BREAKING NEWS

Rabu, 09 April 2025

Membongkar Tafsir Marah; Menelisik Napas Panas Keimanan

Oleh: Aqsha Rif'at RM Saeed

Pernah dengar soal “tafsir marah”?. Ini bukan tentang orang yang baca Al-Qur’an sambil kesal karena belum hafal ayat. Ini lebih serius, sebuah penafsiran kitab suci yang diwarnai dengan amarah, klaim kebenaran mutlak, dan semangat menyalahkan orang lain. Fenomena ini ibarat virus yang menyusup kedalam pemikiran keagamaan, mengubah ayat-ayat damai menjadi dalih untuk kekerasan.

Fenomena ini ternyata sudah ada dari zaman para ulama kita terdahulu. Dalam hal ini, khawarij adalah salah satu kelompok yang kerap menggunakan ayat suci Al-Qur’an sebagai dalih untuk membenarkan pendiriannya. Pemahaman mereka terhadap ayat-ayat suci justru melahirkan pemikiran ekstrem seperti mudah mengafirkan (takfiri) sesama muslim. Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan pernyataan Ibnu Umar yang mengkritik cara pandang Khawarij, “Sesungguhnya mereka (khawarij) telah melemparkan ayat-ayat (Al-Qur’an) yang turun (tertuju) kepada orang kafir, lalu justru menjadikan ayat-ayat tersebut (tertuju) kepada orang-orang beriman”.

Inilah yang kemudian diistilahkan oleh Dr. Usamah Sayyid Al-Azhary sebagai “tafsir marah”. Sebuah pendekatan terhadap Al-Qur’an yang mengubah ayat-ayat suci menjadi senjata untuk kekerasan, pengafiran, dan pemecah belah umat. Membungkus kekerasan dengan retorika “pemurnian agama” serta argumentasi yang hanya bersandar pada teks, namun mengabaikan konteks, sejarah, dan semangat rahmatan lil ‘alamin yang menjadi jantung ajaran islam.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan teologis, melainkan ujian bagi kemanusiaan. Bagaimana mungkin kitab suci yang menyeru pada perdamaian justru dijadikan tameng untuk menjadi alat intimidasi? Tulisan ini hadir untuk mengupas dinamika “tafsir marah” dari akar sejarahnya, hingga dampaknya yang merobek harmoni sosial.

Selama delapan dekade terakhir, tercatat beberapa kelompok yang sangat bersemangat ingin menghidupkan kembali nilai-nilai islam. Sebut saja Al-Qaeda, ISIS, dan sebagainya. Mereka menulis buku, berkarya lewat puisi, atau berpidato dengan jiwa berapi-api. Upaya ini berangkat dengan niat yang sebenarnya mulia, mengabdikan diri kepada syariat islam dengan semangat untuk memperjuangkannya.

Kehadiran kelompok-kelompok ini tidak lepas dari kegelisahan pasca runtuhnya khilafah. Di saat umat islam seolah terombang-ambing menghadapi ombak yang ganas, di tengah tragedi-tragedi sejarah yang memilukan, peristiwa-peristiwa yang simpang siur, dan banjir informasi yang saling berbenturan. Di tengah situasi itu, mereka mencoba menjadi “penjawab” keresahan umat.

Sayangnya, di balik niat yang mulia itu tersembunyi masalah mendasar. Semangat membara yang tidak diimbangi pendalaman pada metodologi keilmuannya. Gerakan yang lahir dengan menawarkan janji mengembalikan kejayaan islam melalui pendekatan yang mereka klaim “murni” dan “kembali ke sumber”. Menyajikannya dengan bahasa agama yang mudah dicerna kemudian dikemas dengan mencampur antara syair penyemangat, kisah heroik masa lalu, dan kutipan dalil yang seolah menjawab semua masalah kekinian yang akhirnya dapat membuat seorang muslim terpesona dan tanpa sadar tenggelam dalam pola pikir mereka yang gemar menyalahkan dan mudah mengafirkan. Cara pandang yang berpotensi jauh dari semangat rahmatan lil alamin.

Paradigma takfiri yang selalu digaungkan kelompok-kelompok tersebut dibangun dari beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh al-Ustadz Sayyid Qutb. Misalnya pada firman Allah SWT. “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44). Dalam memahami ayat ini, ia terpengaruh oleh pemikiran al-Maududi, dengan menyimpulkan bahwa setiap individu yang tidak menerapkan hukum islam dihukumi kafir, meskipun secara keyakinan orang tersebut mengakui bahwa ayat itu benar dan merupakan wahyu ilahi. Lebih jauh, Sayyid Qutb tetap mengafirkan pihak yang tidak menerapkan syariat, sekalipun orang tersebut tidak mampu menerapkannya karena satu dan lain sebab.

Pemahaman ini bertolak belakang dengan pandangan para Ulama dari generasi ke generasi, sejak zaman para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- sampai sekarang. Misalnya, dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi mengutip penafsiran sahabat Ikrimah ra. terkait ayat di atas bahwa ayat ini secara khusus merujuk kepada orang yang secara batin mengingkari kebenaran hukum Allah dan secara terang-terangan menolaknya melalui ucapan. Adapun orang yang meyakini akan kebenaran ayat tersebut dalam hati, kemudian mengikrarkannya secara lisan, namun terhalang oleh kondisi eksternal yang tidak memungkinkannya untuk menerapkannya, maka statusnya tetap dianggap sebagai orang yang berhukum dengan syariat Allah. Dalam hal ini, keterbatasan kemampuan atau situasi yang menghambat pelaksanaan tidak serta-merta menggugurkan pengakuan iman dan kesungguhan niatnya, selama keyakinan tersebut tetap utuh.

Kekeliruan Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat ini terletak pada kecenderungannya yang terkesan ingin memaksakan hitam-putih pada setiap lukisan tanpa mempertimbangkan nuansa keunikan dan keragaman warna realita. Sikap ini lahir dari konsep lainnya, yang juga diinisiai oleh Sayyid Qutb. Dalam hal ini, beliau menjadikan konsep hakimiyah (berhukum dengan hukum Allah) sebagai tolok ukur keimanan. Berbeda dengan pendekatan kebanyakan ulama yang menekankan bahwa kekafiran hanya muncul dari penolakan atau pengingkaran terhadap kebenaran hukum Allah.

Misalnya ketika Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa menyampaikan penafsiran mengenai firman Allah SWT. tersebut. Beliau menegaskan bahwa makna QS. Al-Maidah: 44 tersebut bukan sekadar tentang tindakan tidak menggunakan hukum Allah, melainkan lebih pada penolakan terhadap kebenaran dan sikap melawan otoritas hukum-Nya. Dengan kata lain, status kafir baru muncul ketika ada unsur kesengajaan untuk menentang hukum Allah dengan kesombongan seraya mengingkarinya. 

Di sisi lain, ketidaktepatan pada pendekatan Sayyid Qutb dalam memahami firman Allah SWT.  juga terdapat pada ayat. “Tidak ada hukum melainkan hukum Allah.” (QS. Yusuf: 40). Menurut pandangan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary, ayat ini sejatinya menegaskan otoritas mutlak Allah dalam menetapkan halal-haram, wajib, ataupun sunah. Para ulama tafsir dan ushul fikih sepakat manusia termasuk Nabi dan ulama tidak menciptakan hukum baru, melainkan penjabaran dari ketetapan-Nya. Di level akidah, ini prinsip tak tergugat.

Akan tetapi saat turun ke praktek (fikih), dimana fikih terkait erat dengan sebab, ‘illah, syarat dan mani’, timbullah interaksi masyarakat dengan pedoman-pedoman fikih di mana di antara mereka ada yang menjalankannya dengan baik, serta ada juga yang melakukan kesalahan dan kekurangan dalam menjalankannya. Kekeliruan dan ketidaksempurnaan ini wajar selama bukan penolakan terhadap otoritas Allah, melainkan bagian dari dinamika manusia dalam belajar dan berusaha menjalankan syariat.

Namun dalam pandangan Sayyid Qutb, ia menyamakan ketidaksempurnaan masyarakat dalam menjalankan fikih sebagai bentuk pemberontakan terhadap hak Allah, bahkan mencap pelakunya sebagai kafir. Padahal dalam praktiknya, tak ada manusia yang dapat menjalankan hukum fikih secara sempurna tanpa cela. Fikih sendiri adalah hasil upaya memahami teks suci yang bersifat interpretatif (zhanni) di banyak aspek, kecuali dalam hal-hal yang sudah disepakati (qath’i). Proses ijtihad meski dilakukan dengan metode ketat, tetap memberi ruang untuk perbedaan atau kekeliruan. Ini bukan penolakan terhadap otoritas Allah, melainkan bukti bahwa manusia memang tak luput dari keterbatasan dan syariat hadir untuk memahami kelemahan manusia, bukan menuntut kesempurnaan.

Rasulullah SAW. sendiri mengingatkan di dalam hadisnya bahwa setiap mujtahid berpotensi benar atau salah dalam berijtihad, namun upaya tersebut tetap bernilai pahala selama dilandasi keikhlasan. Para sahabat, tabi’in, hingga imam mazhab pun kerap berbeda pandangan dalam menafsirkan hukum, tanpa saling menuduh keluar dari agama. Justru, dinamika inilah yag membuat fikih tetap relevan dan lentur menghadapi perubahan zaman.

Buah dari pemikiran yang berkembang ini sayangnya menciptakan citra kelam tentang Islam di mata dunia. Konsep “amar ma’ruf nahi mungkar” yang idealnya diwujudkan dengan kebijaksanaan dan penuh cinta kasih, ketika menjadi alat untuk menghakimi orang, membuat Islam dianggap sebagai agama yang kaku, penuh dengan intoleran, dan gemar menyalahkan. Padahal, islam secara esensi mengajarkan persaudaraan, dialog, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Sebagai umat yang mencintai ilmu, sudah selayaknya kita menyikapi setiap pemikiran dengan bijak, lewat bacaan yang lebih mendalam dan mengkajinya, serta mengedepankan dialog dan diskusi yang mencerahkan. Dengan pemaparan di atas, bukan berarti kami menebar narasi kebencian kepada Sayyid Qutb dan seakan pemikiran seperti di atas hanya ada pada dirinya. Beliau telah meninggal dunia dan menghadap Allah yang Maha adil lagi Maha Bijaksana. Pun, setiap kita seperti beliau, memiliki potensi untuk melahirkan gagasan. Namun, keagungan seorang manusia terletak pada kesediaannya untuk terus belajar, terutama sebagai muslim yang memiliki Al-Qur’an sebagai cahaya petunjuk yang tak pernah redup.

Hal yang ingin penulis tekankan dalam tulisan ini adalah tak lain dan tak bukan bahwa cahaya Islam hadir untuk menerangi, bukan membakar. Ia mengajak kita membangun dengan kelembutan, bukan merusak dengan saling menyalahkan tanpa mau belajar dan berdiskusi. Mari jadikan Al-Qur’an sebagai lentera yang menyinari akal dan hati. Sebab, di balik setiap ayat-Nya tersimpan pesan kasih, hikmah, dan ajakan untuk memanusiakan sesama.

 


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes