BREAKING NEWS

Jumat, 22 Juli 2022

Addariah: Selembar Memoar

Lambang Addariah

Oleh: Muhammad Akbar Amnur (Pimred Buletin Addariah 2013-2014)

            Hal yang lazim apabila sebuah media cetak mengalami pasang surut penerbitan, bahkan mati suri di tengah kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Tak terkecuali bagi Buletin Addariah.

Tujuh tahun buletin ini berada dalam abad kekosongan, waktu yang teramat panjang. Ironisnya, Addariah vakum dikarenakan faktor internal di tubuh Ikatan Alumni Darud Da'wah Wal-Irsyad (IADI) yang memetieskan media kepenulisannya sendiri. Kepengurusan silih berganti periode ke periode akan tetapi tak lagi dilirik dan tak pernah terbit sekali pun pasca cetakan ke-56, 6 Desember 2013 silam.

Maka terbitnya Buletin Addariah kali ini merupakan angin segar bagi dunia kepenulisan Masisir. Khususnya bagi anggota IADI, almamater terbesar dalam tubuh Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS). Sebab jika menilik jauh ke belakang tujuh tahun yang lampau, di KKS, satu-satunya media cetak yang terbit hanyalah Addariah.

Namun, tulisan ini tak bermaksud mengurai kendala-kendala yang menghambat terbitnya Buletin Addariah, serta kegagalan pemangku tanggung jawab media kepenulisan Dewan Pengurus IADI tahun-tahun sebelumnya. Pendek kata, saya ingin sekadar bernostalgia dengan singkat sewaktu memikul amanah sebagai Pimpinan Redaksi Buletin Addariah di sini, di dalam catatan sederhana ini.

Percikan Kenangan

Kala itu, saya belum membaca makalah al-Qalqasyandy, Fadhl al-Kitabah wa Mudh Fudhalai Ahliha, tulisan yang memuat sehimpun fragmen risalah, kaul, serta pasase dari para kuttab se-kaliber al-Muayyad hingga al-Jahidz mengenai keutamaan menulis dan penghargaan bagi para ahlinya. Mengemban amanah sebagai pimpinan redaksi saya tunaikan penuh antusias, setelah menerima instruksi yang berdasar SK IADI dari Muhammad Rifqi Ahrar, Ketua IADI Masa Bakti 2013-2014.

Semangat saya terpacu begitu saja, senang ‘dianggap' bisa menulis. Apatah lagi sesudah mengikuti seminar jurnalistik bertema "Semesta Menulis" yang terselenggara atas kerjasama Ikatan Jurnalis Masisir (IJMA) dan PPMI Mesir, dengan pemateri sekelas Irwan Kelana; redaktur senior Republika.

Musim gugur di bulan September 2013, Buletin Addariah edisi 55 pun terbit tanpa kendala yang berarti. Tak sedikit yang memberi pujian, karena Addariah mampu bangkit dari mati suri tiga tahun lamanya. Meski di lain pihak, muncul kritikan atas penerbitan tersebut, menyayangkan naik cetaknya Addariah yang tak layak diterbitkan.

Kritikan tersebut menyadarkan saya pribadi, atas ketidaksuksesan cetakan pertama ini. Ibarat perahu yang tenggelam di lautan lepas, bukan lantaran perahu rusak melainkan ke-tidakpiawai-an sang nahkoda dan para awak melayarkannya.

Teringat ‘pappaseng’ (pesan) di dalam Elong-syair, Bulu Alauna Tempe (Gurung di seberang Timur Danau Tempe) karangan Abdullah Alamudi yang berbunyi "Mau Tellu Pabbisena Nabongngo Pallopinna Alla Teawa Nalureng”—biar tiga pendayungnya, kalau tak cakap nahkodanya, tak sudi aku jadi penumpangnya.

Sejak itu saya beserta rekan-rekan kru yang lain berbenah diri, sehingga Buletin Addariah terbilang sukses pada cetakan selanjutnya, sekaligus menjadi cetakan terakhir di rentang masa tujuh tahun belakangan.

Barangkali demikian sekilas kenangan bersama Addariah—dan saya tidak ingin terjebak dan berlama-lama di sana!

Membicarakan masa lalu, sama pentingnya membicarakan masa depan Addariah. Agar eksistensinya bukan sebatas terbit sekali dua kali guna memenuhi tanggung jawab yang telah diamanahkan kepada segenap kru Addariah sudah saatnya fokus menata diri, menjadi media dengan sepak terjang yang tinggi di kancah Masisir. Selain harus mempertahankan diri agar tak tergerus zaman.

Dan masa depan itu tampak jelas daripada antusiasme segenap kru, ditopang dengan membludaknya anggota IADI adalah harapan besar di masa akan datang. Konsistensi penerbitan disertai kerja awak media yang kreatif dan inovatif, tak menutup kemungkinan satu saat nanti buletin tercinta menjadi tamsil bagi media-media cetak yang ada di tengah Masisir.

Sebagai penutup memoar singkat ini, terselip harap semoga Buletin Addariah tak disia-siakan seperti sediakala. Untuk menumbuhkan kepedulian terhadap budaya literasi sekaligus menjaga warisan para leluhumya, lewat media inilah tangan-tangan emas anggota IADI seharusnya menempa diri.

Di dalam makalah al-Qalqasyandy yang telah saya sebutkan, sebuah ungkapan yang sederhana tetapi patut untuk kita renungkan bersama, Al-Ma’n bin Zdah berkan "Idza lam Taktub al Yad Fahiya Rijl.”

ADDARIAH EDISI 57, 20 APRIL 2019

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes