“Don’t judge book
by its cover” adalah ungkapan
dalam bahasa Inggris yang sering kali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Kalimat tersebut telah menjadi istilah yang acap kali digunakan oleh masyarakat
untuk mengingatkan bahwa cover atau penampilan
luar tidak dapat menjadi sebuah tolak ukur, yang menjadikan bahwa penampilan
tidak dapat menentukan atau menggambarkan isi dari sesuatu.
Penggunaan istilah Don’t judge by its
cover digunakan ketika sesuatu tersebut dipandang sebelah mata oleh seseorang,
lantas mucullah pembelaan diri dari yang diremehkan “jangan memandang hanya
dari luarnya saja”. Sebagai contoh di zaman yang serba canggih ini, ketika kita
melihat perawakan seorang yang memakai tato, kita akan dengan cepat menilai
bahwa orang tersebut memiliki watak yang keras dan kasar, padahal setelah kita
mengenalnya lebih dalam, dia adalah sosok dengan kepribadian yang lemah lembut.
Ada beberapa pendapat terkait pertama
kalinya istilah tersebut muncul, salah satunya adalah yang ditulis oleh George
Elloot yang mengatakan bahwa penggunaan frasa tersebut muncul pertama kali pada
4 april 1860 ketika ia menulis karyanya sebanyak tiga jilid dengan judul, The
Mill on the Floss. Dan Tulliver juga menggunakan frasa tersebut ketika
membahas The history of the devil karya Daniel Defoe, dan mengatakan
betapa indahnya jilid buku tersebut.
Kemudian frasa tersebut kembali muncul ketika
digunakan lagi di tahun 1944, yang diterbitkan oleh The African journal
american speech ”You can’t judge a book by its binding”. Dan kembali menjadi
populer dalam misteri pembunuhan tahun 1946, murder in the glass room, “you
can never tell a book by its cover”. Kemudian ungkapan tersebut tetap eksis
hingga sekarang ini.
Di sisi lain, kita sendiri sebagai umat
muslim mengenal ajaran Rasulullah terkait menjaga estetika. Banyak riwayat yang diceritakan dan ditulis
oleh ulama kita terkait ajaran tersebut, dikisahkan secara mutawatir hingga
sekarang ini, tentang bagaimana sifat Allah SWT. yang Maha indah dan bagaimana
nabi Muhammad SAW. mengajarkan kita untuk selalu menjaga penampilan dengan
rapi, bersih dan indah. Salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh muslim dari
ibnu mas’ud RA., tentang Allah SWT. Sang Maha Indah dan mencintai keindahan.
Rasulullah SAW bersabda “innallah jamilun yuhibbul jamal” “Sesungguhnya Allah Maha Indah
dan mencintai keindahan.”
Lantas bagaimana sebenarnya nabi muhammad
SAW. memandang dan menyikapi istilah di atas, bukankah anjuran beliau yang
mengedepankan estetika, kerapian serta keserasian pada hal-hal yang bersifat lahiriah
dalam berpakaian terksesan bertolak belakang dengan konsep penilaian don’t
judge a boot by its cover yang banyak digandrungi oleh orang-orang sekarang.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu mengkaji
kembali kepribadian Nabi yang bersinggungan langsung dengan frasa ini. Dikisahkan
dalam kitab syarah hikam yang berjudul Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam karangan Al
imam Ibnu Ajibah Al-Hasani yang diambil dari kutipan hadis, bahwa Nabi hendak
menguji sahabatnya, Aqra. Beliau menanyakan tentang orang miskin yang lewat di hadapannya,
lalu Aqra menjawab, “Wahai Rasulullah SAW., bahwa menurut saya dia adalah lelaki
muslim yang miskin. Jika dia berbicara maka tidak ada yang mendengarnya dan
jika dia melamar perempuan maka tidak ada yang menerima lamarannya dan jika dia
isti’dzan meminta sesuatu, pasti dia tidak mendapatkan apa yang dia
minta" Mendengar jawaban Aqra, Nabi pun terdiam.
Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya,
nabi muhammad SAW. Berkomentar bahwa orang yang dia katakan sebagai orang yang miskin
dan melarat tersebut adalah orang yang sangat luar biasa kebaikannya disisi
Allah SWT. Jika orang tersebut bersumpah dengan nama Allah SWT, maka Allah SWT akan mengabulkan apa sumpahnya. Salah seorang ulama mengomentari kisah diatas,
bahwa kita tidak boleh dengan mudah menilai seseorang melalui penampilan yang orang
lain kenakan.
Dari kisah diatas, kita dapat mengambil
sebuah pelajaran untuk tidak terlalu cepat menilai seseorang berdasarkan
penampilannya saja, berdasarkan apa yang tampak secara lahiriahnya saja, Dimana
hal ini sebenarnya sejalan dengan frasa di atas.
Namun bukan berarti kita boleh untuk menyepelekan
dan tidak memedulikan penampilan luar yang kita kenakan. Sebaliknya, Nabi Muhammad
SAW justru selalu mengajarkan dan menganjurkan kepada kita umatnya untuk selalu
mengedepankan estetika pada penampilan, kerapian serta keserasian pada hal-hal
yang bersifat lahiriah utamanya dalam berpakaian.
Ada begitu banyak firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an
yang memerintahkan manusia untuk selalu memerhatikan nilai-nilai pada
penampilan yang dikenakannya. Begitu juga dengan hadis-hadis Nabi yang menganjurkan umatnya
untuk selalu berpakaian dengan rapi, indah dan serasi, dalam kehidupan
sehari-hari.
Nabi Muhammad SAW. memberikan kita contoh
dengan mempraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-harinya, pada
masalah estetika dalam menjaga penampilan lahiriah, utamanya dalam berpakaian. Beliau
dalam sabdanya selalu memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk memperhatikan
penampilan yang mereka kenakan.
Dalam sebuah Riwayatkan dalam Sahih
Al-Bukhari no.5476 dan Muslim no. 2079, Anas bin Malik berkata: كَانَ
أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَة
“Pakaian yang paling senang dipakai oleh
Rasulullah SAW. Adalah hibarah.”
Ibnu Bathol mengomentari hadis diatas,
berkata bahwa “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain
Quthn” dan Al-Qurtubhi berkata tentang pakain hibaroh ini sebagai berikut “Dinamakan hibaroh karena
pakaian tersebutتحبرة yaitu menghias dan
mengindahkan.”
Dalam sebuah Riwayat, dikisahkan bahwa Nabi
Muhammad SAW. Bertanya kepada sahabat “Apakah engkau memiliki harta?”, orang
itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang
dikenal saat itu)”. Maka Rasullah SAW. berkata kepadanya
فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ
“Jika Allah memberikan harta kepadamu
maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu”
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu
hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang
indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk
meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk
bersombong diri) serta tidak sampai pada derajat pemborosan.”
Kemudian para sahabat melakukan apa yang
diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk tampil dengan rapi dan bersih,
karena tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan merupakan aspek yang pertama
kali dinilai oleh orang lain. Kini, tampil rapi dan menarik tidak lagi
diartikan sebagai sebuah kesombongan. Namun menjadi anjuran bahkan suatu
keharusan, terutama bagi seseorang yang memiliki kharisma dan posisi penting
dalam masyarakat, demi menjaga kehormatan dan wibawanya di hadapan masyarakat.
Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, salah seorang
dosen universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, memaparkan secara secara gamblang melalui kisah Ibnu Abbas dan
Khawarij, tentang bagaimana penampilan
begitu sangat berperan penting dalam mempengaruhi psikologis lawan debatnya sehingga
mampu secara tidak langsung memengaruhi pemikiran kaum Khawarij.
Beliau menjelaskan secara jelas, Ketika Ibnu
Abbas RA diperintahkan oleh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Talib untuk mengunjungi
kaum Khawarij guna membahas beberapa permasalahan yang berselisih paham, beliau
mendatangi mereka dengan mengenakan jubah terbaik (terbuat dari yaman). Abu Zumail
berkata: “Ibnu Abbas adalah orang yang berwajah tampan dan berpenampilan rapi”.
Tatkala kaum Khawarij melihatnya, mereka berkata: “Selamat datang, selamat datang
kepada Ibnu Abbas, mengapa anda memakai jubah seperti ini?”. Beliau menjawab; “Mengapa
kalian mengingkarinya, padahal aku telah melihat Rasulullah SAW. berpenampilan
seperti ini?. Kemudian beliau melanjutkan dengan membaca ayat: “Siapakah
yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya
dan begitu juga rezeki-rezeki yang baik (halal)”. (QS al-A’raaf:32).
Dari pemaparan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary,
Ibnu Abbas RA memulai diskusi dengan sangat baik. Pertama-tama ia memakai jubah
yang terbaik buatan Yaman. Beliau ingin menarik perhatian mereka dan
menggerakkan akal pikiran kaum Khawarij, untuk menyadarkan, bahwa mereka telah
meninggalkan sunah-sunah estetika dan etika yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
Padahal hal tersebut sangat membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqasid
syariah yang beliau maksudkan.
Berdasarkan kisah di atas, kita dapat
melihat bagaimana penampilan bisa menjadi sebuah aspek penting yang perlu
diperhatikan. bahwa tidak dapat dipungkiri, pakaian dapat menentukan penilaian
orang lain terhadap hal yang kita sampaikan, sehingga apa yang kita sampaikan, dengan
aspek psikologis yang dihasilkan dari penampilan, dapat membuat pendengar yakin
dengan apa yang kita sampaikan.
Secara lebih mendalam, kita dapat
mengatakan bagaimana pakaian dapat menentukan nilai dari orang yang
mengenakannya. begitupun sebaliknya, seseorang juga dapat menentukan penilaian
orang lain terhadap dirinya berdasarkan pada penampilan yang akan dikenakannya.
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa betapa pentingnya tampak lahiriah dalam
memberikan kesan dan penilaian dari masyarakat.
Lebih lanjut, Dr. Usamah Sayyid al-Azhary mengomentari
tentang orang yang tidak memiliki estetika pada penampilan. Beliau menambahkan
bahwa pada saat seseorang kehilangan atau tidak memiliki rasa estetika,
kerapian dan keharmonian pada hal-hal yang bersifat lahiriah dalam pakaian,
maka secara perlahan hal itu juga akan hilang dari metode berpikirnya. Sehingga,
ia akan menghasilkan pemikiran yang tidak sesuai, tidak teratur dan kehilangan
spirit yang ada di dalam syariat dan maqashid-nya. Dengan demikian ia
akan memberikan sebuah perspektif yang keliru kepada masyarakat.
Sayangnya, kesalahpahaman terkait frasa don’t
judge a book by its cover ini tak jarang menjadi paradoks yang menjadikan
orang-orang menganggap bahwa penampilan bukanlah suatu hal yang mesti
diperhatikan. Menjadikan frasa tersebut sebagai dalih, banyak orang mulai
meninggalkan keelokan, bahkan kerapian penampilan.yang sebenarnya mereka sanggup
untuk aplikasikan. Padahal jika ditilik lebih dalam, syariat justru sangat
menganjurkannya.
Contoh kecilnya bisa kita ambil dari kisah
kaum Khawarij tadi, yang secara tidak sadar menjadikan akal pikiran mereka
untuk mencari lebih jauh, yang tanpa mereka sadari bahwa Ibnu Abbas telah
berhasil membuat mereka sadar bahwasanya mereka telah keluar, menyimpang dan
sesat. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang benar dan sesuai
dengan syariat padahal mereka tidak paham pada persoalan-persoalan remeh
seperti nilai estetika penampilan.
Hal ini benar-benar terjadi pada sebagian
kelompok di zaman kita saat ini. Mereka tetap berpenampilan buruk, kusut dan
tidak enak dipandang di tengah masyarakat, dan mereka mengira telah mengikuti dan
mempraktikkan sunah Nabi Muhammad SAW. sehingga tanpa diragukan lagi, itu
sangat berdampak pada penilaian masyarakat kepada mereka, khususnya ketika
menjalankan syariat agama.
Dari hal-hal tersebut, dapat kita mengambil
pelajaran dan menarik kesimpulan bahwasanya Nabi kita, Muhammad SAW. adalah
pribadi yang selalu mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu cepat menilai
orang lain hanya berdasarkan penampilan lahiriahnya saja, semua itu dengan tetap
beliau juga memerintahkan dan mencontohkan umatnya untuk selalu memperhatikan
penampilan mereka.
Karena bagaimanapun juga, tidak dapat
dipungkiri bahwa penampilan merupakan penentu pertama dari penilaian orang
ketika bertemu, dan mempunyai nilai-nilai estetika dan etika dalam penampilan sangat
membantu dalam memahami hukum, fikih dan maqashid syariah, sehingga
dapat membantu masyarakat dalam memberikan perspektif yang tepat dalam sebuah masalah.
Dengan demikian, semestinya publik khususnya umat muslim harus selalu untuk berusaha mengenakan pakaian yang rapi, bersih dan indah. Dengan mengikuti sunah dan aturan yang telah dicontohkan oleh nabi muhammad SAW. Sehingga umat islam tidak berpatok hanya pada ungkapan don’t judge book by its cover yang telah menjadi acuan mereka ketika memperhatikan orang lain, tetapi juga tetap mengamalkan nilai estetika dalam berpakaian seperti yang disunahkan yang Nabi Muhammad SAW.
Posting Komentar