Oleh: Rahmatullah (Dep. SOSIAL IADI Mesir)
Tahun 1932, H. M. Yusuf Andi Dagong
diangkat menjadi Anang (raja) di swapraja Soppeng Riaja (sekarang salah satu
kecamatan di wilayah kabupaten Barru, Sul-Sel). Tiga tahun kemudian, beliau
mendinkan tiga buah masjid dalam wilayah kekuasaannya, salah satunya berada di Mangkoso
sebagai ibukota kerajaan.
Namun masjid tersebut kurang
berisi jamaah karena rendahnya pengetahuan dari pemahaman masyarakat terhadap
ajaran islam. Untuk mencari solusi, diadakan pertemuan di Saoraja (rumah
besar/kediaman raja) Mangkoso. Pertemuan itu meyepakati untuk membuka lembaga
pendidikan dengan meminta kepada Anregurutta H. Muhammad As'ad, seorang ulama
yang memimpin madrasah/MAI di Sengkang Wajo agar mengirim seorang muridnya,
yaitu Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk mengelola lembaga pendidikan
(Bugis: angngajiang) yang akan dibuka di Mangkoso.
Rabu 29 Syawal 1357 H atau 21
Desember 1938, Anrgurnutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle resmi membuka pesantren di
Masjid Jami Mangkoso dengan sistem halaqah (Bugis: mangaji tudang). Kemudian
pada tanggal 20 Zulkaidah 1357 H atau 11 Januari 1939 dibuka tingkatan
Tahdiriyah, Ibtidaiyah, I'dadiyah, dan Tsanawiyah. Pesantren tersebut diberi
nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso. Dalam perkembangannya, MAI
membuka cabang di berbagai daerah, misalnya di Pangkep, Soppeng, Wajo, Sidrap,
Majene, dan berbagai daerah lainnya.
Tahun 1947, Alim Ulama Ahlussunnah
Wal Jama'ah se-Sulawesi Selatan bermusyawarah untuk membahas tentang perlunya
dibentuk suatu organisasi guna meningkatkan fungsi dan peranan MAI Mangkoso,
maka muncullah beberapa usul tertang nama bagi organisasi yang dibentuk ini.
Antara lain usul dan KH. Muh. Abduh pe Pabbadjah نصر الØÙ‚ (Nashr al-Haqq),
dari Ustadz H. Muh. Thahir Usman mengusulkan nama العروة الوثقى (al-Urwah al-Wutsqa)
sementara Syekh Abd. Rahman Firdaus mengusulkan nama دار الدعوة والاِرشاد (Darul Da'wah Wal
Irsyad). Setelah dimusyawarahkan, maka yang disepakati secara bulat adalah nama
“Darul Da'wah Wal Irsyad”.
Menurut Syekh Abd. Rahman
Firdaus, pemberian nama demikian adalah merupakan tafa'ul dalam rangka
menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian Dar (دار) = Rumah, artinya tempat atau sentral penyiaran,
Da'wah (دعوة) = Ajakan, artinya
panggilan memasuki rumah tersebut, al-Irsyad (الاِرشاد) = Petunjuk, artinya petunjuk itu akan
didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul
pendidikan melalui sarana pesantren/madrasah.
Berdasarkan pada argumen yang
disebut di atas, maka Darul Da'wah Wal Irsyad pada hakikatnya adalah suatu
organisasi yang mengambil peran dalam fungsi mengajak manusia ke jalan yang
benar dan membimbingnya menunut ajaran islam ke arah kebaikan dan mendapatkan
keselamatan dunia akhirat.
Demi terwujudnya organisasi ini
hingga program-programnya dapat segera terlaksana, maka peserta Alim Ulama
mengamanahkan kepada Anregurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle selalu pimpinan MAI
Mangkoso urmak mengambil prakarsa seperlunya.
Segera beliau menjalankan amanah
yang diembannya ini dengan mengundang seluruh guru MAI Mangkoso beserta utusan
cabang-cabang MAI Mangkoso dan daerah-daerah agar segera datang ke Mangkoso
untuk menghadiri musyawarah yang akan diadakan pada bulan Sya'ban 1336 H (1947
M). Musyawarah ini diadakan untuk menyusun program yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan yang telah disepakati dalam musyawarah di Watan Soppeng
beberapa waktu sebelumnya. Berdasarkan musyawarah tersebut, maka diketahuilah
bahwa pada asasnya MAI Mangkoso adalah cikal bakal berdirinya sebuah organisasi
yang sampai kini dikenal dengan nama DDI.
Dilihat dari sudut Historis
Sosiologis, MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu 20 Zulkaidah 1357 H atau 11
Januari 1938 merupakan elemen dasar lahirnya suatu wadah yang ditunjang dengan
suatu idealisme yang dalam pengembangannya berwujud organisasi DDI. Atas
Paradigma inilah, jelas pula posisi musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal
Jam'ah yang diselenggarakan pada hari Jum'at 16 Rabiul Awal 1366 H atau yang
bertetapan dengan 17 Februari 1947 di Watan Soppeng suatu forum untuk menumukan
usaha untuk mengembangkan potensi umat dengan membenahi dan meningkatkan
peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat, dengan
konsekuensi diintergrasikannya MAI Mangkoso menjadi organisasi Darul Da'wah Wal
Irsyad (DDI).
Pengintegrasian itu sendiri harus
diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan struktural dan operasional
dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata, menjadi organisasi yang bersifat
kemasyarakatan yang lapangan geraknya mengambil peranan dalam bidang
pendidikan, dakwah dan usaha-usaha sosial.
Perkembangan Dan Sepak Terjang DDI
Sejak dikukuhkannya menjadi
organisasi, peran DDI sebagai organisasi, dan peran DDI sebagai lembaga
pendidikan dan syiar agama Islam sangat signifikan. Terbukti dengan permohonan
untuk mendirikan cabang dari berbagai daerah kian banyak.
Sementara dalam perkembangannya,
pola penyebaran DDI ke berbagai daerah di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan migrasi (diaspora) orang-orang bugis ke berbagai daerah. Itulah sebabnya
Anregurutta Ambo Dalle pemah berkata, "Di mana ada orang Bugis, disitu ada
DDI".
Pola penyebaran DDI pada umumnya
dialami oleh madrasah atau pesantren cabang DDI di berbagai daerah. Itulah
sebabnya, DDI berkembang di daerah-daerah yang banyak terkosentrasi pada
orang-orang Bugis. Seperti Balikpapan, Tarakan, Bontang, Kutai, di Kalimantan,
Riau, Batam, Jambi di Sumatra, Palu, Donggala, Toli-toli di Sulawesi Tengah,
dan hampir semua kabupaten di Papua Timur dan Papua Barat.
Namun bukan berarti bahwa DDI
hanya bisa berkembang di tangan-tangan orang Bugis atau DDI hanya milik orang
Bugis. Di beberapa tempat seperti Flores dan Kendari, DDI juga dibangun dan
dikembangkan oleh penduduk lokal atau perantau dari suku lain, perantau dari
Bugis hanya merintis dan memperkenalkan.
Eksitensi DDI yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia membuktikan konsitensi DDI dalam membina umat, yang
memadukan kedalaman ilmu, keluasan wawasan keagamaan, maupun kebangsaan, dan
berhiaskan akhlakul karimah.
Santri DDI berdaya saing
marketable, sehingga memiliki kapabilitas untuk melanjutkan ke berbagai
perguruan tinggi agama dan umum, negeri atau swasta, di Indonesia maupun di
luar Negri termasuk di Negri Kinanah ini.
Khusus di Mesir, beragam prestasi
telah ditorehkan alumnus DDI. Di bidang akedemik, beberapa waktu lalu hingga
sekarang alumnus DDI berhasil menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar baik
dalam program License, Master, bahkan program Doktoral. Tidak hanya di bidang
akademik saja, akan tetapi alumnus DDI juga menorehkan prestasi di bidang non
akademik seperti juara 1 Lomba Futsal se-Almamater di kalangan Masisir yang
berjumlah 24 Almamater pada 2017 lalu. Dan kembali meraih juara 2 Lomba Futsal
se-Almamater di kalangan Masisir yang terdiri dari 16 Almamater pada 2018 lalu.
Disamping itu IADI (Ikatan Alumni DDI) juga pernah dinobatkan sebagai almamater
terbaik se-Masisir pada tahun 2012/2013.
Layaknya seorang ibu, DDI kini
telah melahirkan ribuan bahkan puluhan ribu anak, dengan beragam spesialis dan
profesi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, maupun diluar Negeri.
Dengan tetap menjaga karakteristik anak DDI: Keikhlasan, Kedisiplinan, Teguh
dalam pendirian, Kemandirian dan Kesederhanaan.
“Berikanlah
aku ilmu. Jadikan ilmuku berberkah dan siapapun yang menuntut ilmu di sini
(Pesantren DDI) dengan hati yang ikhlas akan mendapatkan keberkahan ilmu itu,
dan aku minta agar tujuh generasiku menjadi ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.” (Doa
AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle saat didatangi Lailatul Kadar pada tanggal 9
November 1358 di Masjid Jami Addariyah Mangkoso, Barru).
ADDARIYAH
EDISI 57, 20 APRIL 2019
Posting Komentar