BREAKING NEWS

Selasa, 30 September 2025

Poligami dan Mitos Kesalehan; Kritik Pemahaman Perempuan Sebagai Objek Keimanan


Oleh: Aqsha Rif'at RM Saeed

Sebuah gelombang narasi tengah berhembus dalam percakapan keagamaan kita. Ia menyelinap dalam ceramah, obrolan media sosial, dan diskusi keluarga. Menyuguhkan sebuah standar tak tertulis, bahwa perempuan yang "benar-benar shalehah" adalah ia yang dengan lapang dada menerima poligami. Penerimaan itu dianggap sebagai bukti tertinggi dari keikhlasan, kedalaman ilmu, dan kekuatan iman. Seolah-olah, ridanya hati dalam membagi kasih sayang adalah ujian pamungkas dari kesalehan seorang wanita.

Poligami pun, yang dalam syariat adalah sebuah ketentuan yang dibingkai dengan syarat-syarat yang sangat ketat, perlahan diromantisasi. Ia tidak lagi banyak dibahas sebagai sebuah solusi yang berat dan penuh tanggung jawab, melainkan lebih sering dikemas sebagai lompatan spiritual. Sebuah "ladang pahala" atau "ujian keimanan" yang harus dijalani perempuan.

Narasi ini kerap menyederhanakan perasaan sedih, kecewa, dan cemburu seorang istri sekadar sebagai bentuk keimanan yang belum matang. Di sisi lain, penerimaan total dianggap sebagai puncak kematangan beragama. Pola pikir ini lambat laun membentuk sebuah pandangan yang sangat berisiko, seakan tingkat ketakwaan seorang perempuan ditentukan oleh kemampuannya mematikan fitrahnya untuk cemburu.

Pertanyaannya kemudian, benarkah gelar ‘shalehah’ harus diraih dengan mengubur suara hati dan hak untuk merasa aman? Tulisan ini ingin mengajak kita melihat lebih jernih, membahas antara ketentuan syariat yang ada dan tuntutan kesalehan yang tidak proporsional, dimana ini justru dibebankan hanya kepada satu pihak.

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami esensi yang sering terlupakan, apakah poligami benar-benar sebuah anjuran dalam Islam? Syariat memang memberikan kebolehan berpoligami, namun dengan catatan yang sangat jelas dan tegas. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa' ayat 3 yang artinya, "Maka nikahilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat...". Tapi justru di sinilah letak kunci pemahamannya—ayat ini tidak berdiri sendiri.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih Al-Ghaib menjelaskan bahwa konteks QS. An-Nisa' ayat 3 ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak beristri terlalu banyak. Secara historis, masyarakat Arab pra-Islam atau zaman Jahiliyah melakukan poligami tanpa batas dan aturan. Seorang laki-laki bisa menikahi puluhan wanita tanpa keharusan untuk berlaku adil. Perempuan sering kali diperlakukan sebagai bagian dari harta warisan, dan status mereka sangat rentan.

Pendapat ini berkembang dari pandangan sahabat Ikrimah R.A. yang mengemukakan bahwa konteks ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak yatim yang juga banyak. Ketika ia menafkahkan hartanya untuk para istrinya, hartanya habis dan menjadi orang yang kurang harta, maka ia tidak akan mampu memenuhi hak nafkah anak yatim yang dirawatnya.

Dalam konteks sosial yang keras dan tidak berpihak kepada perempuan inilah, syariat Islam datang membawa reformasi radikal. Islam tidak menciptakan poligami untuk memperbanyak istri, tetapi justru untuk membatasinya dan memberinya kerangka etika yang sangat ketat. Ayat ini turun bukan dalam ruang hampa, melainkan sebagai bagian dari solusi untuk masalah sosial saat itu, termasuk melindungi janda dan anak yatim yang rentan pasca peperangan.

Al-Qur’an juga langsung menegaskan kekhawatiran akan ketidakadilan dengan lanjutan ayat tersebut, "...jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hendaklah seorang saja...". Ayat ini tidak hanya sekadar peringatan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa monogami (beristri satu) justru lebih dianjurkan ketika keadilan tidak dapat dijamin.

Banyak ulama yang memandang poligami sebagai jalan yang tidak lazim—bukan sesuatu yang dianjurkan—apabila ikatan monogami sudah mampu menciptakan keluarga yang tenang dan penuh cinta. Imam Syafi'i, seperti dikutip dalam kitab Al-Bayan karya Syaikh Al-Umroni, berkata, "Aku lebih menganjurkan seseorang untuk menikahi satu wanita saja, meskipun boleh baginya menikah lebih dari satu." Pendapatnya ini berlandaskan firman Allah Swt. yang memprioritaskan keadilan.

Pernyataan beliau ini bukanlah tanpa alasan. Dalam kitab yang sama, al-Bayan, bahkan diriwayatkan sebuah dialog yang memperjelas sikapnya. Suatu ketika, Imam Syafi'i ditanya, "Mengapa engkau mengatakan menikahi satu perempuan itu lebih utama? Padahal Rasulullah Saw. memiliki banyak istri? Sedangkan Nabi tidak mungkin melakukan kecuali yang terbaik?"

Imam Syafi'i menjawab, "Selain Nabi, yang utama baginya adalah menikahi satu wanita saja karena dikhawatirkan ia tidak bisa adil. Sedangkan Nabi sudah pasti dijamin bisa berbuat adil."

Jawaban ini membedakan dengan tegas antara kekhususan Nabi Muhammad Saw., yang mendapatkan jaminan keadilan langsung dari Allah, dengan kondisi manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Bagi Imam Syafi'i, meneladani Nabi bukanlah dengan meniru jumlah istri beliau, tetapi dengan meneladani kepastian dan komitmen beliau dalam menegakkan keadilan—sebuah standar yang sangat tinggi dan sulit dicapai oleh orang biasa.

Pesan utamanya jelas, syariat justru mengajak kita untuk bersikap hati-hati, realistis, dan menomorsatukan keadilan di atas keinginan. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj yang menyatakan, "Dan disunahkan bagi seseorang untuk tidak menambah lebih dari satu istri tanpa ada kebutuhan mendesak."

Kemudian, yang kerap luput dari perbincangan adalah kelanjutan firman Allah dalam QS. An-Nisa' ayat 129 yang secara gamblang menyatakan, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat adil...". Ayat ini bukan sekadar pengingat, melainkan penegasan tentang keterbatasan manusia dalam memenuhi syarat utama poligami.

Lantas, seperti apa konsep keadilan yang dimaksud syariat? Prof. Quraish Shihab dalam berbagai karyanya sering menekankan bahwa keadilan dalam poligami bersifat multidimensi. Ia bukan hanya keadilan material yang terukur, seperti pembagian harta, giliran, dan tempat tinggal. Lebih dari itu, keadilan yang dimaksud mencakup keadilan immaterial yang jauh lebih halus dan sulit diukur, yaitu keadilan dalam cinta, kasih sayang, dan perhatian. Menurutnya, ketidakmampuan untuk bersikap adil dalam hal perasaan inilah yang ditegaskan oleh QS. An-Nisa’ ayat 129, sehingga poligami tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang mudah dan biasa.

Justru karena ketidakmampuan inilah, poligami ditempuh hanya dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak. Hakikatnya, syariat lebih mengutamakan kehati-hatian dan menjadikan monogami sebagai pilihan utama ketika keadilan—yang menjadi pondasi—tidak dapat dijamin. Hal ini juga senada dengan pendapat Syekh Said Ramadhan Al-Buthi bahwa tidak seharusnya seorang lelaki menambah istri kecuali dalam keadaan gawat darurat.

Pemahaman ini meluruskan narasi yang sering menyempitkan makna adil sekadar pada pembagian jatah yang bersifat fisik. Keadilan sejati, dalam pandangan Islam, harus memenuhi rasa aman dan diakui keberadaannya secara utuh oleh setiap pihak. Oleh karena itu, ketika syariat mensyaratkan keadilan, ia sebenarnya sedang menetapkan standar yang sangat tinggi—bahkan hampir mustahil dicapai secara sempurna oleh manusia biasa—sehingga poligami secara implisit lebih diposisikan sebagai rukhsah (keringanan) dalam kondisi tertentu, bukan sebuah anjuran yang harus diraih.

Oleh karena itu, mendudukkan poligami dalam bingkai yang tepat menjadi sangat penting. Ia bukan medan ujian kesalehan satu arah yang hanya dibebankan kepada perempuan. Kesalehan adalah jalan dua arah, sebuah tanggung jawab bersama yang dibangun di atas fondasi keadilan, kejujuran, dan kasih sayang, bukan pengorbanan sepihak.

Mengaitkan gelar ‘shalehah’ dengan penerimaan poligami tanpa syarat justru berisiko mengubah perempuan dari subjek yang beriman menjadi objek pasif dalam sebuah proyek kesalehan. Ia seolah ditempatkan sebagai batu uji bagi spiritualitas suami, sekaligus penjaga gawang yang harus menelan pahitnya ketidakadilan dengan senyuman. Ini adalah beban yang tidak proporsional dan justru bertentangan dengan ruh syariat yang datang untuk melindungi dan memuliakan perempuan.

Islam memandang perempuan sebagai mitra yang setara dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesalehan sejati terletak pada kemampuan kedua belah pihak untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran. Seorang suami yang shaleh adalah yang mampu bersikap adil dan bertanggung jawab, bukan hanya yang mampu mengumpulkan istri. Seorang istri yang shalehah adalah yang mampu menjaga hak suami dan keluarganya dengan penuh cinta dan kelembutan, bukan yang dipaksa mematikan fitrahnya untuk merasa cemburu dan ingin dilindungi secara eksklusif.

Misi reformatif Islam dalam poligami justru ingin mengangkat martabat perempuan, bukan menurunkannya. Ia hadir untuk melindungi, bukan untuk menistakan. Ia adalah opsi dalam kondisi tertentu yang penuh pertimbangan, bukan sebuah kompetisi spiritual untuk melihat siapa yang paling tahan sakit.


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes