Oleh : St. Maryam Sultan
Islam adalah agama yang ajarannya kokoh, namun dalam penyebarannya dikenal sangat fleksibel. Fleksibilitas ini terlihat jelas dalam cara Islam berdakwah yang tidak selalu kaku, melainkan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat. Salah satu buktinya adalah penggunaan kesenian sebagai sarana dakwah, dimana pesan agama disampaikan dengan indah, lembut, dan mudah diterima.
Seni sendiri merupakan bahasa universal yang bisa dipahami siapa saja melalui syair, ukiran, cerita, atau pertunjukan. Manusia dapat menyampaikan makna dan perasaan lebih dalam daripada sekadar kata-kata biasa. Karena sifatnya yang menyentuh rasa, seni mampu menjembatani ajaran Islam agar sampai ke hati masyarakat.
Dalam pandangan Islam, seni tidak berhenti pada hiburan semata. Ia dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt, sekaligus media penghayatan nilai-nilai agama. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyoroti dua persoalan penting, yaitu batas antara seni dan agama yang tidak selalu jelas, serta keterkaitan ajaran Islam dengan pandangan tentang seni itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi seni Islam, mulai dari bacaan Al-Qur’an dan kaligrafi hingga sastra sufistik dan tembang-tembang religius tertentu, sering hadir sebagai bentuk penghayatan spiritual.
Beragam ekspresi ini menunjukkan bahwa keindahan dalam tradisi Islam hampir selalu berdampingan dengan spiritualitas. Seni dipandang bukan hanya sebagai hiasan, melainkan sebagai jalan dakwah yang lembut dan mampu mengena pada masyarakat.
Ketika Islam masuk ke Nusantara, seni kembali memainkan peran penting. Islam tidak datang melalui penaklukan besar-besaran, melainkan lewat perdagangan, perkawinan, dan interaksi budaya. Para pedagang Muslim berbaur dengan masyarakat lokal, membawa nilai-nilai Islam yang kemudian diterima secara damai. Seperti dicatat Fendy dalam Gramedia Blog (“Sejarah Masuknya Islam di Indonesia dan Perkembangannya”), Islam berkembang melalui jalur damai dan berlangsung secara akomodatif, sehingga tidak menimbulkan penolakan dari masyarakat.
Khususnya di Jawa, masyarakat telah lama dipengaruhi budaya Hindu-Buddha dan tradisi lokal yang kuat. Apabila Islam datang dengan menghapus semua itu, tentu akan menimbulkan konflik. Karena itulah para Walisongo mendekati masyarakat melalui seni dan budaya lokal sebagai media dakwah. Strategi akulturasi ini membuat ajaran Islam lebih mudah diterima tanpa benturan keras dengan tradisi Jawa.
Walisongo memahami bahwa budaya Jawa sangat akrab dengan seni. Mereka tidak meniadakan seni, tetapi memberi ruh baru pada seni yang ada. Dicontohkan juga bagaimana wayang dimodifikasi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, misalnya tokoh Janaka diganti menjadi Arjuna (arju najah, berharap keselamatan) atau Petruk dikaitkan dengan fatruk (tinggalkanlah). Dari sini tampak bahwa Islam menyesuaikan diri dengan masyarakat tanpa kehilangan prinsip pokoknya.
Diantara Walisongo yang berdakwah melalui kesenian yaitu: Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Sunan Kalijaga menjadi contoh populer pemanfaatan seni sebagai sarana dakwah. Pertunjukan wayang yang digemari masyarakat tidak dihapus, melainkan diberi ruh Islami. Kisah pewayangan dimaknai ulang sehingga tokoh-tokoh akrab bagi masyarakat berubah menjadi medium pengenalan ajaran Islam. Dengan cara ini, dakwah terasa dekat dan akrab, namun tetap menyampaikan pesan rohani yang dalam.
Sunan Bonang menempuh jalannya sendiri melalui suluk dan tembang lembut namun penuh makna. Syair-syair ciptaannya, seperti Tombo Ati, masih sering dilantunkan masyarakat. Melalui bahasa sederhana dan alunan yang menenangkan, ia mengajarkan zikir, salat, dan kesabaran dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga Islam diterima dengan sentuhan rasa, bukan paksaan.
Sunan Giri menciptakan tembang anak-anak bernuansa Islami, seperti Cublak-Cublak Suweng dan Padang Bulan. Anak-anak belajar agama sambil bermain dan bernyanyi, sehingga nilai-nilai Islam tertanam sejak dini tanpa menghilangkan keceriaan masa kecil maupun tradisi permainan lokal.
Selain Sunan Kalijaga, Bonang, dan Giri, wali lain juga menyalurkan dakwah melalui seni dan budaya rakyat. Mereka tidak meniadakan tradisi, melainkan mengisinya dengan ruh Islami agar ajaran agama terasa akrab dan mudah diterima. Dakwah Walisongo tidak berjalan seragam, melainkan fleksibel dan kaya strategi, menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Uraian ini bersumber dari artikel Fendy di Gramedia Blog berjudul “Strategi Dakwah Walisongo di Nusantara”.
Pendekatan yang akrab dengan budaya lokal memberikan dampak sosial yang signifikan. Masyarakat Jawa menerima Islam tanpa kehilangan identitas budaya nya. Akulturasi seni dan tradisi, sebagaimana dicatat dalam kajian Sultanate Institute, “Pengaruh Dakwah dan Islamisasi Wali Songo: Dari Sumber Sejarah hingga Data Arkeologi”, membuat ajaran Islam hadir sebagai bagian kehidupan sehari-hari, bukan sebagai kekuatan yang memaksa perubahan. Tradisi yang lahir dari dakwah Walisongo, seperti festival Sekaten, Grebeg Maulud, Tembang Tombo Ati, dan pertunjukan wayang kulit bernuansa Islami masih lestari hingga kini. Membuktikan bahwa seni dakwah Walisongo bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi bagian hidup budaya masyarakat.
Di era modern, warisan dakwah Walisongo melalui seni tetap relevan. Nilai yang mereka tanamkan, berdakwah dengan lembut, membumi, dan menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat, terlihat pada cara generasi Muslim kini mengemas pesan agama melalui media kreatif. Nasyid, film Islami, kaligrafi digital, hingga konten edukatif di media sosial menjadi sarana baru yang membawa pesan moral dan spiritual tanpa kehilangan estetika dan daya tariknya.
Fleksibilitas Islam dalam berdakwah melalui kesenian bukan berarti mengorbankan prinsip. Sebaliknya, Islam selalu mencari cara terbaik agar ajaran diterima masyarakat. Seni menjadi medium yang ramah, mampu menjembatani nilai-nilai rohani dengan realitas budaya yang ada.
Dengan demikian, seni bukan sekadar pelengkap dalam dakwah Islam, melainkan jembatan yang menyatukan agama dengan budaya. Walisongo telah membuktikan bahwa melalui wayang, tembang, maupun tradisi rakyat, Islam bisa hadir dengan indah dan membumi. Warisan itu tetap hidup hingga hari ini, menjadi cermin bahwa Islam mampu masuk ke hati masyarakat lewat jalan yang lembut, penuh hikmah, dan tak lekang oleh waktu.
Posting Komentar