![]() |
Lambang Addariah |
Oleh: Muhammad Akbar Amnur (Pimred Buletin Addariah 2013-2014)
Hal yang lazim apabila sebuah media
cetak mengalami pasang surut penerbitan, bahkan mati suri di tengah kalangan
Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Tak terkecuali bagi Buletin Addariah.
Tujuh tahun buletin ini berada dalam abad kekosongan, waktu
yang teramat panjang. Ironisnya, Addariah vakum dikarenakan faktor internal di
tubuh Ikatan Alumni Darud Da'wah Wal-Irsyad (IADI) yang memetieskan media
kepenulisannya sendiri. Kepengurusan silih berganti periode ke periode akan
tetapi tak lagi dilirik dan tak pernah terbit sekali pun pasca cetakan ke-56, 6
Desember 2013 silam.
Maka terbitnya Buletin Addariah kali ini merupakan angin
segar bagi dunia kepenulisan Masisir. Khususnya bagi anggota IADI, almamater
terbesar dalam tubuh Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS). Sebab jika menilik jauh
ke belakang tujuh tahun yang lampau, di KKS, satu-satunya media cetak yang
terbit hanyalah Addariah.
Namun, tulisan ini tak bermaksud mengurai kendala-kendala
yang menghambat terbitnya Buletin Addariah, serta kegagalan pemangku tanggung jawab
media kepenulisan Dewan Pengurus IADI tahun-tahun sebelumnya. Pendek kata, saya
ingin sekadar bernostalgia dengan singkat sewaktu memikul amanah sebagai
Pimpinan Redaksi Buletin Addariah di sini, di dalam catatan sederhana ini.
Percikan
Kenangan
Kala itu, saya belum membaca makalah al-Qalqasyandy, Fadhl
al-Kitabah wa Mudh Fudhalai Ahliha, tulisan yang memuat sehimpun fragmen
risalah, kaul, serta pasase dari para kuttab se-kaliber al-Muayyad
hingga al-Jahidz mengenai keutamaan menulis dan penghargaan bagi para ahlinya.
Mengemban amanah sebagai pimpinan redaksi saya tunaikan penuh antusias, setelah
menerima instruksi yang berdasar SK IADI dari Muhammad Rifqi Ahrar, Ketua IADI
Masa Bakti 2013-2014.
Semangat saya terpacu begitu saja, senang ‘dianggap' bisa
menulis. Apatah lagi sesudah mengikuti seminar jurnalistik bertema
"Semesta Menulis" yang terselenggara atas kerjasama Ikatan Jurnalis
Masisir (IJMA) dan PPMI Mesir, dengan pemateri sekelas Irwan Kelana; redaktur
senior Republika.
Musim gugur di bulan September 2013, Buletin Addariah edisi
55 pun terbit tanpa kendala yang berarti. Tak sedikit yang memberi pujian,
karena Addariah mampu bangkit dari mati suri tiga tahun lamanya. Meski di lain
pihak, muncul kritikan atas penerbitan tersebut, menyayangkan naik cetaknya
Addariah yang tak layak diterbitkan.
Kritikan tersebut menyadarkan saya pribadi, atas
ketidaksuksesan cetakan pertama ini. Ibarat perahu yang tenggelam di lautan
lepas, bukan lantaran perahu rusak melainkan ke-tidakpiawai-an sang nahkoda dan
para awak melayarkannya.
Teringat ‘pappaseng’ (pesan) di dalam Elong-syair,
Bulu Alauna Tempe (Gurung di seberang Timur Danau Tempe) karangan
Abdullah Alamudi yang berbunyi "Mau Tellu Pabbisena Nabongngo
Pallopinna Alla Teawa Nalureng”—biar tiga pendayungnya, kalau tak cakap
nahkodanya, tak sudi aku jadi penumpangnya.
Sejak itu saya beserta rekan-rekan kru yang lain berbenah
diri, sehingga Buletin Addariah terbilang sukses pada cetakan selanjutnya,
sekaligus menjadi cetakan terakhir di rentang masa tujuh tahun belakangan.
Barangkali demikian sekilas kenangan bersama Addariah—dan
saya tidak ingin terjebak dan berlama-lama di sana!
Membicarakan masa lalu, sama pentingnya membicarakan masa
depan Addariah. Agar eksistensinya bukan sebatas terbit sekali dua kali guna
memenuhi tanggung jawab yang telah diamanahkan kepada segenap kru Addariah
sudah saatnya fokus menata diri, menjadi media dengan sepak terjang yang tinggi
di kancah Masisir. Selain harus mempertahankan diri agar tak tergerus zaman.
Dan masa depan itu tampak jelas daripada antusiasme segenap
kru, ditopang dengan membludaknya anggota IADI adalah harapan besar di masa
akan datang. Konsistensi penerbitan disertai kerja awak media yang kreatif dan
inovatif, tak menutup kemungkinan satu saat nanti buletin tercinta menjadi
tamsil bagi media-media cetak yang ada di tengah Masisir.
Sebagai penutup memoar singkat ini, terselip harap semoga
Buletin Addariah tak disia-siakan seperti sediakala. Untuk menumbuhkan
kepedulian terhadap budaya literasi sekaligus menjaga warisan para leluhumya,
lewat media inilah tangan-tangan emas anggota IADI seharusnya menempa diri.
Di dalam makalah al-Qalqasyandy yang telah saya sebutkan,
sebuah ungkapan yang sederhana tetapi patut untuk kita renungkan bersama, Al-Ma’n
bin Zdah berkan "Idza lam Taktub al Yad Fahiya Rijl.”
ADDARIAH EDISI 57, 20 APRIL 2019
Posting Komentar