KEMATIAN OSIRIS
Tuhan telah nampak diantara kita
Telah menyatu menjadi sebuah rasa
Tangisan cinta Isis sang feminim
untuk Osiris
Menjadi sebuah aliran panjang tak
bertepi
Para pemimpi itu menamainya ibu
Namun ketahuilah! Aku dan dia
berbeda
Namun ku masih sepakat untuk
sebuah nama
Perwujudan cinta yang bernama ibu
Kata-kata Tanpa Kata-kata
menjelang isya kutinggalkan kattameyah, pinggiran kota di
tepi gurun—di sepi kesendirianku menuju darrasah. kepalaku penuh
rencana-rencana seketika dilanda bencana kebosanan ketika kutumpangi angkot
ini; bising percakapan orang-orang beraksen kedaerahaan membuat bahasa arab
terdengar asing, seolah aku terdampar di satu kampung pedalaman di nigeria. di
luar, debu pasir beterbangan menampar-nampar jendela kaca, bagiku malam ini
membuat hidup serasa begitu malang! seorang pria tua seumuran ayahku duduk di
sampingku semakin kesal saja sejak kami lewati perbukitan dengan jalan-jalan
berlubang hingga setengah perjalanan ke sayyidah aisyah, ia tagih uang
kembalian seperti anak kecil yang merengek minta uang jajan:
aku pusing dan mual berkendaraan—ciri khas kampunganku tak
hilang-hilang juga meski sudah setahun lebih tinggal di kota ini, pria tua itu
tambah frontal menagih, aku kian jengkel padanya. pikiranku teralihkan ketika
kupandang bangunan-bangunan di seberang sepanjang jalan—diriku melayang-layang;
tiba-tiba aku bertamu di rumahmu, atau menyepi di taman seorang diri sambil
menulis selembar puisi, atau tersesat di nigeria. lamunan-lamunan itu
berhampuran seperti bintang-bintang seperti kata-kataku.
sewaktu angkot ini tiba di sayyidah aisyah. para penumpang turun, sebelum berlalu pergi
membawa senyumnya pria tua itu menghampiriku lalu diserahkannya uang kembalian
milikku. aku terdiam menerimanya, tanpa terima kasih tanpa kata-kata.
ADDARIAH
EDISI 57, 20 APRIL 2019
Posting Komentar