BREAKING NEWS

Selasa, 02 September 2025

Jilbab : Antara Kesalihan Spiritual, Simbol Sosial dan Batasannya

 



Oleh : Azzahra Nur Awalia

Jilbab merupakan salah satu fenomena keagamaan yang sarat makna. Dalam islam, ia bukan sekadar busana penutup aurat, tetapi juga simbol ketaatan kepada Allah. Namun, seiring berkembangnya zaman, jilbab tidak hanya dipahami sebagai bentuk kesalehan spiritual, melainkan juga menjadi simbol sosial yang sarat nilai budaya, politik dan ekonomi.

 Perdebatan ini menimbulkan pertanyaan mendasar : Apakah ranah jilbab semata-mata hanya pada kesalehan pribadi, ataukah juga merupakan tolok ukur sosial dalam menilai perempuan?

Dari perspektif teologis, jilbab adalah manifestasi kesalehan spiritual seorang muslimah. Ia lahir dari perintah Allah dalam Al-Qur’an yang mengarahkan perempuan untuk menjaga kehormatan melalui penutup aurat. Bagi banyak perempuan, terdapat pada QS. Al-Nur ayat 30-31. Hijab menjadi sarana memperkuat iman, menjaga diri, menumbuhkan rasa aman,  serta menumbuhkan ketenangan batin.  

Sementara dalam konteks psikologis, terdapat pernyataan dalam Darajat Jurnal Pendidikan Agama Islam. Bahwa jilbab membentuk kesadaran diri, menjaga pandangan eksternal yang berlebihan. Membatasi interaksi berlebihan dengan lawan jenis. Dengan demikian jilbab tidak semata-mata berfungsi sebagai pakaian, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol diri dan benteng psikologis.

Ketegangan antara makna spiritual dan sosial jilbab sering kali tampak nyata. Misalnya, pelarangan jilbab yang pernah terjadi di sejumlah negara Barat seperti di Amerika Serikat semenjak tragedi 911,  menjadikannya simbol perlawanan terhadap diskriminasi, sedangkan di negara mayoritas muslim seperti di Indonesia, jilbab bisa menjadi standar moralitas yang tak jarang membatasi kebebasan individu.  

Namun, jika ditilik secara keseluruhan, pada dasarnya jilbab adalah ruang harmoni antara kesalehan pribadi dan keterlibatan sosial. Mereka berusaha menjaga substansi religius hijab tanpa tercabut dari realitas sosial yang  terus berubah.  

Tidak sedikit espektasi pada perempuan berjilbab  menjadi standar moralitas di tanah air. Salah satu contohnya adalah fenomena yang viral pada tahun 2023 kemarin, dilansir dari website fimela.com bahwasanya seorang selebriti sedang belajar mengenakan jilbab, sebagaimana orang yang baru mencoba memakai jilbab akan merasa gerah karena belum ada kesadaran dan belum ada landasan ketaatan penuh dalam memakainya.

Ekspektasi yang dibebankan netizen kepada seorang yang baru belajar seperti dirinya cukup membuat dia tertekan, dengan begitu dia pun memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya karena merasa belum siap. Ketegangan sosial seperti ini menyebabkan beberapa perempuan memilih untuk tidak berjilbab dengan dalih menunggu dirinya merasa siap lalu mengenakan pakaian kehormatan ini, padahal berhijab adalah kewajiban bagi setiap perempuan muslimah, tidak dikatakan bahwa ia ditunggu siap lalu berjilbab, namun di sisi lain, ini adalah tuntutan syariat bagi setiap wanita yang telah baligh, entah mereka siap atau tidak.

 Allah Swt Berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 59 “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istri dan anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya. Yang demikian itu agar mereka mengulurkan jilbab ke tubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”

Telah ditafsirkan dalam Tafsir Tahlili bahwa Allah Swt memerintahkan kepada seluruh kaum muslimah terutama istri-istri Nabi sendiri dan putri-putrinya agar mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Hal itu bertujuan agar mereka mudah dikenali dengan pakaiannya karena berbeda dengan jariyah (budak perempuan), sehingga mereka tidak diganggu oleh orang yang menyalahgunakan kesempatan. Seorang perempuan yang berpakaian sopan akan lebih mudah terhindar dari gangguan orang jahil (bodoh/tidak tahu).

Kebanyakan di tanah air, perempuan yang berpakaian sopan akan lebih mudah terhindar dari gangguan orang jahil. Sedangkan perempuan yang membuka auratnya di muka umum, akan lebih mudah diganggu atau diistilahkan dengan catcalling. Rasulullah ï·º bersabda: “Wanita itu aurat. Jika ia keluar (tanpa menutupinya), setan akan menghiasinya (untuk menjerumuskan laki-laki).”(HR. Tirmidzi, no. 1173)

Dengan demikian, jilbab sejatinya bukan hanya berfungsi sebagai pelindung fisik dari gangguan, tetapi juga sebagai simbol kehormatan. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa fungsi jilbab tidak selalu terwujud sebagaimana mestinya. Sebagian perempuan berjilbab  tidak merepresentasikan esensi jilbab itu sendiri, seperti berpakaian tidak sesuai prinsip jilbab ( ketat dan transparan), ucapan yang merendahkan orang lain, mengumbar kata-kata kasar, ataupun memakai hijab untuk menutupi perilaku curang; alhasil pakaian ketakwaan ini hanya menjadi sekedar simbol.

 Allah Swt telah memperingati di dalam firman-Nya pada QS Al-Ahzab ayat 33 : “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka Janganlah kamu lunak dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”.  

Setelah fenomena terkait perilaku yang tidak mencerminkan kesalihan bagi seorang wanita yang mengenakan jilbab menyeruak, maka muncullah sebuah perspektif “hijabkan hati dahulu lalu hijabkan badanmu daripada menjadi orang yang munafik” beberapa orang mungkin akan setuju akan hal ini, dan mungkin dapat dimaklumi bagi mereka yang sedang berproses hingga dapat memantapkan hati untuk memakai jilbab sepenuhnya, tetapi pernyataan seperti ini pada dasarnya tak bisa dibenarkan,

 Habib Husein Ja’far memberikan pandangannya bahwa “Hati dan jilbab itu harus bersamaan, agar terbentuk pribadi yang berjilbab secara kaffah yakni totalitas.” Dengan begitu berjilbab bukan karena mengikuti sterotip sosial yang menekan, akan tetapi kesadaran secara murni yang tumbuh dari dalam diri dan bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada Allah Swt.

Meskipun pada hakikatnya jilbab merupakan bentuk kesalehan spiritual yang menegaskan kepatuhan seorang muslimah kepada perintah Allah, dalam perkembangan sosial ia tidak berhenti hanya pada ranah religius semata. Kehadiran hijab di ruang publik menjadikannya tidak sekadar ibadah personal, melainkan juga tanda yang dibaca oleh masyarakat dengan beragam makna.

 Hasil penelitian yang dipublikasikan di The Conversation web yang ditulis oleh  Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, menjelaskan bahwasanya Jilbab bisa dianggap sebagai simbol empowerment, Alih-alih menjadi hambatan, banyak perempuan Muslim kini melihat jilbab sebagai sumber kekuatan dan pemberdayaan. Penelitian tahun 2024 menunjukkan bahwa jilbab tidak hanya berfungsi sebagai simbol religius, tetapi juga sebagai identitas sosial dan budaya yang kuat.

Dalam konteks Indonesia, jilbab telah menjadi bagian integral dari identitas perempuan Muslim, mencerminkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai agama dan budaya. Selain itu, jilbab juga menjadi bagian dari identitas perempuan Muslim yang aktif di bidang akademis dan profesional. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa banyak perempuan Muslim merasa lebih dihargai karena jilbab membuat mereka lebih fokus pada intelektualitas dan kompetensi daripada sekadar penampilan fisik.

Ini membuktikan bahwa jilbab bukanlah alat pengekangan, tetapi justru elemen yang memperkuat kepercayaan diri dan profesionalisme. Psikolog Indonesia, Sarlito Wirawan dalam diskusi Ilmiah Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 April 1998 memaparkan bahwa dengan semakin banyaknya perempuan berjilbab yang mencapai kesuksesan di berbagai bidang, kita bisa melihat bahwa jilbab tidak menjadi penghalang, melainkan alat pemberdayaan yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri dan berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat.

Adapun perihal Dari filosofi dan tujuan berhijab itu sendiri, perlu kita ulas lebih dalam dengan tujuan untuk melahirkan perspektif yang sejalan dengan tujuan jilbab itu sendiri. Allah berfirman dalan Quran surah An-Nur ayat 31 pada potongan ayat yang berbunyi: yagdudna min absharihinna, dimanaayat tersebut menggunakan kata min ketika berbicara tentang abshar (pandangan) dan tidak menggunakan kata  min ketika berbicara tentang furuj (kemaluan). Kata min itu dipahami oleh banyak ulama dalam arti sebagian. Kata min tersebut menurut para ulama yang menyatakan bahwa aurat wanita tidak termasuk wajah dan telapak tangannya, karena memang agama memberi kelonggaran kepada pria yang bukan mahramnya,  untuk melihat wajah dan telapak tangan wanita. Seandainya seluruh tubuh wanita adalah aurat, tentu tidak diperlukan  adanya perintah menundukkkan pandangan atau mengalihkannya.

 Ulama berselisih  pendapat dalam menafsirkan potongan illa maa dzahara minha, yang dipahami dengan makna hiasan yang tampak adalah pakaian. Sedangkan ulama besar Sa’id Ibn Jubair, Atha’ dan Auza’I berpendapat bahwa juga yang boleh dilihat/terbuka adalah wajah wanita, kedua telapak tangan di samping busana yang dipakainya. Adapun pakar tafsir al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa sahabat Nabi Saw, Ibn Mas’ud ra. Memahami makna hiasan  dalam persoalan ini akan sangat panjang.

  Seorang ulama asal Pakistan yang berusaha mengompromikan perbedaan pendapat ulama, dalam bukunya al-Hijab, ia menulis : ”ketika memperhatikan hakikat perbedaan pendapat para penafsir, ditemukan bahwa mereka semua telah memahami firman-Nya illa ma dzahara minha dalam arti bahwa Allah swt telah membolehkan buat wanita untuk menampakkan perhiasan mereka, bila terjadi di luar kehendak mereka atau adanya keadaan darurat yang menuntut ditampakkannya hiasan itu. Adapun bahwa wanita memamerkan wajahnya dan kedua tangannya untuk tujuan menarik perhatian, maka tidak seorang pun (diantara penafsir itu) yang menyatakan bolehnya hal demikian.

Dalam mazhab syafi`iyah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa seluruh badan wanita seluruhnya aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.

Pernyataan bahwa hanya wajah dan telapak tangan yang boleh terlihat bagi perempuan juga terdapat dalam Muqorror Fiqih Muqaaran diktat kuliah Universitas Al-Azhar Cairo. Jumhur Fuqaha( Kebanyakan ahli Fiqih) yang menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan bagian dari aurat (anggota tubuh yang wajib ditutupi) bagi wanita di dalam dan di luar salat dan berinteraksi di depan non mahram. Namun pendapat ini juga memiliki syarat, yaitu tidak disertai rasa syahwat saat melihatnya dan terhindar dari fitnah. Khususnya pandangan mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Adapun dalil ma’qul nya (dalil yang didasarkan pada logika) yaitu: “Apabila wajah dan telapak tangan adalah aurat, maka tidak akan ada perintah untuk membuka penutup wajahnya ketika berhaji”

Filososfi dari batasan aurat yang boleh terlihat (wajah dan telapak tangan) yaitu; karena keduanya sangat diperlukan untuk interaksi sosial dan aktifitas sehari-hari. Saat haji pun wajah perlu terbuka agar jamaah saling mengenali, dan telapak tangan terbuka karena mobilitas, aktivitas serta simbol keterhubungan sosial.

Pada akhirnya, hijab tidak hanya menjadi pakaian penutup aurat, akan tetapi juga sebagai manifestasi kesalehan dan ketaatan kepada Tuhan, juga menjadi simbol moralitas sosial yang tidak jarang melahirkan dinamika sosisal. Disamping itu, perintah menutup aurat kepada perempuan muslimah adalah gambaran bahwasanya perempuan itu dijaga, dimuliakan, dan memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial yang bernilai. Argumentasi bahwa wajah dan telapak tangan diperbolehkan terbuka, menguatkan pemahaman bahwa syariat memberikan kemudahan sekaligus hikmah dalam penetapan hukum.

Lebih dari sekadar aturan berpakaian, jilbab adalah pilihan sadar yang berakar pada iman, bukan beban yang membelenggu. Ia hadir bukan sebagai paksaan, melainkan sebagai jalan untuk meraih kemuliaan dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Dalam makna yang lebih luas, jilbab menjadi ruang spiritual yang menghadirkan kebebasan batin, identitas diri, sekaligus cermin nilai kesalehan yang menyatu dengan dinamika sosial.

 

 

 


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes