Oleh: H.
Mujiburrahman, Lc. (Ketua IADI 2014-2015)
Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir:Red), dengan beragam
suku, budaya, sedari dulu telah hidup rukun bersama. Mereka mewarisi
keberagaman tersebut secara turun temurun, tidak serta-merta muncul begitu
saja.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara, diantaranya
Suku Bugis yang berpusat di Sulawesi Selatan. Dalam budaya Bugis, dikenal
budaya Tabe (Sopan santun:Red). Sebagai perilaku normatif yang berperan
penting menjaga hidup rukun dalam bermasyarakat.
Tabe', praktek sederhananya adalah sikap minta izin jika lewat di depan
seseorang, disertai membungkukkan badan dan menjulurkan tangan kanan ke bawah
seraya mengucapkan kata Tabe'
Budaya Tabe' yang demikian indah ini, jika dihayati
dan diamalkan secara konsisten tentunya akan berimplikasi pada sasaran dan
tujuan yang diinginkan dari budaya Tabe'
Bagaimana
jika budaya Tabe' diterapkan dalam dunia masisir?
Masisir adalah refleksi kehidupan sosial mahasiswa di Mesir,
sepatutnya konflik sekecil apapun dalam sosial masyarakat bisa dihindari. Mari
membaca sejarah Masisir ke belakang saat ada singgungan fisik dan lainnya. Bila
dikerucutkan, benang merahnya sama, yaitu minimnya sikap menghormati kepada
yang lebih tua, dan saling menyayangi kepada sesama atau yang lebih muda.
Demikian Tabe’ menjadi simbol saling menghargai dan menghormati siapapun
di depan kita.
Sayangnya Budaya Tabe' mulai tergerus perlahan-lahan. Baik
bagi Suku Bugis, maupun suku lain yang mewakili daerah asal di dalam ruang lingkup
Mahasiswa Timur Tengah yang notabenenya wadah layak menjadi simbol kesempurnaan
bagi mahasiswa dunia.
Salahsatu contoh di mana budaya Tabe seharusnya diimplemetasikan
adalah di bus. Setiap kali penulis ke kuliah dengan menaiki bis 80 Coret/24 Jim
sebagai angkutan umum paling populer di kalangan kita, mahasiswa Mesir.
Sebisa mungkin saya memilih kursi paling belakang sebelah
kiri. Karena dari sana, kita bisa mencermati setidaknya 2/3 dari isi bus.
Sayangnya, seringkali kita dapati kenyataan memilukan. Mereka yang mengaku
sebagai seorang terpelajar bahkan tidak tahu cara menghargai perempuan,
ironisnya bahkan meski perempuan itu dari negeri sendiri. Earphone terpasang
rapi, memandang keluar jendela, lalu berlagak pura-pura, hanya demi tak
kehilangan tempat duduk yang seharusnya diisi oleh kaum wanita.
Tabe’ masisir! Sebaiknya, dengan senang hati kita persilakan perempuan itu
untuk duduk sambil berucap "Tabe, silakan duduk!"
Kasus lain yang membuat cukup geram, yaitu merokok di jalan
ramai. Sedikit berbagi pengalaman, penulis cukup banyak mengenal senior-senior
Masisir, dan kebanyakan perokok. Tapi, sekalipun tak pernah mendapati mereka
merokok di keramaian dan disaksikan oleh orang-orang Mesir.
Anggap saja seorang mahasiswa sedang merokok di tepi jalan,
sementara penulis lewat di depannya Dengan sopan penulis bekata; Tabe,
alangkah baiknya merokok pada tempatnya, di kamar sendiri, misalnya.
Tidakkah kita sadar di antara penduduk asli ada seorang duktur
(dosen:red) yang melihat? Atau lebih parahnya, mungkin lagi salah satu Syekh
besar al-Azhar tercinta?
Tahun 2016 silam, di Distrik 10 salah satu Masjid kecil dekat
pasar sang Khatib Jumat sempat menyinggung mahasiswa Indonesia atau yang serupa
dengan poin yang telah penulis sebutkan tadi. Tidak malukah kita?
Tabe', Masisir!
ADDARIAH EDISI 57, 20 APRIL
2019
Posting Komentar