Oleh : Azzahra Nur Awalia
Jilbab
merupakan salah satu fenomena keagamaan yang sarat makna. Dalam islam, ia bukan
sekadar busana penutup aurat, tetapi juga simbol ketaatan kepada Allah. Namun,
seiring berkembangnya zaman, jilbab tidak hanya dipahami sebagai bentuk
kesalehan spiritual, melainkan juga menjadi simbol sosial yang sarat nilai
budaya, politik dan ekonomi.
Perdebatan ini menimbulkan pertanyaan mendasar
: Apakah ranah jilbab semata-mata hanya pada kesalehan pribadi, ataukah juga
merupakan tolok ukur sosial dalam menilai perempuan?
Dari
perspektif teologis, jilbab adalah manifestasi kesalehan spiritual seorang
muslimah. Ia lahir dari perintah Allah dalam Al-Qur’an yang mengarahkan
perempuan untuk menjaga kehormatan melalui penutup aurat. Bagi banyak
perempuan, terdapat pada QS. Al-Nur ayat 30-31. Hijab menjadi sarana memperkuat
iman, menjaga diri, menumbuhkan rasa aman,
serta menumbuhkan ketenangan batin.
Sementara
dalam konteks psikologis, terdapat pernyataan dalam Darajat Jurnal Pendidikan
Agama Islam. Bahwa jilbab membentuk kesadaran diri, menjaga pandangan eksternal
yang berlebihan. Membatasi interaksi berlebihan dengan lawan jenis. Dengan
demikian jilbab tidak semata-mata berfungsi sebagai pakaian, tetapi juga
sebagai mekanisme kontrol diri dan benteng psikologis.
Ketegangan
antara makna spiritual dan sosial jilbab sering kali tampak nyata. Misalnya,
pelarangan jilbab yang pernah terjadi di sejumlah negara Barat seperti di
Amerika Serikat semenjak tragedi 911,
menjadikannya simbol perlawanan terhadap diskriminasi, sedangkan di
negara mayoritas muslim seperti di Indonesia, jilbab bisa menjadi standar
moralitas yang tak jarang membatasi kebebasan individu.
Namun, jika
ditilik secara keseluruhan, pada dasarnya jilbab adalah ruang harmoni antara
kesalehan pribadi dan keterlibatan sosial. Mereka berusaha menjaga substansi
religius hijab tanpa tercabut dari realitas sosial yang terus berubah.
Tidak
sedikit espektasi pada perempuan berjilbab
menjadi standar moralitas di tanah air. Salah satu contohnya adalah
fenomena yang viral pada tahun 2023 kemarin, dilansir dari website fimela.com
bahwasanya seorang selebriti sedang belajar mengenakan jilbab, sebagaimana
orang yang baru mencoba memakai jilbab akan merasa gerah karena belum ada
kesadaran dan belum ada landasan ketaatan penuh dalam memakainya.
Ekspektasi
yang dibebankan netizen kepada seorang yang baru belajar seperti dirinya cukup
membuat dia tertekan, dengan begitu dia pun memutuskan untuk menanggalkan
jilbabnya karena merasa belum siap. Ketegangan sosial seperti ini menyebabkan
beberapa perempuan memilih untuk tidak berjilbab dengan dalih menunggu dirinya
merasa siap lalu mengenakan pakaian kehormatan ini, padahal berhijab adalah
kewajiban bagi setiap perempuan muslimah, tidak dikatakan bahwa ia ditunggu
siap lalu berjilbab, namun di sisi lain, ini adalah tuntutan syariat bagi
setiap wanita yang telah baligh, entah mereka siap atau tidak.
Allah Swt Berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat
59 “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istri dan anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
tubuhnya. Yang demikian itu agar mereka mengulurkan jilbab ke tubuhnya. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”
Telah
ditafsirkan dalam Tafsir Tahlili bahwa Allah Swt memerintahkan kepada seluruh kaum muslimah
terutama istri-istri Nabi sendiri dan putri-putrinya agar mengulurkan jilbab ke
seluruh tubuh mereka. Hal itu bertujuan agar mereka mudah dikenali dengan
pakaiannya karena berbeda dengan jariyah (budak perempuan), sehingga mereka tidak diganggu oleh orang yang
menyalahgunakan kesempatan. Seorang perempuan yang berpakaian sopan akan lebih
mudah terhindar dari gangguan orang jahil (bodoh/tidak tahu).
Kebanyakan
di tanah air, perempuan yang berpakaian sopan akan lebih mudah terhindar dari
gangguan orang jahil. Sedangkan perempuan yang membuka auratnya di muka umum,
akan lebih mudah diganggu atau diistilahkan dengan catcalling. Rasulullah ï·º bersabda: “Wanita itu aurat. Jika ia
keluar (tanpa menutupinya), setan akan menghiasinya (untuk menjerumuskan
laki-laki).”(HR. Tirmidzi, no. 1173)
Dengan
demikian, jilbab sejatinya bukan hanya berfungsi sebagai pelindung fisik dari
gangguan, tetapi juga sebagai simbol kehormatan. Namun, realitas sosial
menunjukkan bahwa fungsi jilbab tidak selalu terwujud sebagaimana mestinya.
Sebagian perempuan berjilbab tidak
merepresentasikan esensi jilbab itu sendiri, seperti berpakaian tidak sesuai
prinsip jilbab ( ketat dan transparan), ucapan yang merendahkan orang lain,
mengumbar kata-kata kasar, ataupun memakai hijab untuk menutupi perilaku
curang; alhasil pakaian ketakwaan ini hanya menjadi sekedar simbol.
Allah Swt telah memperingati di dalam
firman-Nya pada QS Al-Ahzab ayat 33 : “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertaqwa. Maka Janganlah kamu lunak dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik”.
Setelah
fenomena terkait perilaku yang tidak mencerminkan kesalihan bagi seorang wanita
yang mengenakan jilbab menyeruak, maka muncullah sebuah perspektif “hijabkan
hati dahulu lalu hijabkan badanmu daripada menjadi orang yang munafik” beberapa
orang mungkin akan setuju akan hal ini, dan mungkin dapat dimaklumi bagi mereka
yang sedang berproses hingga dapat memantapkan hati untuk memakai jilbab
sepenuhnya, tetapi pernyataan seperti ini pada dasarnya tak bisa dibenarkan,
Habib Husein Ja’far memberikan pandangannya
bahwa “Hati dan jilbab itu harus bersamaan, agar terbentuk pribadi yang
berjilbab secara kaffah yakni totalitas.” Dengan begitu berjilbab bukan karena mengikuti
sterotip sosial yang menekan, akan tetapi kesadaran secara murni yang tumbuh
dari dalam diri dan bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada Allah Swt.
Meskipun
pada hakikatnya jilbab merupakan bentuk kesalehan spiritual yang menegaskan
kepatuhan seorang muslimah kepada perintah Allah, dalam perkembangan sosial ia
tidak berhenti hanya pada ranah religius semata. Kehadiran hijab di ruang
publik menjadikannya tidak sekadar ibadah personal, melainkan juga tanda yang
dibaca oleh masyarakat dengan beragam makna.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di The Conversation web yang ditulis oleh Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, menjelaskan bahwasanya Jilbab bisa dianggap sebagai simbol empowerment, Alih-alih menjadi hambatan, banyak perempuan Muslim kini melihat jilbab sebagai sumber kekuatan dan pemberdayaan. Penelitian tahun 2024 menunjukkan bahwa jilbab tidak hanya berfungsi sebagai simbol religius, tetapi juga sebagai identitas sosial dan budaya yang kuat.
Dalam
konteks Indonesia, jilbab telah menjadi bagian integral dari identitas
perempuan Muslim, mencerminkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai agama dan
budaya. Selain itu, jilbab juga menjadi bagian dari identitas perempuan Muslim
yang aktif di bidang akademis dan profesional. Penelitian lainnya menunjukkan
bahwa banyak perempuan Muslim merasa lebih dihargai karena jilbab membuat
mereka lebih fokus pada intelektualitas dan kompetensi daripada sekadar
penampilan fisik.
Ini
membuktikan bahwa jilbab bukanlah alat pengekangan, tetapi justru elemen yang
memperkuat kepercayaan diri dan profesionalisme. Psikolog Indonesia, Sarlito
Wirawan dalam diskusi Ilmiah Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 28 April 1998 memaparkan bahwa dengan semakin banyaknya perempuan
berjilbab yang mencapai kesuksesan di berbagai bidang, kita bisa melihat bahwa
jilbab tidak menjadi penghalang, melainkan alat pemberdayaan yang memungkinkan
mereka untuk mengekspresikan diri dan berkontribusi secara maksimal dalam
masyarakat.
Adapun
perihal Dari filosofi dan tujuan berhijab itu sendiri, perlu kita ulas lebih
dalam dengan tujuan untuk melahirkan perspektif yang sejalan dengan tujuan
jilbab itu sendiri. Allah berfirman dalan Quran surah An-Nur ayat 31 pada
potongan ayat yang berbunyi: yagdudna min absharihinna, dimanaayat tersebut menggunakan kata min ketika berbicara tentang abshar (pandangan) dan tidak
menggunakan kata min ketika berbicara tentang furuj (kemaluan). Kata min itu dipahami oleh banyak
ulama dalam arti sebagian. Kata min tersebut menurut para ulama
yang menyatakan bahwa aurat wanita tidak termasuk wajah dan telapak tangannya,
karena memang agama memberi kelonggaran kepada pria yang bukan mahramnya, untuk melihat wajah dan telapak tangan
wanita. Seandainya seluruh tubuh wanita adalah aurat, tentu tidak
diperlukan adanya perintah menundukkkan
pandangan atau mengalihkannya.
Ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan potongan illa maa dzahara
minha, yang
dipahami dengan makna hiasan yang tampak adalah pakaian. Sedangkan ulama besar Sa’id Ibn Jubair, Atha’ dan
Auza’I berpendapat bahwa juga yang boleh dilihat/terbuka adalah wajah wanita,
kedua telapak tangan di samping busana yang dipakainya. Adapun pakar tafsir
al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa sahabat Nabi Saw, Ibn Mas’ud
ra. Memahami makna hiasan dalam
persoalan ini akan sangat panjang.
Seorang ulama asal Pakistan yang berusaha
mengompromikan perbedaan pendapat ulama, dalam bukunya al-Hijab, ia menulis : ”ketika
memperhatikan hakikat perbedaan pendapat para penafsir, ditemukan bahwa mereka
semua telah memahami firman-Nya illa ma dzahara minha dalam arti bahwa Allah swt telah membolehkan buat wanita untuk
menampakkan perhiasan mereka, bila terjadi di luar kehendak mereka atau adanya
keadaan darurat yang menuntut ditampakkannya hiasan itu. Adapun bahwa wanita
memamerkan wajahnya dan kedua tangannya untuk tujuan menarik perhatian, maka
tidak seorang pun (diantara penafsir itu) yang menyatakan bolehnya hal
demikian.
Dalam
mazhab syafi`iyah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, beliau berpendapat
bahwa seluruh badan wanita seluruhnya aurat, kecuali wajah dan kedua telapak
tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas
adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.
Pernyataan
bahwa hanya wajah dan telapak tangan yang boleh terlihat bagi perempuan juga
terdapat dalam Muqorror Fiqih Muqaaran diktat kuliah Universitas Al-Azhar Cairo. Jumhur Fuqaha( Kebanyakan ahli Fiqih)
yang menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan bagian dari aurat (anggota tubuh yang wajib
ditutupi) bagi wanita di dalam dan di luar salat dan berinteraksi di depan non
mahram. Namun pendapat ini juga memiliki syarat, yaitu tidak disertai rasa
syahwat saat melihatnya dan terhindar dari fitnah. Khususnya pandangan mazhab
Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Adapun dalil ma’qul nya (dalil yang didasarkan
pada logika) yaitu: “Apabila wajah dan telapak tangan adalah aurat, maka tidak
akan ada perintah untuk membuka penutup wajahnya ketika berhaji”
Filososfi
dari batasan aurat yang boleh terlihat (wajah dan telapak tangan) yaitu; karena
keduanya sangat diperlukan untuk interaksi sosial dan aktifitas sehari-hari.
Saat haji pun wajah perlu terbuka agar jamaah saling mengenali, dan telapak
tangan terbuka karena mobilitas, aktivitas serta simbol keterhubungan sosial.
Pada
akhirnya, hijab tidak hanya menjadi pakaian penutup aurat, akan tetapi juga
sebagai manifestasi kesalehan dan ketaatan kepada Tuhan, juga menjadi simbol
moralitas sosial yang tidak jarang melahirkan dinamika sosisal. Disamping itu,
perintah menutup aurat kepada perempuan muslimah adalah gambaran bahwasanya
perempuan itu dijaga, dimuliakan, dan memiliki peran penting dalam membangun
tatanan sosial yang bernilai. Argumentasi bahwa wajah dan telapak tangan
diperbolehkan terbuka, menguatkan pemahaman bahwa syariat memberikan kemudahan
sekaligus hikmah dalam penetapan hukum.
Lebih dari
sekadar aturan berpakaian, jilbab adalah pilihan sadar yang berakar pada iman,
bukan beban yang membelenggu. Ia hadir bukan sebagai paksaan, melainkan sebagai
jalan untuk meraih kemuliaan dan penghormatan terhadap martabat perempuan.
Dalam makna yang lebih luas, jilbab menjadi ruang spiritual yang menghadirkan
kebebasan batin, identitas diri, sekaligus cermin nilai kesalehan yang menyatu
dengan dinamika sosial.
Posting Komentar