BREAKING NEWS

IADI

Nadwah

Esai Pilihan

Kamis, 27 November 2025

Antisipasi Dari Perbuatan Syirik Menurut Anregurutta

 


Oleh : Azzahra Nur Awalia

Ketika manusia tergelincir kepada sebuah kesalahan, tuhan senantiasa memantau dan menunggunya pulang, pintu maaf-Nya terbuka lebar dan menyayangi hamba yang bertaubat. Namun apabila hamba-Nya berani mempersekutukan-Nya, apakah pintu maaf itu masih ada?

Kesempurnaan ibadah seseorang akan terhapus disebabkan karena melakukan perbuatan syirik. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS al-Zumar/39:65 "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” Dijelaskan pada tafsir tahlili bahwa pada ayat ini, Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Dia telah mewahyukan kepadanya dan nabi-nabi sebelumnya, bahwa sesungguhnya apabila dia mempersekutukan Allah, maka terhapuslah segala amal baiknya yang telah lalu. Inilah suatau peringatan keras dari Allah kepada manusia agar jangan sekali-kali mempersekutukan Allah dengan yang lain, karena perbuatan itu adalah syirik dan dosa syirik itu adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt.

Syirik menurut Anregurutta adalah mensyarikatkan Allah dengan sesuatu baik dalam hati, ucapan, perbuatan maupun i’tikad (keyakinan) kepada sesama makhluk yang memiliki kemampuan mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, menghidupkan dan mematikan mendatangkan penyakit dan menyembuhkannya serta mendatangkan kebahagiaan dan kesengsaraan misalnya; meminta melalui berhala, tempat yang dianggap keramat, juga batu gunung, kuburan, pohon kayu, sungai dan lain-lain.

Sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, manusia secara fitrah memiliki naluri untuk menghambakan diri kepada-Nya, salah satu naluri yang paling benar adalah mencari ketenangan yang bersumber kepada Allah Swt dan menjalankan ajaran islam yang mengarahkan kita kepada perbuatan baik hingga menghasilkan keseimbangan antara aspek lahir batin, dunia dan akhirat.

Namun tidak semua manusia dapat menyalurkan naluri itu ke jalan yang sesuai dengan syariat islam. Dengan keterbatasan akal dan pengetahuan, sebagian manusia berusaha mencari hakikat perenungan, namun adapula yang tersesat dikarenakan ketidakmerataan dakwah di daerah tertentu maupun budaya yang dijunjung tinggi tanpa dibarengi dengan pengetahuan syariat yang benar Ada beragam budaya dan tradisi yang ada di Indonesia, yaitu nyarang hujan atau masyarakat bugis mengistilahkan dengan mappanini bosi. Tradisi ini biasanya dilakukan ketika ada hajatan atau kegiatan tertentu dalam rangka ikhtiar agar hujan tidak turun. Hal ini dilakukan dengan meminta bantuan kepada pawang hujan.Merujuk kepada akidah yang tulen, jika meyakini pawing hujan sebagai pengendali hujan, maka hal ini tidak dibenarkan sama skali di dalam islam dan membawa kepada perbuatan syirik ( NU Online Jatim)

 Harus dipahami bahwa posisi pawang adalah seorang hamba. Hanya Allah Maha Kuasa yang dapat mengendalikan dan mengehentikan hujan, oleh karena itu hal yang harusnya dilakukan adalah meminta dengan permintaan yang serius kepada Tuhan yang Maha Esa, permohonanan ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud RA, ia berkata: “Nabi SAW jika berdoa kepada Allah SWT maka berdoa tiga kali, jika memohon kepada Allah SWT maka memohon tiga kali)”.

Syaitan akan selalu berupaya menggoda manusia agar dapat tergelincir pada kesesatan, sebagaimana yang telah ia lakukan kepada nenek moyang kita Adam dan Hawa : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga.”(Qs. Al-A’raf 7:27). Lalu upaya apa yang dapat dilakukan agar dapat terhindar dari tipu daya kesesatan?

Pada buku Eksistensi Ahlu Sunah wal jama’ah dalam pemikiran Islam, karya : Karya Dr. Hj. Nurlaelah Abbas, Lc., MA. Bahwasanya Anregurutta memberikan upaya untuk mengantisipasi dari pebuatan syirik adalah perlunya menjauhi 3 jenis syirik yaitu : Pertama, Syirik besar (Appaddua battoa) yakni semua bentuk penyembahan terhadap berhala atau mensyarikatkan Allah dengan sesuatu: “Sesungguhnya berhala-berhala ynag kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”. QS al-A’raf/ 7:194-195. 

Kedua, Syirik pertengahan (appaddua lalotengnga) yaitu menyangku kepercayaan “pemmali” (pantang larang) yang tidak rasional, bukan hanya orang awam yang terjerumus di dalamnya tapi juga cendekiawan biasa terjerumus tanpa disadari. Salah satu upaya AG. KH. Abdul Rahman Ambo Dalle dalam menolak kemusyrikan adalah memelihara keetauhidan, dan bila dibiarkan bahayanya dapat merusak aqidah Islam bahkan membawa kepada kekufuran.

Ketiga, syirik kecil (appaddua baiccu), yaitu salah satunya mengerjakan sesuatu dengan harapan agar dipuji orang lain (riya) atau poji riale. Perbuatan syirik ini tidak sampai menyebabkan seseorang keluar dari Agama Islam, tidak seperti syirik besar.

Salah satu usaha memperkokoh tauhid dan kepercayaan terhadap Allah SWT adalah dengan keyakinan yang teguh dan I’tiqad yang kuat, yakni keyakinan yang tidak mudah diombang-ambing oleh derasnya pengaruh negative kehidupan. Tauhid yang seperti itu akan menimbulkan dorongan untuk mendapatkan kenikmatan, keselamatan dan kebahagiaan yang ada pada sisi Allah SWT.

Mengingat bahwa memperkokoh tauhid adalah hal yang sangat penting, maka Imam Al-ghazali menyarankan pendekatan kepada anak-anak maupun masyarakat awam yang ternyata telah dikembangkan oleh Anregurutta, yaitu memulai dengan menghafal kandungan akidah yang diikuti dengan memahami isi kandungan akidah tersebut, dii’tiqadkan dengan penuh kepercayaan dan dibenarkan dengan penuh keyakinan.

Dapat dipahami bahwa dengan kokohnya akidah yang kita miliki akan menjadikannya sebagai benteng penghalang dari segala godaan syaitan yang dapat menjerumuskan kepada kesyirikan. Dengan kuat nya akidah yang disertakan dengan pengetahuan yang telah Anregurutta wariskan dalam mengantisipasi diri dari perbuatan syirik, maka cukuplah pegangan ini menjadi pencegahan dasar dari perbuatan syirik di sekitar.

Jumat, 21 November 2025

Fikihnya Syafi'i, Akidahnya Asy'ari; Anregurutta K.H. Abd Rahman Ambo Dalle dan Warisan Keilmuan Moderat Nusantara

 


 Oleh : Diman Darwis

Di Nusantara, tradisi fikih Syafi‘i dan akidah Asy‘ari telah menjadi pondasi keilmuan Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Para ulama tidak hanya melestarikan ilmu, tetapi juga menghidupkannya dalam amal dan pendidikan masyarakat. Salah satu tokoh yang memainkan peran besar dalam menjaga kesinambungan tradisi ini adalah Anre Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, ulama besar Sulawesi Selatan yang dikenal luas sebagai pemersatu antara ilmu, amal, dan dakwah.

Beliau bukan sekadar ahli dalam disiplin fikih dan akidah, tetapi juga pendidik yang mampu menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa masyarakat melalui pengajaran, penulisan kitab, hingga penciptaan lagu-lagu religius. Keseimbangan antara ilmu dan metode. Hal inilah yang menjadikan Gurutta Ambo Dalle sangat dihormati. 

Namun, sebuah pertanyaan kerap muncul, “Kalau fikihnya Syafi‘i, kenapa akidahnya Asy‘ari dan juga Kenapa tidak langsung ke Al-Qur’an dan Sunnah saja?” Pertanyaan ini seringkali terdengar, bahkan, tak jarang menjadi bahan perdebatan seperti kajian, diskusi, hingga perbincangan santai di tengah masyarakat. Ia muncul dari keresahan yang wajar, tetapi sering tidak diiringi pemahaman sejarah yang melatarbelakanginya. Karenanya, sebelum tergesa menilai, ada baiknya kita menelusuri dua khasanah besar secara singkat dari kitab Al-A’lam: Imam asy-Syafi‘i dalam fikih dan Imam al-Asy‘ari dalam akidah.

        Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i (150–204 H)

Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Muththalibi al-Qurasyi, lahir di Gaza dan dibesarkan di Makkah. Imam Syafi'y, digelar sebagai ahul wasath/al-l'tidal (pendiri Mazhab Moderat) dalam bidang Fiqhi dan Ushul Fiqhi, menengahi dua golongan antara mazhab Ahlul Hadits yang dipelopori oleh Imam Malik di Madinah Hijazi dan mazhab Ahlul Ijtihad wa al-Ra'yi (penggunaan Ijtihad dan Akal) yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah di Bagdad Iraq. Imam Syafi'i mengambil jalan tengah dengan mengambil fiqhi Ahlu Ijtihad wa al-Ra'yi dan fiqhi Ahlul Hadits. Jadi aliran Mazhab Syafi'yah adalah Sinkretis antara dua kutub yaitu golongan tektualis naqli (al-Qur'an dan Hadits) dan golongan Ijtihad (al-'Aqli).

Kemudian merumuskannya secara ilmiah dalam kitab monumentalnya, al-Risālah, karya pertama dalam disiplin ushul fikih. Mazhab Syafi‘i dikenal sebagai manhaj al-wasaṭiyyah fī al-istidlāl—metode pertengahan dalam memahami dalil. Keseimbangan antara nash dan akal ini membuat mazhab Syafi‘i tidak hanya menjadi kumpulan hukum, tetapi kerangka berpikir: teliti, terukur, dan beradab dalam berikhtilaf.

        Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari (260–324 H)

Ia adalah Ali bin Ismail bin Ishaq, bergelar Abu al-Hasan, seorang ulama yang berasal dari keturunan sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy‘ari. Lahir di Basrah, beliau dikenal sebagai pelopor teologi rasional moderat. Pada masa mudanya, al-Asy‘ari sempat mengikuti mazhab Mu‘tazilah dan menjadi tokoh penting di dalamnya.

Namun setelah menempuh perjalanan panjang mencari kebenaran, beliau menyadari bahwa akal hanyalah alat untuk memahami wahyu, bukan sumber utama kebenaran. Sejak itu, beliau mengabdikan hidupnya untuk membela akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dengan argumentasi logis dan rasional, tanpa menyalahi nash-nash syar‘i. Dari sinilah lahir manhaj Asy‘ariyah — suatu sistem berpikir yang menyeimbangkan akal dan wahyu, berpijak pada dalil, dan menjauhi ekstremisme.

Keduanya—Imam asy-Syafi‘i dan Imam al-Asy‘ari—hidup pada masa yang berbeda, namun sama-sama menempatkan akal sebagai alat, bukan sumber kebenaran. Mereka menggunakan akal untuk menegakkan nash, bukan menentangnya. Dari sinilah keduanya dikenal sebagai Wasathia jalan tengah, tidak ekstrem kanan maupun kiri, keseimbangan antara akal dan wahyu, moderasi yang berlandaskan dalil, bersikap adil dan proporsional dalam memahami dan mengamalkan agama. Allah SWT Berfirman “demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan.”(QS. Al-Baqarah: 143)

Gurutta Ambo Dalle: Pewaris Dua Tradisi Besar

Prof. Dr. H. Abd. Rahim Arsyad, M.A, putra dari Gurutta Ambo Dalle, menjelaskan dalam bukunya “Dakwah, Pemikiran, dan Ajakan Anre Gurutta Ambo Dalle” bahwa dalam disiplin fikih, Gurutta Ambo Dalle berpegang pada mazhab Syafi‘i dan turut menyebarkannya melalui karya-karya beliau sendiri, yaitu:

        Mursyidu al-Thullāb (500 bait syair ushul fikih)

        Al-Durūs al-Fiqhiyyah li Talāmīdz al-Tsanawiyyah

        Bughyat al-Muhtāj

        Al-Shalāh ‘Imād al-Dīn

        Mukhtashar al-Durūs al-Fiqhiyyah

        Rabbi ij‘alnī muqīma al-Shalāh

        Al-Fiqh al-Islāmī 

Dalam karya-karya tersebut beliau menjelaskan dasar-dasar fikih seperti:

        pembagian hukum syar‘i,

        pembagian najis,

        cara-cara bersuci,

        dan kaidah-kaidah ushul yang dirintis oleh Imam asy-Syafi‘i

Sedangkan dalam bidang akidah, Gurutta Ambo Dalle mengikuti manhaj al-Asy‘ari dan menulis beberapa kitab penting, di antaranya:

1.      Al-Risālah al-Bahiyyah fī al-Aqā’id al-Islāmiyyah (3 jilid)

2.      Al-Hidāyah al-Jāliyah

3.      Mazīyah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah

4.      Syifā’ al-Afīḍah min at-Tasya’um wa at-Tiyārah

Dalam Al-Risālah al-Bahiyyah, beliau membahas:

        sifat wajib, mustahil, jaiz bagi Allah,

        hari akhir dan balasan,

        prinsip tauhid yang kokoh,

        bahaya syirik besar, syirik pertengahan (kepercayaan pamali), dan syirik kecil (riya). 

Mengapa Tidak Langsung ke Al-Qur’an dan Sunnah?

Al-Qur’an dan Sunnah memang sumber utama agama. Keduanya ibarat mata air yang suci. Namun untuk bisa minum darinya, seseorang membutuhkan wadah dan alat yang benar. Tanpa alat itu, air yang jernih bisa tampak keruh—bukan karena sumbernya, tetapi karena cara menampungnya. Karena itu, Allah SWT berfirman:“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Naḥl: 43) Dan Rasulullah SAW bersabda: “Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud) 

Para ulama kemudian mengembangkan beragam disiplin ilmu sebagai alat untuk memahami agama:

            balaghah dan nahwu untuk memahami bahasa Al-  Qur’an,

            ushul fikih untuk mengambil hukum,

            mantiq untuk menata nalar,

            ilmu kalam untuk membentengi akidah,

            tafsir dan hadis untuk menjaga pemahaman terhadap nash.

Tanpa perangkat ilmu ini, seseorang mudah tersesat meski niatnya benar.

Fikih Syafi‘i dan Akidah Asy‘ari: Dua Ilmu, Satu Jalan 

Sebagian mengira bahwa mengikuti Asy‘ari dalam akidah berarti keluar dari manhaj Imam asy-Syafi‘i. Padahal, itu keliru. Justru banyak ulama besar yang menggabungkan keduanya, seperti:

–     Imam al-Bayhaqī

–     Imam al-Juwaynī

–     Imam al-Ghazālī

–     Imam Fakhruddin ar-Rāzī

–     Imam an-Nawawī

–     Ibn Hajar al-‘Asqalānī

–     Imam as-Suyūṭī dan lainnya

Semua adalah ulama Syafi‘i dalam fikih dan Asy‘ari dalam akidah. Imam al-Asy‘ari tidak menciptakan akidah baru. Dalam Tabyīn Kadzibil Muftari, ditegaskan bahwa beliau hanya merumuskan kembali ajaran para salaf dalam bentuk yang lebih sistematis sesuai tantangan zamannya. Analogi sederhananya:

            Dalam hadis, kita mengikuti Imam al-Bukhari dan Muslim.

            Dalam qirā’ah, kita membaca riwayat Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim.

            Dalam fikih, kita mengikuti Imam asy-Syafi‘i.

            Maka dalam akidah, wajar jika kita mengikuti Imam  al-Asy‘ari.

Ini bukan perbedaan jalan, tetapi perbedaan spesialisasi dalam bangunan Islam yang satu.

Penutup

Dari Gurutta Ambo Dalle, kita belajar bahwa kemurnian agama tidak dijaga hanya slogan, tetapi juga ilmu, metode, dan keteladanan. Fikih Syafi‘i dan Akidah Asy‘ari adalah tradisi besar yang menyatukan nalar dan nash, ilmu dan amal, teks dan konteks. Keduanya adalah warisan yang terus relevan untuk menjaga keseimbangan umat—hari ini dan di masa yang akan datang, Insya Allah.

 

 

 

Rabu, 19 November 2025

Integrasi syariat dan hakikat: Studi atas Pemikiran Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle

 

 
Oleh : Muhammad Fadhli 

Islam, Iman dan Ihsan adalah tiga hal utama dalam agama Islam. Ketiga hal tersebut menjadi dasar dan asas utama dalam berdirinya agama Islam yang kita kenal saat ini, darinya agama Islam tumbuh dan berkembang luas mengikuti perkembangan zaman, tetapi dengan mengikuti koridor-koridor yang telah ditentukan oleh Allah Swt. sejak awal.

Islam, Iman dan Ihsan merupakan satu hal padu yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena ketiga hal tersebut merupadan unsur-unsur agama. Iman adalah keyakinan serta kepercayaan seorang muslim yang menjadi dasar dalam akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan dengan bukti nyata melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Yang mana pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara yang Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Swt.

Ihsan merupakan tingkatan tertinggi yang menyempurnakan keduanya. Ihsan yang berarti melakukan sesuatu dengan baik, sempurna atau memberikan kebaikan. Dalam terminologi Islam, Ihsan memiliki makna yang sangat dalam dan berkaitan erat dengan kualitas ibadah seorang muslim, malaikat Jibril As. menjelaskan dalam hadis "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah Swt. seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim). yang mana dalam hal ini, Ihsan selalu dihubungkan dengan ajaran tasawuf.

Anregurutta -sebuah istilah gelar bagi seorang ulama Sulawesi Selatan, yang semakna dengan gelar kyai di Jawa, buya di Minang, tuan guru di Banjarmasin dan Nusa Tenggara barat-  Abdurrahman Ambo Dalle menjelaskan dalam karyanya yang berjudul al-qaul al-shadiq fi ma’rifatil Khalik mengenai tasawuf yang ditulis langsung oleh beliau dalam dua Bahasa, yaitu Bahasa arab dan Bahasa bugis. Sebuah kitab berisikan mengenai ajaran tasawuf yang ditulis pada tanggal 19 dzulhijjah 1374 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Agustus 1955 M. dan selesai ditulis pada hari rabu 5 Muharram 1375 bertepatan dengan tanggal 24 Agusuts 1955 di pare-pare.

Mengenai hubungan syariat dan tasawuf, secara eksplisit tidak disebutkan dalam karyanya ini, akan tetapi paling tidak secara inplisit dapat dipahami bahwa anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle di dalam kitabnya al-qaul al-shadiq fi ma’rifatil Khalik sebagaimana yang ditegaskan bahwa salah satu ukuran seorang hamba yang bisa dikategorikan sebagai hamba Allah Swt. itu adalah sejauhmana di dalam kehidupan sehari-harinya menjalankan ibadah kepada Allah Swt., baik ibadah mahdah maupun ibadah muamalah.

Menurut anregurutta, syariat dan tasawuf memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Beliau menjelaskan bahwa syariat adalah sebuah ibadah jasmani yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani, yaitu tentang tata cara berhubungan denga Allah Swt., adapun tasawuf lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat batin yang menjadi penghias ibadah fisik.

Beliau menjelaskan lebih lanjut, ibadah dibagi menjadi dua bagian, yaitu ibadah lahiriah (aspek fiqh) dan ibadah batiniah (aspek Rohani). Aspek lahiriah merupakan ibadah yang kita lakukan dengan anggota tubuh kita yang mana secara lahir dapat dilihat dengan mata kepala itu sendiri seperti halnya sholat, zakat, haji dan lainnya. Sementara ibadah batiniah adalah ibadah yang dilakukan oleh gerakan hati, misalnya berdzikir kepada Allah Swt., tawakkal, sabar, syukur dan lain-lainnya.

Ibadah lahiriah -menurut Anregurutta- terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu pertama, ibadah yang langsung kepada Allah Swt., ibadah ini yang diwajibakan oleh Allah Swt. kepada setiap individu, jadi seorang hamba baru bisa dikatakan beribadah apabila ia sendiri yang melakukannya, bukan orang lain. Adapun pembagian yang kedua, adalah ibadah muamalah, yaitu sebuah ibadah yang menyangkut hubungan antar sesama manusia dengan manusia yang lainnya, seperti jual beli, tolong menolong dan berbagai kegiatan yang menyangkut hubungan sosial.

Adapun ibadah batin, merupakan suatu ibadah yang diperankan oleh hati. Anregurutta dalam karyanya menjelaskan bahwa untuk melaksanakan ibadah seperti ini, seorang hamba harus terlebih dahulu membersihkan hatinya atau dengan tidak mengikuti hawa nafsunya, karena hawa nafsu dapat mengantarkan dan mendorong seseorang untuk berbuat dosa dan kejahatan.

Kemudian lebih lanjut, ibadah batiniah juga terbagi menjadi dua bagian, yang pertama ibadah batin yang langsung kepada Allah Swt. seperti syukur, sabar dan lainnya sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dan yang kedua, ibadah batin yang langsung kepada Allah Swt. dengan melalui perantara ciptaannya, yaitu suatu konsep ibadah batin dengan melalui perantara ciptaan Allah Swt. untuk dapat mengingat dan mencapai ma’rifat kepada Allah Swt.

Anregurutta menjelaskan, bahwa meskipun hati atau akal dapat memikirkan ciptaan Allah Swt. tetapi belum tentu bisa mencapai pengetahuan tentang hakikat Allah Swt. Hal ini sebagaimana yang dikutip dalam sebuah hadis Rasulullah Saw:

 تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في ذات الله فتهلكوا

Artinya  “Pikirkanlah mengenai segala sesuatu (yang diciptakan Allah Swt.), tetapi janganlah kalian memikirkan tentang Dzat Allah Swt., karena kalian akan rusak”.

dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa corak atau paham tasawuf anregurutta Abdurrahman ambo dalle yang terdapat dalam karya-karyanya adalah bercorak sunni atau amali, yaitu di mana di dalam pengamalan ibadah-ibadah yang dilakukan adalah penggabungan antara dua macam ibadah, yaitu ibadah dzahir dan ibadah batin tanpa mementingkan salah satunya.

Pemahaman beliau mengenai keterikatan antara ibadah dzahir dan batin atau antara syariat dan tasawuf secara global memiliki unsur kesamaan dengan imam al-Ghazali dan Junaid al-Bahgdadi. Dalam al-munqiz min al-dhalalah, imam al-Ghazali menyatakan pengalaman ruhaniahnya ketika sampai pada kesimpulan bahwa akan pentingnya tasawuf setelah syariah. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dengan tasawuf akan dapat diperoleh hasil yang tidak didapatkan oleh ilmu lainnya.

Sementara Junaid al-Baghdadi terkesan lebih sedikit ekstrim ketika seorang mengabaikan syariat dalam menjalan tasawuf. Hal ini terlihat ketika beliau mendapati sebuah cerita mengenai seseorang yang telah mencapai tingkat ma’rifat yang mana kemudian orang tersebut dibebaskan oleh Allah Swt. dari amal ibadah. Lalu beliau mengatakan, bahwa sesungguhnya orang-orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahaya daripada pencuri dan pembuat keonaran.

Bahkan menurut anregurutta, kedua ibadah tersebut (lahir dan batin) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena tidak ada suatu ibadah dzahir tanpa diikuti oleh ibadah batin, begitupun dengan sebaliknya. Beliau melanjutkan bahwa jika seorang hamba dapat melakukan kedua ibadah tersebut, maka itulah yang dimaksud oleh ungkapan sufi “barang siapa yang mengetahui dirinya berarti ia juga mengetahui tuhannya”, yaitu mengetahui dirinya sebagai hamba dengan melaksanakan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya.

Anregurutta Abdurrahman ambo dalle sangat tidak setuju dan menentang paham-paham tarekat yang tidak memiliki dasar dari al-quran dan hadis nabi Muhammad Saw. dan beliau menyatakan bahwa paham seperti ini adalah suatu jalan yang dapat menyesatkan manusia, bahkan bisa membawa sebuah kekafiran.

Kecenderungan pemikiran tasawuf anregurutta dalam kitabnya tidak terlepas dari kehidupan masyarakat, utamanya masyarakat bugis pada waktu itu, yang mana sangat banyak diperbincangkan dikalangan masyarakat mengenai masalah-masalah ibadah dengan paham-paham atau tarekat yang salah dan melenceng, serta juga tidak terlepas dari kitab-kitab yang menjadi bacaan beliau ketika masih berguru kepada anregurutta sade di sengkang.

Dalam karyanya yang berjudul al-hidayah al-jaliyah ila ma’rifat al-‘aqaid al-Islamiyah, anregurutta Abdurrahman ambo dalle membahas serta menjelaskan mengenai tarekat-tarekat yang menjauhkan kita dari ketauhidan. Beliau menjelaskan hendaknya setiap orang yang ingin menempuh jalan ketauhidan yang hakiki terlebih dahulu mengenal dan memahami tarekat-tarekat (jalan-jalan) yang menyimpang dan mengarah kepada kebodohan sehingga mengarahkan kepada kesesatan.

Beliau mencontohkan paham-paham tarekat yang salah dengan menghadirkan beberapa contoh seperti mereka yang mengklaim “siapa yang masuk dalam lingkup tarekatku, maka aku akan menjamin keselamatannya di dunia dan memastikan ia masuk surga” dan juga mereka yang mengatakan “tarekatku mendalami hakikat yang sesungguhnya. Siapa yang tidak memasuki lingkaran ini maka ia belum menemukan hakikat yang sejati”.

Serta ada pula yang berpendapat “tarekatku mengajarkan ragasia hakikat yang langsung diterima nabi muhammad saw. Dari Allah Swt. swt tanpa perantara malaikat, sehingga nabi tidak mengajarkannya kepada semua sahabat. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang beliau paparkan dalam kitabnya.

Dalam karyanya yang sama, beliau juga menghadirkan bantahan dan sanggahan terhadap paham-paham yang salah, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Anregurutta membantah dengan mengatakan dalam kitabnya “apakah keselamatan itu milik mereka sehingga mereka berani mengklaim  mampu memberi keselataman?, apakah mereka yang menciptakan surga sehingga berani menjamin bahwa yang mengikuti ajarannya akan masuk surga? Ingatlah! Yang memberikan keselamatan dan berhak memasukkan seseorang kedalam surga hanyalah Allah Swt. Hal itu adalah hak prerogatif-Nya. Allah Swt. swt. Berfirman :

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ۝٢٣

“Dialah Allah Swt. Yang tidak ada tuhan selain Dia. Dia (adalah) Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahadamai, Yang Maha Mengaruniakan keamanan, Maha Mengawasi, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, dan Yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah Swt. dari apa yang mereka persekutukan”.

Serta beliau membantah dengan mengatakan setiap tarekat yang tidak berlandaskan al-quran dan hadis shahih maka dapat dipastikan merupakan pemahaman yang sesat dan menyesatkan, Allah Swt. berfirman:

اَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَࣖ ۝

“Kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka, janganlah sekali-kali engkau (Nabi Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu”.

Dan di ayat lain, Allah Swt. swt berfirman:

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُۖ

“Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan”.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa setiap ajaran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan berlandaskan hadis nabi tidak mengandung kebenaran dan hanya akan membawa kepada kesesatan.

Melalui karya beliau al-Qaul al-Shadiq fī Ma‘rifatil Khāliq, Anregurutta Abdurrahman ambo dalle menegaskan bahwa syariat dan tasawuf adalah dua unsur yang harus berjalan bersama. Ibadah lahiriah dan batiniah tidak boleh dipisahkan, sebagaimana para ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi juga menegaskan pentingnya keseimbangan antara keduanya. Syariat mengatur amal fisik, sementara tasawuf memperhalus hati agar ibadah tersebut bernilai di sisi Allah Swt.

Anregurutta menolak keras paham-paham tarekat yang menyimpang, terutama yang mengklaim dapat memberi jaminan keselamatan atau mengatasnamakan ajaran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Ia menegaskan bahwa keselamatan dan surga sepenuhnya berada di tangan Allah Swt., dan bahwa setiap jalan spiritual yang tidak berdasar pada wahyu hanyalah kesesatan.

Dengan demikian, tasawuf yang benar adalah tasawuf yang bersumber dari ajaran Rasulullah saw., berpijak pada syariat, serta menyucikan hati tanpa meninggalkan kewajiban-kewajiban agama. Inilah corak tasawuf sunni yang diajarkan Anregurutta—tasawuf yang menyeimbangkan antara dzahir dan batin, antara amal dan ma‘rifat, sehingga seorang hamba dapat mengenal dirinya dan dengan itu semakin mengenal Tuhannya.

 

 

 

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes