Oleh: Aqsha Rif'at RM Saeed
Setan seringkali dianggap sebagai musuh utama bagi umat manusia khususnya orang yang beriman, yang selalu berusaha menyesatkan kita dari jalan yang benar. Dalam banyak nash, kita juga sering mendengar bahwa setan digelari sebagai musuh Allah, seperti dalam hadits riwayat Abu Dawud di mana seorang wanita, membawa anaknya kepada Rasul saw. dikarenakan putranya menderita gangguan (gila) kemudian Nabi saw. berucap "Keluarlah, wahai musuh Allah. Aku adalah Rasul Allah. "
Lantas kini, kita bertanya apakah maksud dari ungkapan “musuh Allah” tersebut? Apakah setan dianggap “setara” dengan Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Agung sehingga layak disebut musuh-Nya? Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menganalisis pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memahami identitas dan posisi setan dalam Islam. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Setan sebagai musuh Allah, dan bagaimana kita memandangnya dalam kacamata agama?
Membahas permasalahan ini, Prof. Quraish Shihab menuturkan bahwa setan berasal dari kata bahasa Arab "syathana" yang antara lain memiliki makna "jauh". Setan adalah sosok yang paling jauh dari Tuhan. Sosok yang membangkang perintah Allah dan mengajak kepada kejahatan, tidak hanya dari jenis jin, tetapi boleh jadi juga berupa manusia. Di sisi lain, setan bukan sekadar durhaka atau kafir, tetapi sekaligus juga mengajak kepada kedurhakaan.
Di sisi lain, kata musuh sendiri menurut KBBI di samping memiliki arti sebagai sesuatu yang berada dalam posisi berlawanan dengan kita, juga diartikan sebagai suatu tandingan atau sesuatu yang dapat mengancam keselamatan. Sehingga ketika kita menggabungkan kata “musuh” dan “Allah” ini bisa dianggap kontroversial yang jika tidak disampaikan dengan hati-hati pemahaman ini dapat menimbulkan kesalahpahaman, karena tidaklah pantas menyebut bahwa ada sesuatu yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa dan Maha Esa.
Sebelum melangkah lebih jauh, untuk membahas permasalahan ini kita juga perlu memahami bahwa ada akidah yang wajib kita pegang dalam rangka menjelaskan tentang Allah, ada yang dinamai dengan sifat salbiyah, yaitu sifat yang anda harus negasikan dari Allah.
Sebagaimana dinukil di beberapa kitab, salah satunya kitab karya Imam Al-Dardir yang berjudul Al-Kharidah Al-Bahiyah. Di dalam kitab tersebut dijelaskan definisi sifat salbiyah, yakni menetapkan dalam hati bahwa Allah Maha Sempurna, Maha terbebas dari segala bentuk kekurangan. Allah tidak mungkin setara dengan makhluk. Sedangkan setan itu sendiri adalah makhluk. Bukti bahwa setan itu makhluk ialah setan terikat dengan waktu, ia memiliki awal dan akhir.
KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyampaikan pandangan yang cukup menarik terkait pernyataan tentang setan adalah musuh Allah. Menurut beliau, pernyataan tersebut sebenarnya kurang tepat, karena jika Allah adalah Sang Pencipta, sementara setan adalah makhluk ciptaan-Nya, maka tidak adil rasanya menyebut setan sebagai tandingan atau lawan Allah. Pemahaman ini sangat relevan jika kita mengartikan kata “musuh” secara harfiah.
Selain itu jika kita menilik sekilas kajian bahasanya, kita dapat memperluas makna dari “musuh Allah” dan menggunakan pendekatan metafora, maka pernyataan itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda. Dalam konteks ini, “musuh Allah” bisa diartikan sebagai musuh agama Allah, musuh ketauhidan, atau mereka yang bertindak bertentangan dengan perintah-perintah Allah.
Misalnya, secara kontekstual kata “musuh” dalam bahasa Arab yang berbunyi “Aduwwu” yang juga beberapa kali ditemukan dalam teks Al-Qur’an, tidak hanya dapat bermakna musuh atau lawan. Contohnya seperti yang dikemukaan oleh Muhammad At-Tahir bin Asyur (w. 1973 M) dalam kitab Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir. Di mana dalam penafsiran QS. Al-Baqarah: 98 yang berbunyi: “Man kâna ‘aduwwan lillâhi wa malâ'ikatihî wa rusulihî wa jibrîla wa mîkâla fa innallâha ‘aduwwun lil-kâfirîn”, beliau berpendapat bahwa kata aduww juga dapat dimaknai dengan kebinasaan atau kehancuran. Dalam hal ini, konteksnya ditujukan kepada orang-orang kafir. Maka kata aduww bukan bermakna Allah adalah musuh orang-orang kafir, melainkan Allah menjanjikan kehancuran bagi mereka. Dengan kata lain, siapapun yang menjadi musuh Allah, pada akhirnya akan mendapati kehancuran.
Pendapat lainnya juga datang dari Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 1210 M) dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir Mafatih al-Ghaib. Al-Razi menjelaskan bahwa kata “aduww” pada ayat tersebut juga bisa diartikan sebagai mereka yang memiliki keengganan untuk taat dan patuh terhadap perintah Allah. Artinya, orang-orang yang menolak untuk mengikuti ajaran dan hukum Allah, bisa disebut sebagai musuh Allah. Dari dua pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa pendefinisian kata musuh Allah untuk setan tidak selamanya bermakna lawan atau tandingan yang menggambarkan kesetaraan.
Sebagai penutup, mari merenungkan firman Allah dalam Surah Al-A'raf, ayat 27, yang berbunyi:
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu diperdaya oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua orang tua kamu dari surga, dan menghilangkan dari keduanya pakaian mereka, untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”
Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap godaan setan yang berusaha menyesatkan kita dari jalan kebenaran. Setan tidak hanya berusaha menjauhkan kita dari Allah, tetapi juga berusaha menghilangkan kesadaran kita akan hakikat hidup yang sebenarnya. Namun, ketika kita bersandar kepada musuh setan sendiri yaitu Allah yang Maha Kuasa, kita tidak perlu menjadi begitu khawatirnya, sebab selama kita berpegang teguh di jalan Allah, setan tidak akan mempunyai kekuatan untuk menggoyahkan hati dan langkah kita.
Posting Komentar