BREAKING NEWS

Kamis, 20 Februari 2025

Perihal Iman; Memandang Fanatisme Dari sisi yang Lain

 

Oleh: Muhammad Jurais

Iman secara etimologi berasal dari kata amana yang dalam Bahasa Arab diartikan sebagai aman. Dalam konteks ini, iman dapat diartikan sebagai rasa aman dari pendustaan ataupun pelanggaran terhadap yang diimani. Hal ini secara tidak langsung mengantarkan seseorang yang ingin mendapatkan rasa aman, agar memercayai sekaligus membenarkan apa saja yang dilakukan oleh sesuatu yang kita Imani, baik salah ataupun benar sebagaimana dikatakan Syekh Abu Daqiqah dalam kitabnya Al-Qoul as-Sadid fi ‘Ilm at-Tauhid.

Dalam Islam, iman sudah menjadi sesuatu yang harusnya melekat dalam diri seorang hamba. Bagi seorang muslim, iman menjadi inti dari kehidupan spiritual yang mencerminkan keyakinan, kepasrahan, dan hubungan yang mendalam kepada Allah swt. Ia adalah cahaya yang menerangi sekaligus membimbing seorang hamba menuju jalan kebenaran. Iman melambangkan kesempurnaan dalam beragama, juga menjadi pondasi yang kokoh agar tak mudah terbawa arus kehidupan yang berlika-liku.

Seseorang tanpa iman bisa saja memiliki cara pandang tersendiri terhadap keyakinan, seperti mengandalkan analisa melalui akalnya. Tetapi tidak bisa dipungkiri, bahwa akal seringkali memiliki banyak celah apabila tidak dibarengi dengan keimanan, karena bisa saja, sesuatu yang tidak masuk akal itu bukan berarti tidak ada, seperti peristiwa isra mikraj, bentuk malaikat dan lain-lain.

Dalam sebuah artikel berjudul, Akal Pikiran Harus Didampingi Oleh Iman ust Yurnalis s.Ag, salah satu dai yang terkenal di Riau mengemukakan, bahwa manusia itu harus menggunakan akal sesuai dengan proporsinya. Bila akal tidak mampu, maka iman memiliki peran yang penting dalam hal ini. Sesuatu yang tidak logis belum tentu tidak ada, karena dalam lingkup Allah, itu tidak ada yang tidak mungkin.

Semua itu dapat terjadi ketika seseorang tidak menempatkan iman dalam  keyakinannya, layaknya perahu yang mengarungi lautan tetapi tidak memiliki nahkoda. Rela diombang-ambing oleh arus dunia yang tidak jelas arahnya ke mana. Terlebih bagi yang tidak memiliki dasar keyakinan sama sekali, sudah jauh tenggelam di dalam huru-hara dunia yang fana dan penuh kelalaian.

Ini menjadi dasar bahwa kapabilitas iman dalam diri manusia memang sangat dibutuhkan, bahkan memiliki kedudukan serta peran penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena sifatnya yang sangat dibutuhkan, tak jarang orang memiliki sikap fanatisme dalam beragama, khususnya permasalahan yang erat kaitannya dengan keyakinan.

Tentang fanatisme, secara etimologi berasal dari Bahasa latin fanaticus yang memiliki arti “terinspirasi oleh dewa” atau “kerasukan roh”. Dari sini, kemudian masuk ke Bahasa Prancis sebagai “fanatisme” yang di kemudian hari diadopsi oleh Bahasa Inggris sampai ke Bahasa  Indonesia. Awalnya, kata ini digunakan dalam perspektif keagamaan, yaitu menggambarkan seseorang yang memiliki pengabdian atau kepercayaan ekstrim terhadap suatu ajaran. Seiring waktu, kata ini merambah dan mencakup makna yang lebih luas, entah pada bidang politik, sosial, dan lain lain.

Orang yang memiliki kefanatikan dalam dirinya sangat mempertahankan prinsip yang tertanam dalam dirinya terhadap sesuatu dan dalam keadaan apapun, bahkan dalam beberapa kasus, mereka tidak menerima pendapat orang lain, kebanyakan pula berujung mencela pendapat yang dianut oleh orang lain.

Hal ini tentu berakibat mengantarkan orang-orang memandang fanatisme cenderung ke arah negatif. Bukan tanpa alasan, orang yang memiliki sisi kefanatikan sering mengorbankan pemikiran independennya demi mengikuti kepercayaan yang ia anut. Parahnya lagi, ini bisa mengantarkan orang tersebut ke arah kepatuhan yang tak mendasar tanpa memandang ajaran itu salah atau benar.

Seperti beberapa kasus yang terjadi di indonesia, salah satunya adalah bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar pada tahun 2021. Mirisnya, pelaku yang melakukan aksi ini ternyata adalah sepasang suami istri yang baru 6 bulan dari pernikahannya dan istrinya hamil 4 bulan. Akibat ulah mereka, diduga dua orang pelaku tewas mengenaskan, serta 20 orang yang terdiri dari warga, petugas keamanan gereja, dan jemaat nya mengalami luka parah akibat ledakan tersebut.

Setelah di telusuri lebih jauh, pasangan di atas ternyata terpapar ajaran radikalisme oleh Jaringan Asharut Daulah (JAD). Pengikutnya dihidangkan nilai-nilai tertentu yang diyakini sebagai kebenaran, seakan akan hal tersebut sesuai dengan dasar agama, khususnya doktrin yang mengarah pada suatu kelompok yang dipersepsikan sebagai kafir. Hal ini ditandai dengan anggapan bahwa, membunuh orang kafir itu diperbolehkan oleh sebagian kelompok.

Peristiwa di atas jelas menegaskan bahwa bom bunuh diri secara tidak langsung, merupakan manifestasi ekstrem dari fanatisme yang sangat berbahaya dan tidak terkendali. Hal itu jelas dapat mendorong individu lain atau sebuah kelompok untuk melakukan-hal hal yang tidak wajar, sekaligus bertentangan dengan ajaran dan pemahaman yang benar.

Padahal sejatinya, fanatisme tidaklah seperti itu, terlebih lagi dalam cakupan keimanan. Bahkan bisa dikatakan bahwa fanatisme merupakan sarana mengesakan tuhan, meyakininya setulus dan sepenuh hati, tanpa ada keraguan sedikit pun terhadap-Nya. Bersungguh sungguh untuk beribadah kepada-Nya, dan berpegang teguh pada ajaran-Nya.

Seorang ulama yang bergelar Syaikhul Bashrah, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pun menunjukkan sikap ketertarikan lebih nya kepada Allah swt, melalui perkataannya, “Barang siapa yang mengenal Rabb-nya, maka dia akan mencintai-Nya, maka dia akan lebih mendahulukan-Nya daripada yang lain.”

Ini menunjukkan bahwa seseorang yang betul betul mencintai Tuhannya akan menempatkan-Nya di atas apapun, hal ini tentu menunjukkan bentuk kecintaan yang sangat dalam, bahkan termasuk pada ranah fanatik dalam arti totalitas dalam kecintaan dan ketaatan kepada Tuhan.

Bahkan Prof. Quraish shihab, salah satu pakar tafsir di Indonesia menegaskan, bahwa apa yang ia klaim sebagai Tuhan, agama, pun dengan ajaran yang ia anut memiliki kebenaran yang sudah ia tidak ragukan. Tentunya dengan bukti-bukti rasional dan teruji kebenarannya makin mempermantap apa yang ia anut.

Bukankah totalitas dalam menyembah-Nya dapat membuat keimanan kita lebih bagus dan makin terjaga?. ketika seorang hamba memberikan dedikasi penuh kepada Tuhannya, tentu akan menjadikannya lebih dekat kepada-Nya, sehingga menjadikan hidupnya lebih tenang dan tentram, pun tidak mudah untuk terpengaruh oleh paham yang menyimpang. “Wahai orang orang beriman! Masuklah ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti Langkah Langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 208).

Alhasil, fanatisme secara tidak langsung juga menjadi sarana untuk menjaga kepercayaan, yang tentunya ini merupakan salah satu perkara yang sangat diwajibkan dalam agama. Bahkan keimanan merupakan sesuatu yang mesti dijaga dan dibawa sampai ke liang kubur, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. al-Hijr [15]: 99).

Pada dasarnya, fanatisme itu memiliki sisi positif dan negatif yang tentunya kembali kepada masing masing manusia, pun bergantung pada intensitas dan cara mengekspresikannya. tentunya juga, perlu dikendalikan agar tetap dalam batas yang sehat dan tidak merugikan orang lain.

Prof. Quraish shihab pun menambahkan, bahwa berbuat adil merupakan aspek yang sangat penting dalam sebuah perbedaan, pun dalam masalah kefanatikan terhadap masing masing keyakinan. Kefanatikan seperti di atas pun tetap dianggap buruk apabila kita tidak berlaku adil kepada keyakinan orang lain. Setiap orang pun memiliki tingkat kefanatikan dalam keyakinannya yang mungkin lebih baik dari pada diri kita sendiri, “untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (al-Kaafiruun [109]: 6)

Berdasarkan hal tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa setiap individu memiliki latar belakang, pemikiran dan keyakinan masing- masing, sehingga sikap adil dalam menyikapi sebuah perbedaan adalah bentuk penghormatan pada hak dan martabat setiap orang. Dengan sikap adil, kita bisa menilai sesuatu dengan objektif dan tidak berat sebelah. Dengan begitu, kita bisa hidup dalam masyarakat yang lebih damai dan saling pengertian.

Seseorang memang perlu untuk bersikap adil dalam menyikapi kefanatikan, karena itu adalah bagian perbedaan yang mesti dihormati, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah kefanatikan yang melanggar prinsip keadilan dan kebaikan bersama itu memiliki dampak yang sangat berbahaya, entah bagi individu ataupun masyarakat, juga sekaligus merusak perdamaian dan kesejahteraan sosial.

 

 

 

 

 

 

 

 


Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes