkan pandangan) dan hifzh al-furuj (menjaga kemaluan) ditujukan pertama kali kepada laki-laki, baru kemudian disusul dengan perintah menutup aurat bagi perempuan. Ini menunjukkan bahwa kunci pencegahan pelecehan terletak pada kemampuan setiap individu, terutama laki-laki, untuk mengendalikan diri, nafsu, dan perilakunya. Tanpa menafikan peran hijab dalam menjaga diri.
Oleh karena itu, cara berpikir masyarakat tentang hal ini perlu dibenahi. Sehingga edukasi bahwa pelecehan seksual adalah kejahatan yang kesalahannya ada pada pelaku bukan pada korban, harus terus disuarakan. Di sisi lain, pendidikan agama yang menyeluruh tentang kewajiban menundukkan pandangan dan menjaga kesucian diri bagi semua pihak, laki-laki dan perempuan, harus lebih ditekankan dan digencarkan.
Dengan demikian hal tersebut dapat menjadi awal terciptanya masyarakat yang tidak hanya memandang perempuan dengan hormat, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai-nilai spiritual untuk mengendalikan syahwat, sebagaimana yang menjadi pesan utama risalah Islam dalam memuliakan manusia secara utuh.
Posting Komentar