BREAKING NEWS

Minggu, 20 April 2025

Fenomena Ustaz Digital; Bisakah Orang Awam Mencaplok Langsung Sebuah Hukum?

Oleh: Muhammad Jurais

 Ada begitu banyak makna yang bisa muncul apabila pembaca mendengar kata ustaz digital, entah ia membayangkan seorang pendakwah yang aktif menggunakan sosmed, ataupun seorang pendakwah yang menyampaikan ceramah-ceramah formal dengan gaya kekinian, atau mungkin bisa saja sebuah metahuman atau robot yang berprofesi sebagai ustaz.

Dari sekian banyak pemaknaan, di sini penulis ingin memaparkan sebuah fenomena. Dimana kebanyakan masyarakat saat ini ketika ingin mencari sebuah hukum dari pekerjaan yang ia lakukan, ia mencari tahu melalui internet. Seakan-akan internet berperan sebagai ustaz baginya. Secara tidak langsung, ini merupakan manifestasi dari kata ustaz digital, yang bahkan dapat kita mintai penjelasan terkait apapun, kapanpun dan di manapun yang tentu menjadi nilai plus sekaligus pembeda dari ustaz-ustaz lainnya.

Secara kebiasaan, tak jarang di setiap elemen masyarakat itu memiliki beberapa orang yang mumpuni dalam ajaran islam. Di beberapa negara islam seperti Indonesia itu kerap disebut sebagai ustaz. Istilah ini digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki pengetahuan agama, khususnya islam dan mengajarkannya ke khalayak umum.

Sebagai masyarakat awam, tentu kehadiran orang yang memiliki kapasitas dalam ajaran Islam itu memiliki banyak peran penting di dalamnya. Keberadaannya bukan hanya dianggap sebagai penceramah saja, akan tetapi juga sebagai role model yang membimbing  kehidupan bermasyarakat lebih bermakna, sekaligus sesuai dengan ajaran islam.

Karena hal itu, tidak heran apabila orang yang masih awam itu menjadikan ustaz sebagai rujukan, seperti tanya jawab terkait permasalahan agama. Bukan tanpa alasan, itu dikarenakan mereka diyakini memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam. Mereka tidak asal-asalan dalam mengartikan Al-Qur’an dan hadis, akan tetapi mengartikan sekaligus menjelaskan kandungan-kandungan yang terdapat didalamnya yang tentu melalui penafsiran para ulama terdahulu.

Ketika tidak menemukan jawaban ulama terdahulu yang relate dengan kemauan penanya, ia pun mampu melakukan pendekatan lain, yaitu dengan mengeluarkan gagasannya sendiri, tetapi ada yang perlu digarisbawahi adalah cara mereka dalam mengeluarkan gagasan tersebut. Mereka tidak sembarangan dalam mengeluarkan suatu pendapat serta berhati-hati dengan hal tersebut. Ia melakukannya tentu melalui kecamata ilmu alat serta ilmu maqashid yang mumpuni. Dengan cara itu, gagasan yang dikeluarkan itu sesuai teks syariat sekaligus sesuai dengan tujuan syariat.

Di zaman sekarang, dimana teknologi sudah sangat maju dan berkembang pesat, hampir segala hal mampu dilakukan secara digital. Dari komunikasi, jual beli, hingga beberapa pekerjaan pun mengalami modernisasi yang cukup progresif. Tentu ini membuat semua pekerjaan menjadi lebih mudah dan cepat.

Tak terkecuali pada permasalahan yang satu ini, fenomena mencari hukum dan pendapat pun juga ikut terkena arus modernisasi yang cukup signifikan. Dimana seseorang mampu mencari hal tersebut di manapun dengan hanya membuka ponsel, lalu menanyakan permasalahan yang ia inginkan hanya dengan mengetik kata kuncinya. Setelah itu platform search engine seperti Yahoo, Google, dan sejenisnya akan menguraikan ribuan informasi yang berkaitan dengan hal tersebut dalam sekejap.

Tetapi yang jadi permasalahan adalah, apakah informasi yang terurai dari search engine tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya? Apakah informasi yang  pertama kali terpampang itu menunjukkan informasi yang paling valid? Ataukah informasi yang paling akhir muncul dan terletak pada laman akhir menunjukkan informasi yang paling keliru? Jawabannya tentu tidak.

Pada umumnya, seorang mujtahid dalam mencari dalil untuk menentukan sebuah hukum, itu tentu mengembalikannya pada Al-Qur’an dan hadis, ketika tidak menemukan hal yang senada/semakna dengan kedua nash tersebut, maka   ia mengembalikannya  pada konsensus para ulama atau disebut juga sebagai ijma’. Ketika sama sekali tidak menemukan hal yang semakna pada nash dan ijma’, maka dilakukanlah analogi hukum atau disebut juga sebagai qiyas.

Perlu diketahui bersama, bahwa hal diatas merupakan sumber-sumber untuk mengeluarkan hukum, yang dimana sumber sumber tersebut bersifat muttafaq atau dimiliki pada setiap 4 mazhab. Adapun yang tidak disebutkan di atas seperti saddu dzara’i (menutup jalan yang mengarah pada keburukan) atau ‘urf (kebiasaan masyarakat) merupakan sumber yang masih diperselisihkan dalam mazhab-mazhab tersebut.

Kembali pada sumber-sumber yang umum, ini dapat diuraikan dan diimplementasikan pada permasalahan hukum sewa menyewa, dalam kitab Qadhaya Fiqhiya Mu’assarah disebutkan bahwa sewa menyewa memiliki dalil yang padaAl-Qura'an yang berbunyi:

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,  maka berikanlah kepada mereka upahnya” (QS. Al-A’raf : 12)

Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan kebolehan akad sewa menyewa, tepatnya pada lafaz fa ātụhunna ujụrahunn, lafaz ini menunjukkan bahwasanya sewa menyewa sudah ada dari zaman dulu, lebih tepatnya dalam bentuk rada’ (jasa menyusui anak) dan harus diberikan imbalannya.

Atau dalam hadis pun dijelaskan bahwasanya Nabi bersabda:

“Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering”

Di sini sangat jelas tentang pensyariatan akad sewa menyewa, disebutkan bahwasanya ketika melakukan akad sewa menyewa khususnya dalam hal jasa, Nabi memerintahkan untuk segera memberikan upah pekerja tersebut ketika selesai mengerjakan suatu pekerjaan.

Dalam ijma’ pun, Ibnu Qudamah mengatakan bahwasanya ulama dari zaman salaf sampai khalaf dan ulama di seluruh dunia pun telah bersepakat atas kebolehan akad sewa menyewa ini.

Dalam qiyas pun tidak terlewatkan, bahwa akad sewa menyewa ini dianalogikan dengan akad jual beli, ketika akad jual beli barang dibolehkan, secara tidak langsung akad sewa menyewa barang pun dibolehkan. Itu karena memiliki kesamaan dalam hal jual beli, bedanya adalah sewa menyewa itu melakukan transaksi jual beli manfaat/jasa.

Sesuai uraian kitab di atas dapat disimpulkan, bahwa sebegitu rumit dan kompleksnya ulama dalam mencari suatu hukum, bahkan ketika sudah menemukannya di Al-Qur’an dan hadis pun, mereka masih mencari dengan metode-metode lain. Tidak lain agar kaum muslimin dapat melakukan mu’amalah tersebut dengan sangat yakin, tanpa keraguan yang terkadang membuat hati gusar.

Hal ini berbanding terbalik ketika mencarinya di internet, alih-alih mendapatkan jawaban seperti di atas, terkadang kita malah mendapatkan hukumnya secara langsung, tanpa terurai dengan jelas dalilnya dari mana. Belum lagi ada beberapa faktor yang membuat hukum yang tampil pada laman tersebut, itu berkemungkinan besar mengalami kecacatan atau ketidakakuratan, entah karena kurangnya kredibilitas sumber, distorsi, dan adanya tafsir sepihak.

Bahkan skenario terburuknya, adalah ketika seseorang mendapatkan hukum yang ia cari di internet tersebut, lalu mendakwahkannya seakan-akan ia sendiri yang berijtihad dan mengeluarkan sendiri hukum yang ia cari tadi. Bahkan bersikap seolah-olah jawaban itu merupakan jawaban yang paling benar, sekaligus mengklaim bahwa yang menyelisihinya akan mendapatkan dosa.

Ini sejalan dengan tujuan dibentuknya Komite Penasehat Fatwa Al-Azhar oleh Grand Syekh Ahmad Tayyib. Beliau menunjuk tujuh ulama senior yang bertugas memastikan bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan metodologi Al-Azhar dan mendisiplinkan semua lembaga fatwa yang berafiliasi kepada Al-Azhar. Komite ini diawasi langsung oleh mantan deputi Al-Azhar, Syekh Abbas Shaman.

Langkah beliau dalam menangani hal ini tentu untuk mencegah munculnya fatwa kontroversial yang dapat membingungkan masyarakat. Dimana fatwa seperti ini sangat riskan muncul ketika mencarinya melalui internet. Walaupun tidak dijelaskan secara spesifik yang menyatakan hal ini secara eksplisit, tentu tindakan dan kebijakan yang diambil oleh Grand Syekh tersebut merupakan cerminan dari prinsip diatas.

Pada situs NU Online, Dosen Hukum Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia pun menambahkan hal yang senada, bahwa apa yang kita cari di internet itu hanya sebatas apa yang diperlukan saja, karena tujuan awal dalam mencari dasar hukum hanya untuk memantapkan amalan yang telah kita lakukan. Tidak lebih juga tidak kurang.

Berangkat dari sini, penulis pada dasarnya ingin menegaskan bahwa sejatinya, mencari sebuah hukum di internet itu tidak sepenuhnya salah. Internet bisa menjadi sumber informasi yang berguna jika digunakan dengan benar, apalagi berkaitan dengan mencari hukum yang tentu membuktikan bahwasanya internet juga bisa digunakan dalam hal-hal kebaikan.

Tetapi ada batasan dan kehati-hatian yang perlu diperhatikan ketika mencari hal tersebut di internet, salah satunya seperti hanya bermaksud untuk memantapkan apa yang kita amalkan. Tidak lain dan tidak bukan karena ijtihad atau mengeluarkan hukum tentu memiliki ketentuan-ketentuan yang rumit dan terbilang sangat sulit. Itu karena memerlukan ilmu agama yang luas, pemahaman konteks zaman, keterikatan dengan prinsip syariat, serta tanggung jawab yang besar di hadapan Allah swt.

  


Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes