Oleh: Muh. Mahfud Agum
Pemikiran Islam sejatinya memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi tonggak evolusi dalam ranah sosial maupun intelektual. Sejak periode klasik, dimana masa kejayaan Islam diraih, para tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, dan Al-Khawarizmi telah mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi peradaban. Namun, seiring perkembangan zaman, muncul suatu fenomena yang membelenggu atau memasung pemikiran Islam.
Pasung pemikiran Islam ini biasanya muncul dalam bentuk fanatisme dalam suatu pendapat tertentu tanpa adanya rem, sehingga dapat membuat orang terjerumus dalam tindakan-tindakan yang ekstrim. Hal seperti ini tidak sejalan dengan ajaran dari Rasulullah Saw. yang mengajarkan kita bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat bagi umat Islam, dan para ulama juga melarang fanatisme buta.
Kasus nyata yang terjadi akibat fanatisme ekstrim telah banyak terjadi di Indonesia, seperti kasus di Kota Medan pada tahun 2019, dimana terjadi bom bunuh diri di depan markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, juga kasus Gereja Katedral Makassar tahun 2021, saat dua pelaku melakukan bom bunuh diri di luar KatedralHati Kudus.
Ini menunjukkan bahwa fanatisme ekstrim sebagai salah satu bentuk pasung pemikiran Islam adalah polemik yang sangat berbahaya, itu dikarenakan seseorang yang bersikap fanatik cenderung sulit berpikir kritis atau objektif tentang suatu hal dan tak jarang bertindak di luar batas. Ajaran Islam sendiri tidak membenarkan adanya kekangan yang membelenggu akal dan membatasi nalar, sebaliknya Islam menegaskan pentingnya menuntut ilmu dengan memaksimalkan akal serta daya kritisnya.
Bahkan, Allah SWT pun menyinggung hal ini di dalam firmannya yang berbunyi: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”(QS. Ali Imran: 190).
Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, beliau menjelaskan bahwa ayat-ayat diatas merupakan sebuah dorongan agar umat Islam tidak membatasi agama hanya pada ritual, tetapi menjadikannya jalan berpikir dan berilmu agar menghindarkan manusia dari sikap jumud (beku/kaku dalam berpikir) dan ghuluw (berlebihan dalam keyakinan).
Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa ayat ini menegasakan bahwa berfikir kritis dan analitis bukanlah sesuatu yang perlu dibatasi, bahkan menjadi tuntutan bagi setiap Muslim untuk berpikir dan memaksimalkan akalnya bukan hanya menerima informasi secara pasif agar tidak mudah terpengaruh dengan doktrin negatif.
Contoh yang paling nyata, dikutip dari indoprogress.com, pada tahun 2013, terdapat kasus di UIN Sultan Syarif Kasim (Suska), Pekanbaru, dimana Ulil Abshar Abdalla -seorang intelektual Islam- dicekal sebagai pembicara di kampus karena ada tekanan dari sekelompok orang yang tidak menyetujui pemikirannya. Kasus ini menunjukkan adanya pembatasan terhadap kebebasan akademik, kampus yang harusnya sebagai ruang untuk dialog justru tunduk kepada tekanan pihak luar agar membungkam pemikiran yang berbeda.
Menghubungkan dari data dan dalil yang telah dipaparkan di atas, kita dapat melihat bahwa hal-hal yang memasung dan membelenggu pemikiran Islam sangat bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri di segi Ilmu dan kebebasan berfikir. Selanjutnya ,efek pasung pemikiran Islam ini sangat meresahkan karena menghambat inovasi keilmuan dan kemajuan Islam.
Hal ini bisa menyebabkan stagnasi intelektual, dimana umat Islam terjebak dalam mode penerimaan mutlak tanpa berkaca terhadap perkembangan zaman. Padahal sejarah Islam menunjukkan bahwa masa keemasan dicapai ketika pemikir Islam bebas dalam bereksplorasi, berpikir kritis, melakukan ijtihad dan dialog ilmiah.
Lalu muncul sebuah pertanyaan, bagaimana cara kita untuk menyikapi fenomena di atas? kita sebagai umat Islam hendaknya bersikap tawassuth (moderat). Tawassuth menurut Kiai Said Aqil Siradj adalah menggabungkan penggunaan dalil teks (naqli) dan dalil rasional dalam menyikapi persoalan kontekstual, sehingga kita tidak serta merta memahami konteks ayat maupun hadis hanya tekstual maupun rasional saja. Dan tak lupa pula pentingnya peran pendidikan agama Islam dalam memperkuat sikap moderat dalam beragama atau biasa kita kenal dengan moderasi beragama.
Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh M. Ikhwan, Azhar, Dedi Wahyudi, dan Afif Alfiyanto mengungkap bahwa Pendidikan Agama Islam mampu mempromosikan moderasi beragama ke arah toleransi, anti kekerasan, dan lebih akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Artinya, lewat pendidikan, sikap moderat bisa dibentuk dan ditanamkan sejak dini agar fanatisme dan interpretasi keagamaan yang sempit dapat diantisipasi.
Dengan demikian, menyikapi fenomena pasung pemikiran Islam menuntut tindakan kolektif: umat Islam juga harus aktif membangun ruang dialog yang sehat dan baik antar individu, antar kelompok Islam bahkan antar pemeluk agama yang lainnya. Di sisi lain, Kita juga perlu membumikan prinsip-prinsip syariah Islam yang menegaskan toleransi, sikap saling menghargai, serta menghormati ijtihad dan pandangan orang lain sebagai warisan intelektual Islam. Dengan cara itulah, Islam tidak menjadi sempit dalam interpretasi atau fanatisme, tetapi tetap hidup sebagai ajaran rahmatan lil’alamin yang menghormati keberagaman baik internal maupun eksternal dalam bingkai akidah yang kokoh dan akhlak yang luhur.

Posting Komentar