Kemarin...
media jurnalistik tak henti-henti mengabarkan sebuah peristiwa yang kian menjadi sorotan publik, terutama di kalangan Mahasiswa Indonesia Mesir (MASISIR).
Menyuguhkan dua garis besar pandangan. Seolah, yang terjadi memang merupakan dua hal yang berbeda. Tak banyak yang tertarik untuk mengupas sebab terjadinya hal yang konon berbeda itu.
Kini, yang tersisa hanyalah arsipan berita, mengakar dan menjadi saksi dalam karya jurnalistik yang ada.
Menjunjung tinggi harga diri dan rasa malu (siri'), merupakan sifat yang melekat erat pada suku Bugis/Makassar. Sebuah konsep yang membuat pemilik siri' itu senantiasa mempertahankan dan malu melakukan perbuatan buruk yang akan menurunkan harga dirinya. Namun dalam menerapkannya, terkadang ada yang salah mengartikan, Dimana ketika merasa harga dirinya itu sedang dinodai maka dengan segera ia akan melakukan tindak kekerasan yang juga berakibat pada menurunnya siri' itu sendiri.
Merasa benar dengan tindakannya, "toh, saya melakukan ini, demi mempertahankan siri!".
Bukannya penulis ingin mengatakan bahwa itu perbuatan yang benar atau tidak, tetapi apakah itu satu-satunya cara yang dapat dilakukan?!.
Menurut March F Makaampoh. 2013, "Premanisme adalah perilaku yang menimbulkan tindak pidana yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Percikan api menyebabkan kebakaran. Jadi, apakah ada sebab yang melatarbelakangi suatu 'perkelahian'?!
Jalas...
"Jangan main api", kata orang tua dulu, saat kita masih kecil. Dan sekarang, tidakkah kita paham maksud dari larangan itu?!
Pada umumnya 'perkelahian' merupakan buah dari tiadanya rasa saling memahami dan menghargai dari kedua belah pihak, misalnya, ketika pihak A dihina, difitnah dan apapun bentuknya, tentu secara naluriah ia akan melakukan hal yang serupa sesuai dengan yang ia dapatkan, bahkan akan melakukan lebih dari itu, begitu pun pihak B, sebaliknya.
Ketika terjadi tindak kekerasan, bukan berarti pihak yang melakukan kekerasan itu sepenuhnya bersalah, namun juga perlu diperhatikan, apa sebenarnya yang memicu tindakan itu terjadi.
Maka dari itu, tentu dibutuhkan sesuatu yang menjadi penengah layaknya orang tua ketika menengahi perkelahian di antara anak-anaknya. Sekali lagi, ini adalah 'perkelahian' bukan 'penyerangan' seorang saudara ke saudaranya. Melerai, mengevaluasi, menasehati dan juga berusaha mencari sebab dari pertengkaran anak-anaknya.
Di lain sisi, banyak kita saksikan tindak kekerasan dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh para preman di pasar, di gang dan sebagainya, namun ketika premanisme disandarkan pada orang-orang kerap kali disebut dengan pewaris nabi, yang notabenenya merupakan mahasiswa Al-Azhar, wajarkah hal ini terjadi?
Mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dan kesadaran dari kedua belah pihak yang tengah berada dalam ruang tertutup tanpa ventilasi itu sangat ditekankan.
Perlu ditekankan juga, bahwa orang tua dalam mendidik anaknya, tidak boleh tergesa-gesa dalam memarahi ataupun mengambil keputusan ketika terjadi masalah, dengan artian 'hanya' menilai berdasarkan bisikan hati tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan terjadi pada anak-anaknya. Dalam hadis, "...Hakim yang salah dalam memberikan ampunan, lebih baik daripada hakim yang salah dalam memberikan hukuman".
Pada hakikatnya, manusia ketika menghadapi perbuatan yang menyakitkan, ia akan condong untuk membalas dengan perbuatan yang sepadan bahkan lebih, bila tidak segera ditangani, maka di kondisi ini nafsu akan menjadi pengontrol seakan menghijabi akal dengan kain hitam yang menutup pandangan, namun bukankah Islam datang dengan membawa sebuah jalan yang begitu luhur, dimana ini dicontohkan langsung oleh rolemodel kita dan yang senantiasa mengikutinya?!
Oleh: Mushawwir Rahman
Posting Komentar