BREAKING NEWS

Kamis, 09 Oktober 2025

Kesalahpahaman dalam Memahami Tekstualitas Al-Quran

 

 

Oleh: Muhammad Khalil Jibran 

Setiap agama di dunia ini memiliki pedoman hidup tersendiri. Al-Qur'an merupakan kitab suci bagi umat Islam di seluruh dunia. Kaum muslimin menjadikannya pedoman hidup yang akan membawa mereka menuju hidup yang lebih teratur dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Para ahli menuturkan bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang berupa mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Merujuk pada definisi di atas, orisinalitas Al-Qur'an tidak lagi diragukan karena penukilannya dilakukan secara mutawatir. Maksud dari periwayatan Al-Qur'an secara mutawatir adalah kitab suci ini diriwayatkan dari generasi ke generasi dalam jumlah yang banyak dan tidak terputus sehingga mustahil terjadinya manipulasi.

Kesucian kitab suci ini diperkuat lagi oleh firman Allah dalam surah Al-Hijr ayat 9 :

{ إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ }

Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan kami benar-benar menjaganya"

Namun, sakralitas Al-Qur'an terkadang dimaknai dengan tidak tepat atau tidak dengan semestinya. Banyak ayat di dalamnya yang disalahartikan oleh beberapa golongan yang memicu terjadinya kerancuan dalam memahami teks dan konteks dari Al-Qur'an itu sendiri.

Perbedaan pemahaman terhadap makna Al-Qur'an telah terjadi pada masa ulama dulu hingga zaman sekarang. Ketika memahami satu ayat tertentu, terkadang ada beberapa pendapat dari para ulama yang berbeda, bahkan saling bertentangan, terutama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Quran yang maknanya samar, butuh pentakwilan dan tidak ada yang dapat mengetahui makna hakikinya kecuali Allah. Definisi ini tercantum dalam kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur'an karya Syekh Jalaluddin As-Suyuthi.

Pada masa ulama dahulu, terdapat beberapa pendapat dari kalangan para ulama dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat. Prof. Dr. Rabi’ Jauhari, Guru Besar Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar dalam buku beliau Aqidatuna menjelaskan, bahwa ada beberapa mazhab ulama dalam menyikapi ayat-ayat tersebut. Di antaranya ada yang mengisbatkan hukum ayat tersebut sesuai dengan makna bahasa secara tekstualnya. Mazhab ini dikenal dengan sebutan al-mutsbitin. Diantara ulama yang berpegang pada mazhab ini adalah Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah.

Selain itu, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ketika dalil Al-Qur'an bertentangan dengan dalil ‘aqli, maka makna yang diisbatkan bukan makna tekstualnya, namun mengharuskan adanya makna lain yang terkandung dalam ayat tersebut. Kalangan ulama yang berpendapat demikian terbagi menjadi dua mazhab. Mazhab yang pertama adalah mazhab salaf yang ketika mendapati hal demikian maka mereka mengambil metode tafwidh. Metode ini tidak mengisbatkan makna tekstual yang ada, namun tidak juga mengambil jalan takwil, melainkan menyerahkan persoalan makna ayat tersebut kepada Allah. Mazhab ini juga disebut dengan mazhab al-mufawwidhin. Para ulama yang termasuk mazhab ini adalah ulama periode sebelum abad ke 3 hijriyah.

Mazhab selanjutnya adalah mazhab khalaf, dimana ketika mendapati hal seperti di atas, maka mereka mengambil metode interpretasi metaforis atau biasa disebut dengan takwil. Mereka menganalisis teks ayat tersebut sampai mendapatkan makna yang paling sesuai dengan konteks ayatnya. Para ulama mazhab ini disebut dengan mazhab al-mu’awwilin. Sebagian besar ulama mazhab ini adalah para ahli tafsir dan pen-syarah hadis Rasulullah SAW.

Hal tersebut tidak hanya terjadi pada zaman ulama dahulu, namun juga terjadi pada masa sekarang. Mirisnya, yang terjadi bukanlah perbedaan pendapat, namum kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an, baik itu ayat muhakkamah terlebih lagi ayat-ayat mutasyabihat. Salah satu contohnya adalah kesalahan dalam pemahaman penggalan ayat :

 "...والفتنة أشد من القتل"

Sebagian besar masyarakat awam pada masa kini memahami dari ayat tersebut bahwa fitnah (menyebarkan berita bohong tentang seseorang) itu lebih kejam dari pembunuhan. Mereka pun menguatkan klaim tersebut dengan banyaknya kerusakan yang terjadi akibat fitnah, bahkan terkadang fitnah mampu memicu pertumpahan darah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dilansir dari laman wahdah.or.id yang ditulis oleh Abu 'Aqilah Altofunnisa.

Bila menilik secara sekilas, klaim tersebut sangat baik dan tepat. Namun, apakah itu sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah?. Imam At-Thabari dalam tafsir beliau menjelaskan bahwa kata الفتنة pada ayat tersebut tidak berarti penyebaran hoax terhadap seseorang, namun beliau menjelaskan bahwa makna الفتنة  adalah cobaan dan ujian. Selain itu dengan meninjau aspek asbabun nuzul ayat ini, maka didapati bahwa ayat ini tidak membahas perkara penyebaran hoax, namun ayat ini berkenaan tentang peristiwa dan anjuran untuk berperang.

Perbandingan antara dua zaman di atas sangat berbeda. Yang terjadi pada ulama dulu adalah perbedaan pendapat dan bukan kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an, karena mereka mempunyai keahlian dalam bidang tersebut. Berbeda dengan yang terjadi pada masa ini, yang terjadi adalah kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam jurnal yang berjudul Sebab-sebab Kesalahan dalam Tafsir, Abd. Halim, M.Hum. memaparkan pendapat Syekh Yusuf al-Qardawi yang bersumber dari kitab beliau Kaifa Nata'amal ma'a Al-Qur'an al-Azim, diantara faktor kesalahan dalam memahami ayat Al-Qur'an adalah lemahnya pengetahuan terhadap hal-hal yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Quran, di antaranya adalah ilmu gramatikal arab serta ilmu penunjang lainnya seperti nasikh wal mansukh, asbabun nuzul dan lain sebagainya.

Pada tulisan ini penulis menitik beratkan bahwa, dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tidaklah cukup hanya dengan menggunakan terjemahan saja ataupun pemahaman secara tekstualitas, melainkan harus menggunakan perangkat penunjang berupa ilmu-ilmu tafsir. Pemahaman Al-Qur'an belum cukup dengan meninjau ke teksnya saja namun perlu pula meninjau secara konteksnya.

Kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran akan menimbulkan kerancuan serta kekeliruan yang sangat fatal jika terjadi. Ulama dahulu berusaha memahami kitab suci ini bukan hanya seenak mereka, melainkan melalui proses yang panjang serta pengetahuan yang mendalam. Pemahaman terhadap panduan hidup ini sangat krusial dalam kehidupan ini, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Dengan adanya tulisan ini penulis berharap, semoga para pembaca tidak menerima pemahaman Al-Qur'an secara teksnya saja, melainkan memerlukan pemahaman konteks serta aspek penting lainnya. Pemahaman secara tekstualitas tanpa meninjau hal-hal tersebut dapat memicu adanya pemahaman  yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Quran.

 

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes