BREAKING NEWS

Minggu, 13 April 2025

Don’t Judge Book By It’s A Cover Ala Rasulullah SAW; Paradoks Antara Estetika Dan Kesederhaan


Oleh: Muhammad Fadhli

“Don’t judge book by its cover” adalah ungkapan dalam bahasa Inggris yang sering kali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat tersebut telah menjadi istilah yang acap kali digunakan oleh masyarakat untuk mengingatkan bahwa cover atau penampilan luar tidak dapat menjadi sebuah tolak ukur, yang menjadikan bahwa penampilan tidak dapat menentukan atau menggambarkan isi dari sesuatu.

Penggunaan istilah Don’t judge by its cover digunakan ketika sesuatu tersebut dipandang sebelah mata oleh seseorang, lantas mucullah pembelaan diri dari yang diremehkan “jangan memandang hanya dari luarnya saja”. Sebagai contoh di zaman yang serba canggih ini, ketika kita melihat perawakan seorang yang memakai tato, kita akan dengan cepat menilai bahwa orang tersebut memiliki watak yang keras dan kasar, padahal setelah kita mengenalnya lebih dalam, dia adalah sosok dengan kepribadian yang lemah lembut.

Ada beberapa pendapat terkait pertama kalinya istilah tersebut muncul, salah satunya adalah yang ditulis oleh George Elloot yang mengatakan bahwa penggunaan frasa tersebut muncul pertama kali pada 4 april 1860 ketika ia menulis karyanya sebanyak tiga jilid dengan judul, The Mill on the Floss. Dan Tulliver juga menggunakan frasa tersebut ketika membahas The history of the devil karya Daniel Defoe, dan mengatakan betapa indahnya jilid buku tersebut.

Kemudian frasa tersebut kembali muncul ketika digunakan lagi di tahun 1944, yang diterbitkan oleh The African journal american speech ”You can’t judge a book by its binding”. Dan kembali menjadi populer dalam misteri pembunuhan tahun 1946, murder in the glass room, “you can never tell a book by its cover”. Kemudian ungkapan tersebut tetap eksis hingga sekarang ini.

Di sisi lain, kita sendiri sebagai umat muslim mengenal ajaran Rasulullah terkait menjaga estetika.  Banyak riwayat yang diceritakan dan ditulis oleh ulama kita terkait ajaran tersebut, dikisahkan secara mutawatir hingga sekarang ini, tentang bagaimana sifat Allah SWT. yang Maha indah dan bagaimana nabi Muhammad SAW. mengajarkan kita untuk selalu menjaga penampilan dengan rapi, bersih dan indah. Salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh muslim dari ibnu mas’ud RA., tentang Allah SWT. Sang Maha Indah dan mencintai keindahan. Rasulullah SAW bersabda “innallah jamilun yuhibbul jamal”   “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.”

Lantas bagaimana sebenarnya nabi muhammad SAW. memandang dan menyikapi istilah di atas, bukankah anjuran beliau yang mengedepankan estetika, kerapian serta keserasian pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam berpakaian terksesan bertolak belakang dengan konsep penilaian don’t judge a boot by its cover yang banyak digandrungi oleh orang-orang sekarang.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu mengkaji kembali kepribadian Nabi yang bersinggungan langsung dengan frasa ini. Dikisahkan dalam kitab syarah hikam yang berjudul  Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam karangan Al imam Ibnu Ajibah Al-Hasani yang diambil dari kutipan hadis, bahwa Nabi hendak menguji sahabatnya, Aqra. Beliau menanyakan tentang orang miskin yang lewat di hadapannya, lalu Aqra menjawab, “Wahai Rasulullah SAW., bahwa menurut saya dia adalah lelaki muslim yang miskin. Jika dia berbicara maka tidak ada yang mendengarnya dan jika dia melamar perempuan maka tidak ada yang menerima lamarannya dan jika dia isti’dzan meminta sesuatu, pasti dia tidak mendapatkan apa yang dia minta" Mendengar jawaban Aqra, Nabi pun terdiam.

Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, nabi muhammad SAW. Berkomentar bahwa orang yang dia katakan sebagai orang yang miskin dan melarat tersebut adalah orang yang sangat luar biasa kebaikannya disisi Allah SWT. Jika orang tersebut bersumpah dengan nama Allah SWT, maka Allah SWT akan mengabulkan apa sumpahnya. Salah seorang ulama mengomentari kisah diatas, bahwa kita tidak boleh dengan mudah menilai seseorang melalui penampilan yang orang lain kenakan.

Dari kisah diatas, kita dapat mengambil sebuah pelajaran untuk tidak terlalu cepat menilai seseorang berdasarkan penampilannya saja, berdasarkan apa yang tampak secara lahiriahnya saja, Dimana hal ini sebenarnya sejalan dengan frasa di atas.

Namun bukan berarti kita boleh untuk menyepelekan dan tidak memedulikan penampilan luar yang kita kenakan. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW justru selalu mengajarkan dan menganjurkan kepada kita umatnya untuk selalu mengedepankan estetika pada penampilan, kerapian serta keserasian pada hal-hal yang bersifat lahiriah utamanya dalam berpakaian.

Ada begitu banyak firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk selalu memerhatikan nilai-nilai pada penampilan yang dikenakannya. Begitu juga dengan  hadis-hadis Nabi yang menganjurkan umatnya untuk selalu berpakaian dengan rapi, indah dan serasi, dalam kehidupan sehari-hari.

Nabi Muhammad SAW. memberikan kita contoh dengan mempraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-harinya, pada masalah estetika dalam menjaga penampilan lahiriah, utamanya dalam berpakaian. Beliau dalam sabdanya selalu memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk memperhatikan penampilan yang mereka kenakan.

Dalam sebuah Riwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari no.5476 dan Muslim no. 2079, Anas bin Malik berkata:  كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَة

Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah SAW. Adalah hibarah.”                                          

Ibnu Bathol mengomentari hadis diatas, berkata bahwa “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn” dan Al-Qurtubhi berkata tentang pakain hibaroh ini  sebagai berikut “Dinamakan hibaroh karena pakaian tersebutتحبرة   yaitu menghias dan mengindahkan.”

Dalam sebuah Riwayat, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW. Bertanya kepada sahabat “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu)”. Maka Rasullah SAW. berkata kepadanya

فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ

“Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu”

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong diri) serta tidak sampai pada derajat pemborosan.”

Kemudian para sahabat melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk tampil dengan rapi dan bersih, karena tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan merupakan aspek yang pertama kali dinilai oleh orang lain. Kini, tampil rapi dan menarik tidak lagi diartikan sebagai sebuah kesombongan. Namun menjadi anjuran bahkan suatu keharusan, terutama bagi seseorang yang memiliki kharisma dan posisi penting dalam masyarakat, demi menjaga kehormatan dan wibawanya di hadapan masyarakat.

Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, salah seorang dosen universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, memaparkan secara  secara gamblang melalui kisah Ibnu Abbas dan Khawarij,  tentang bagaimana penampilan begitu sangat berperan penting dalam mempengaruhi psikologis lawan debatnya sehingga mampu secara tidak langsung memengaruhi pemikiran kaum Khawarij.

Beliau menjelaskan secara jelas, Ketika Ibnu Abbas RA diperintahkan oleh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Talib untuk mengunjungi kaum Khawarij guna membahas beberapa permasalahan yang berselisih paham, beliau mendatangi mereka dengan mengenakan jubah terbaik (terbuat dari yaman). Abu Zumail berkata: “Ibnu Abbas adalah orang yang berwajah tampan dan berpenampilan rapi”. Tatkala kaum Khawarij melihatnya, mereka berkata: “Selamat datang, selamat datang kepada Ibnu Abbas, mengapa anda memakai jubah seperti ini?”. Beliau menjawab; “Mengapa kalian mengingkarinya, padahal aku telah melihat Rasulullah SAW. berpenampilan seperti ini?. Kemudian beliau melanjutkan dengan membaca ayat: “Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga rezeki-rezeki yang baik (halal)”. (QS al-A’raaf:32).

Dari pemaparan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, Ibnu Abbas RA memulai diskusi dengan sangat baik. Pertama-tama ia memakai jubah yang terbaik buatan Yaman. Beliau ingin menarik perhatian mereka dan menggerakkan akal pikiran kaum Khawarij, untuk menyadarkan, bahwa mereka telah meninggalkan sunah-sunah estetika dan etika yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Padahal hal tersebut sangat membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqasid syariah yang beliau maksudkan.

Berdasarkan kisah di atas, kita dapat melihat bagaimana penampilan bisa menjadi sebuah aspek penting yang perlu diperhatikan. bahwa tidak dapat dipungkiri, pakaian dapat menentukan penilaian orang lain terhadap hal yang kita sampaikan, sehingga apa yang kita sampaikan, dengan aspek psikologis yang dihasilkan dari penampilan, dapat membuat pendengar yakin dengan apa yang kita sampaikan.

Secara lebih mendalam, kita dapat mengatakan bagaimana pakaian dapat menentukan nilai dari orang yang mengenakannya. begitupun sebaliknya, seseorang juga dapat menentukan penilaian orang lain terhadap dirinya berdasarkan pada penampilan yang akan dikenakannya. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa betapa pentingnya tampak lahiriah dalam memberikan kesan dan penilaian dari masyarakat.

Lebih lanjut, Dr. Usamah Sayyid al-Azhary mengomentari tentang orang yang tidak memiliki estetika pada penampilan. Beliau menambahkan bahwa pada saat seseorang kehilangan atau tidak memiliki rasa estetika, kerapian dan keharmonian pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam pakaian, maka secara perlahan hal itu juga akan hilang dari metode berpikirnya. Sehingga, ia akan menghasilkan pemikiran yang tidak sesuai, tidak teratur dan kehilangan spirit yang ada di dalam syariat dan maqashid-nya. Dengan demikian ia akan memberikan sebuah perspektif yang keliru kepada masyarakat.

Sayangnya, kesalahpahaman terkait frasa don’t judge a book by its cover ini tak jarang menjadi paradoks yang menjadikan orang-orang menganggap bahwa penampilan bukanlah suatu hal yang mesti diperhatikan. Menjadikan frasa tersebut sebagai dalih, banyak orang mulai meninggalkan keelokan, bahkan kerapian penampilan.yang sebenarnya mereka sanggup untuk aplikasikan. Padahal jika ditilik lebih dalam, syariat justru sangat menganjurkannya.

Contoh kecilnya bisa kita ambil dari kisah kaum Khawarij tadi, yang secara tidak sadar menjadikan akal pikiran mereka untuk mencari lebih jauh, yang tanpa mereka sadari bahwa Ibnu Abbas telah berhasil membuat mereka sadar bahwasanya mereka telah keluar, menyimpang dan sesat. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang benar dan sesuai dengan syariat padahal mereka tidak paham pada persoalan-persoalan remeh seperti nilai estetika penampilan.

Hal ini benar-benar terjadi pada sebagian kelompok di zaman kita saat ini. Mereka tetap berpenampilan buruk, kusut dan tidak enak dipandang di tengah masyarakat, dan mereka mengira telah mengikuti dan mempraktikkan sunah Nabi Muhammad SAW. sehingga tanpa diragukan lagi, itu sangat berdampak pada penilaian masyarakat kepada mereka, khususnya ketika menjalankan syariat agama.

Dari hal-hal tersebut, dapat kita mengambil pelajaran dan menarik kesimpulan bahwasanya Nabi kita, Muhammad SAW. adalah pribadi yang selalu mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu cepat menilai orang lain hanya berdasarkan penampilan lahiriahnya saja, semua itu dengan tetap beliau juga memerintahkan dan mencontohkan umatnya untuk selalu memperhatikan penampilan mereka.

Karena bagaimanapun juga, tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan merupakan penentu pertama dari penilaian orang ketika bertemu, dan mempunyai nilai-nilai estetika dan etika dalam penampilan sangat membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqashid syariah, sehingga dapat membantu masyarakat dalam memberikan perspektif yang tepat dalam sebuah masalah.

Dengan demikian, semestinya publik khususnya umat muslim harus selalu untuk berusaha mengenakan pakaian yang rapi, bersih dan indah. Dengan mengikuti sunah dan aturan yang telah dicontohkan oleh nabi muhammad SAW. Sehingga umat islam tidak berpatok hanya pada ungkapan don’t judge book by its cover yang telah menjadi acuan mereka ketika memperhatikan orang lain, tetapi juga tetap mengamalkan nilai estetika dalam berpakaian seperti yang disunahkan yang Nabi Muhammad SAW.

 

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes