Oleh: Muhammad Jurais
Kemudahan dalam beragama tentu merupakan sebuah rahmat yang diberikan dari Allah Swt. kepada umatnya tanpa terkecuali. Agama hadir sebagai jalan petunjuk yang memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan, bukan sebagai beban yang memberatkan.
Dalam Islam misalnya, diperbolehkannya tayammum ketika tidak ada air atau bolehnya menjamak salat saat dalam perjalanan. Semua itu menunjukkan bahwa beragama sejatinya adalah proses yang menenangkan, sesuai dengan fitrah manusia, serta memberikan ruang bagi setiap orang untuk beribadah dengan lapang dan penuh keikhlasan.
Tetapi nyatanya, banyak manusia terkhususnya umat Islam, salah mengartikan kemudahan dalam beragama itu sendiri. Alih-alih melihatnya sebagai bentuk keringanan dalam kondisi tertentu, justru dijadikan sebagai alasan untuk menghindari kewajiban dan malah terlihat memudah-mudahkan agama.
Sebelum melangkah lebih jauh, penulis ingin memaparkan lebih rinci tentang memudah-mudahkan agama atau yang kerap disebut sebagai tasahul, juga tentang kemudahan di dalam agama yang disebut sebagai taysir yang nantinya akan memudahkan pembaca untuk memahami perbedaan mendasar dari dua istilah di atas.
Sebagaimana yang dikutip pada laman Egypt’s Dar Al-Ifta, taysir dalam Islam adalah menjalankan syariat sesuai kemampuan mukallaf untuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tanpa mencederai asas-asas Islam itu sendiri.
Allah swt. Berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 185)
Imam Al Khozin di dalam tafsirnya mengartikan, bahwasanya ayat di atas bermakna, sungguh Allah swt. betul-betul meniadakan perkara yang sulit di dalam agama menurut ayat ini. Segala perintah dan larangan dalam islam selalu sejalan dengan fitrah manusia dan mempertimbangkan kemampuan mereka. Semua ini menunjukkan kasih sayang Allah swt. yang menginginkan kemudahan, bukan kesulitan. Agar manusia dapat menjalankan agamanya dengan penuh ketenangan dan keikhlasan.
Sedangkan tasahul merupakan sikap seorang mukallaf yang terkesan meremehkan dan bermudah-mudahan dalam menjalankan ajaran agama, hingga meninggalkan kehati-hatian yang dianjurkan dalam beribadah.
Pengertian diatas senada dengan apa yang disampaikan oleh ulama Ibnu Rajab Al-Hanbali, beliau mengatakan, bahwa Tasahul dalam agama adalah ketika seseorang meremehkan perintah Allah, yang sampai pada tahap meninggalkan kewajiban, atau melakukan hal-hal yang dilarang dengan dalih mencari kemudahan.
Tasahul tentu merupakan tindakan yang memiliki kesan tercela, yang cenderung meremehkan agama Allah, bahkan ada potensi sampai mencederai asas-asas agama itu sendiri. Ini tentu sudah menjadi fenomena yang sering terjadi, bahkan sudah dianggap hal biasa di dalam islam, tak terkecuali bagi perempuan itu sendiri.
Tak sedikit perempuan di dalam Islam menganggap apa yang ia lakukan terlihat mengarah ke perkara taysir, tetapi justru terkesan mengarah ke tasahul di dalam agama. Dalam kewarisan contohnya, Islam menetapkan sistem warisan yang seimbang, dimana secara umum, laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan karena laki-laki wajib menanggung nafkah. Allah swt. berfirman didalam Al-Quran yang berbunyi:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak anakmu: bagi seorang laki laki bagi dua orang perempuan”. (QS. An-Nisa : 11)
Menilik dari pada asbabul wurud, ayat ini memiliki keterkaitan erat terhadap diskriminasi perempuan yang terjadi di zaman jahiliah, khususnya dalam hal kewarisan. Dimana ketika orang tua ataupun kerabatnya meninggal, ia tidak diberikan apa-apa sama sekali. Bukan sebuah kebetulan, orang-orang jahiliah justru memberikan alasan yang cukup janggal, yaitu dikarenakan perempuan itu tidak mengikuti peperangan dan tidak mampu mendatangkan ghanimah karena tidak ikut andil dalam perang tersebut.
Diskriminasi yang dialami perempuan pada masa jahiliah, terutama dalam hal kewarisan, menunjukkan betapa rapuhnya posisi mereka ketika hak asasi tidak diakui. Perlakuan yang meniadakan hak waris sama sekali merupakan bentuk ketidakadilan yang harus dihapuskan, karena tidak hanya merendahkan martabat perempuan tetapi juga menyalahi prinsip keseimbangan sosial.
Praktik semacam ini tentu sangat tidak layak dipertahankan dalam masyarakat mana pun, dan mesti dihilangkan. Pastinya agar keadilan serta penghargaan terhadap hak setiap manusia dapat ditegakkan tanpa membedakan gender masing-masing orang.
Mirisnya, di zaman sekarang malah muncul fenomena yang justru berlawanan dengan keadaan di masa jahiliah. Jika dahulu perempuan sama sekali tidak mendapatkan bagian warisan, maka kini sebagian perempuan justru menganggap ketentuan waris dalam Islam yang memberikan bagian laki-laki dua kali lipat dari perempuan sebagai aturan yang tidak adil. Justru mereka memandang perbedaan porsi itu sebagai sebuah bentuk diskriminasi, tanpa memahami latar belakang syariat yang menetapkan laki-laki memikul kewajiban finansial penuh terhadap keluarga, sementara perempuan tetap memiliki hak penuh atas harta pribadinya tanpa kewajiban menafkahi.
Persepsi keliru ini justru melahirkan penolakan terhadap hukum kewarisan di dalam Islam. Padahal hakikatnya, aturan tersebut diturunkan untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tetapi sebagian perempuan menganggap hal ini adalah sebuah aturan yang tidak adil, lalu menuntut persamaan total. Ini tentu beranjak dari pemikiran mereka yang menganggap bahwa adil Adalah equal (sama), bukan fair (proporsional).
Seperti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta Selatan pada tahun 2011, Dimana sang pewaris meninggalkan surat warisan bagi para ahli warisnya, yaitu sembilan anaknya dengan perimbangan porsi anak laki-laki dua kali dari anak perempuan (2:1) melalui surat wasiatnya.
Alhasil, ahli waris perempuan pun menggugat ke pengadilan, lalu memohon agar porsi waris dari laki-laki dan perempuan itu mendapatkan bagian yang sama rata yaitu 1;1 selama masih anak kandung, juga tanpa memandang gender masing-masing anak.
Padahal, sistem warisan di dalam Islam itu lebih memperhatikan dan memperhitungkan hak setiap ahli waris sesuai tanggung jawab, peran, dan kedudukan mereka dalam keluarga, bukan hanya membagi sama rata tanpa mempertimbangkan beban atau kewajiban masing-masing. Dengan kata lain, adil yang bersifat fair disini mengacu pada keseimbangan hak dan tanggung jawab, bukan sekedar kesamaan nominal.
Bukan tanpa alasan, dalam Tafsir Ayat Ahkam karya Imam Ali Assais pun menafsirkan ayat diatas dan merekam kejadian serupa yang terjadi dizamannya. Dimana ada sebuah kelompok yang mempertanyakan tentang kenetralan ayat di atas. Dimana pada ayat tersebut, Allah Swt. menjadikan bagian laki-laki itu seperdua dari bagian perempuan. Bahkan mereka menuntut hak dan pembagian yang sama diantara laki-laki dan perempuan didalam kewarisan.
Justru menurut Imam Ali Assais, ini merupakan bentuk kasih sayang dan kelembutan syariat Islam terkhusus dalam kewarisan terhadap perempuan itu sendiri. Dikarenakan laki-laki itu diberikan dua kali bagian perempuan karena menanggung banyak hal, seperti istrinya, anak-anaknya, bahkan sampai ke pembantunya.
Maka dalam hal ini, bagian laki-laki itu dibagikan dan dituntut untuk memenuhi nafkah beberapa orang melalui harta tersebut, sedangkan perempuan, walaupun bagiannya tidak sebanyak laki-laki, akan tetapi harta itu memang dikhususkan untuk dirinya sendiri tanpa adanya tuntutan untuk membagi hartanya ke beberapa orang.
Pada dasarnya, Islam sama sekali tidak mengajarkan ketidakadilan bahkan sampai ke tindakan diskriminasi, tetapi justru Islam lah sendiri yang mengeluarkan perempuan dari lubang penyiksaan dan kesengsaraan, serta menempatkan perempuan pada posisi terhormat, bukan sebagai objek yang diperalat, melainkan sebagai manusia mulia yang memiliki peran penting dalam keluarga dan masyarakat.
Bahkan dalam kewarisan pun, Islam sama sekali tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan yang justru memberikan aturan adil sesuai kondisi dan tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, sistem kewarisan Islam bukan diskriminasi, melainkan keadilan yang mempertimbangkan peran, beban, dan kebutuhan keduanya.
Posting Komentar