Oleh : Fathul Muin Zubair
Radikalisme telah menjadi isu yang sangat diperdebatkan dalam beberapa dekade terakhir, dengan dampaknya yang luas dan beragam pada masyarakat dan politik global. Namun, di balik fenomena radikalisme yang kompleks ini, terdapat sebuah faktor yang sering kali menjadi pemicu utama, diantaranya dogmatisme.
Dogmatisme, atau sikap memegang teguh pada keyakinan tanpa mau mempertimbangkan pandangan lain, seringkali menjadi fondasi bagi pemikiran radikal yang ekstrem dan tidak toleran.
Dogmatisme dapat menjadi akar pemikiran radikalisme. Namun bagaimana keduanya saling terkait dalam konteks sosial dan politik. Juga bagaimana dogmatisme dapat memengaruhi individu dan kelompok untuk mengadopsi pandangan yang ekstrem, serta bagaimana hal ini dapat memicu tindakan radikal yang berdampak luas pada masyarakat. Tentunya itu semua dapat tercapai dengan cara memahami lebih dalam tentang kompleksitas hubungan antara dogmatisme dan radikalisme, terlebih lagi pengertian keduanya sebagai langkah awal sebelum menyelam lebih dalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dogmatisme diartikan sebagai paham yang didasarkan pada dogma, yaitu pokok ajaran atau kepercayaan yang harus diterima sebagai kebenaran mutlak, tanpa boleh dibantah atau diragukan. Doktrin ini membentuk landasan bagi pola pikir dogmatis.
Hal inilah yang secara ekstensif diteliti oleh Milton Rokeach dalam karyanya, seperti buku "The Open and Closed Mind." Berdasarkan teori Rokeach, seseorang yang dogmatis memiliki sejumlah karakteristik utama, yang secara keseluruhan mencerminkan pikiran tertutup (Closed-Mindedness). Individu seperti ini enggan untuk menerima, memahami, atau mengevaluasi ide, keyakinan, atau pandangan yang bertentangan dengan sistem keyakinannya sendiri.
Sikap pikiran tertutup ini diperkuat oleh kepastian kaku (Rigid Certainty), di mana keyakinan dipertahankan dengan keteguhan yang tidak dapat dibenarkan, bahkan ketika dihadapkan pada bukti yang jelas bertentangan, sehingga sulit bagi mereka untuk menyatakan kondisi di mana mereka bisa terbukti salah.
Secara kognitif, sistem keyakinan orang dogmatis diorganisir menjadi dua sistem yang terpisah dan sangat ditekankan perbedaannya: sistem keyakinan (Belief System), yaitu apa yang diyakini benar, dan sistem ketidakpercayaan (Disbelief System), yaitu apa yang diyakini salah.
Selain itu, bagian-bagian dari sistem keyakinan ini sering kali mengalami isolasi dan kompartementalisasi, artinya keyakinan yang kontradiktif dapat hidup berdampingan tanpa disadari atau diterima sebagai masalah. Pemikiran mereka juga ditandai dengan toleransi rendah terhadap ambigu, yang membuat mereka cenderung berpikir hitam-putih (either/or thinking) dan menghindari nuansa atau ketidakjelasan dalam informasi.
Di Indonesia, sejarah dogmatisme seringkali berkaitan dengan perkembangan agama dan politik. Diantara sejarah penting mengenai sejarah dogmatisme di Indonesia yaitu dalam konteks keagamaan kontemporer. Dalam konteks keagamaan, dogmatisme dapat terlihat dalam sikap eksklusif yang menganggap ajarannya sebagai kebenaran mutlak dan menolak keberagaman. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan konflik. Misalnya, dalam beberapa kasus, gangguan dan penolakan pendirian rumah ibadah.
Ini adalah salah satu bentuk manifestasi dogmatisme yang paling sering terjadi. Sikap eksklusif yang meyakini kebenaran tunggal seringkali diwujudkan dalam penolakan terhadap hak kelompok lain untuk memiliki ruang ibadah, yang dianggap "mengganggu" atau "tidak sah". Berdasarkan Laporan Setara Institute, terjadi kasus-kasus penolakan pembangunan atau penyegelan gereja seperti di GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, penutupan rumah ibadah lain seperti masjid Ahmadiyah, pura, atau vihara.
Setelah memahami apa itu dogmatisme, pertanyaan selanjutnya adalah apa itu radikalisme? Bagaimana dogmatisme bisa menjadi akar bagi paham radikalisme? Prof. Rubaidi seorang profesor tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan mengartikan radikalisme dalam lingkup keagamaan sebagai gerakan yang berusaha merombak total tatanan sosial dan politik dengan jalan kekerasan. Radikalisme juga seringkali diartikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau tindakan yang berusaha untuk mengubah secara drastis struktur sosial, politik, atau ekonomi yang ada.
Dalam beberapa kasus, radikalisme dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk kekerasan atau tindakan ekstrem lainnya. Radikalisme dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau tindakan yang berusaha untuk mengubah secara drastis struktur sosial, politik, atau ekonomi yang ada. Radikalisme seringkali dihubungkan dengan ideologi politik atau agama yang ekstrem, dan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, mulai dari aktivisme damai hingga kekerasan.
Radikalisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan berkembang melalui beberapa fase penting. Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Hal ini terlihat dalam beberapa sejarah Indonesia.
Masa Pasca-Reformasi menjadi fase krusial dalam perkembangan radikalisme. Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, ruang gerak kelompok-kelompok radikal terbuka lebar. Krisis politik dan sosial yang menyelimuti Indonesia kala itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ini untuk menyebarkan ideologi dan merekrut anggota baru. Masa ini ditandai dengan munculnya berbagai kelompok radikal yang lebih beragam dan terkadang militan.
Salah satu yang paling signifikan adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jaringan ini berakar dari ideologi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan menjalin hubungan dengan jaringan teroris internasional. JI bertanggung jawab atas serangkaian serangan teror yang mengguncang Indonesia, termasuk Bom Bali I pada tahun 2002, yang tercatat sebagai salah satu peristiwa teror paling mematikan di negara ini. (Merujuk pada: "JI Sampai NKRI: Deradikalisasi Kolektif Jemaah Islamiyah" oleh M. Khairul Fahmi).
Selain itu, muncul pula gerakan ideologis yang fokus pada pendirian sistem negara Islam global, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI secara eksplisit berjuang untuk mendirikan khilafah global dan menolak konsep negara-bangsa. Meskipun aktivitasnya awalnya tidak menggunakan kekerasan fisik, ideologi mereka dianggap bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Fenomena radikalisme juga terlihat dari kemunculan kelompok-kelompok yang mengedepankan penegakan moral agama secara represif. Kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad seringkali menggunakan kekerasan untuk melakukan "sweeping" atau penertiban yang mereka anggap sebagai bentuk penegakan moral agama. Kelompok-kelompok ini menambah kompleksitas lanskap radikalisme Indonesia di era Reformasi.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, internet dan media sosial telah menjadi medan yang krusial dalam penyebaran radikalisme. Kelompok-kelompok radikal kini memanfaatkan platform daring ini secara efektif untuk mengindoktrinasi, merekrut, dan berkomunikasi, membuat penyebaran paham mereka menjadi jauh lebih cepat dan lebih sulit dideteksi.
Muncul dan berkembangnya radikalisme di Indonesia sendiri didorong oleh beberapa faktor mendasar. Salah satunya adalah pemahaman agama yang sempit. Interpretasi yang terlalu literal, doktriner, dan kaku, sering kali mengabaikan konteks sosial dan historis, yang dapat menjadi cikal-bakal paham radikal.
Faktor internal lainnya adalah isu ketidakadilan dan diskriminasi. Perasaan termarjinalisasi—baik secara ekonomi maupun politik—mendorong individu untuk mencari jalan keluar dengan bergabung pada kelompok radikal yang menjanjikan "perjuangan" atau "keadilan." Meskipun menghadapi tantangan ini, Pemerintah Indonesia terus berupaya mengatasi masalah radikalisme melalui berbagai program komprehensif.
Hubungan antara keduanya memang tidak langsung, tetapi saling menguatkan. Dimana dogmatisme dapat menjadi akar pemikiran radikalisme karena keduanya memiliki benang merah yang kuat. Ketika dogmatisme dianut secara ekstrem, dapat memicu pemikiran radikal yang berusaha untuk menerapkan ideologi atau keyakinan secara paksa dan tidak toleran.
Penelitian (van Prooijen & Krouwel, 2017) menunjukkan bahwa keyakinan politik yang ekstrem, baik dari spektrum kiri maupun kanan, secara signifikan memprediksi tingkat intoleransi dogmatis yang lebih tinggi dibandingkan dengan pandangan moderat. Keyakinan yang dipegang dengan kuat, tanpa memandang kontennya, menimbulkan intoleransi dogmatis. Yang selanjutnya diasosiasikan dengan kesediaan untuk menolak kebebasan berpendapat (denial of free speech) dan mendukung perilaku antisosial.
Dogmatisme menciptakan fondasi yang subur bagi radikalisme melalui serangkaian mekanisme kognitif dan sosial. Penolakan terhadap Pluralisme menjadi langkah awal yang krusial. Dogmatisme secara inheren menolak gagasan bahwa ada kebenaran lain di luar keyakinan yang dianut.
Dalam konteks agama, ini dapat termanifestasi sebagai keyakinan bahwa hanya ajaran mereka yang benar dan semua yang lain dianggap salah atau sesat. Secara politik, ini berarti menganggap ideologi mereka sebagai satu-satunya kebenaran yang harus diberlakukan. Penolakan terhadap pengakuan keberagaman dan kemajemukan ini secara langsung memicu intoleransi dan merupakan pintu gerbang menuju tindakan ekstrem.
Selanjutnya, keyakinan akan kebenaran mutlak ini berujung pada Dehumanisasi Lawan. Ketika sebuah dogma diyakini tak terbantahkan, mereka yang tidak memeluknya seringkali dianggap lebih rendah atau tidak setara. Lawan lantas dilabeli dengan stigma seperti orang kafir, musuh negara, atau pengkhianat. Proses dehumanisasi ini sangat berbahaya karena mempermudah pembenaran tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap "inferior" atau "ancaman."
Van Prooijen & Krouwel juga mengatakan bahwa dogmatisme memaksakan Logika Hitam-Putih dalam memandang dunia. Individu dogmatis cenderung melihat realitas hanya dalam kategori biner: benar atau salah, baik atau buruk, tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk diskusi, nuansa, atau kompromi. Logika biner ini menciptakan demarkasi musuh yang jelas, yang pada gilirannya memicu hasrat untuk melawan atau menghancurkan pihak yang buruk.
Puncaknya, keyakinan bahwa dogma adalah kebenaran mutlak yang harus ditegakkan menjadi Pembenaran Kekerasan. Bagi individu atau kelompok radikal, kekerasan dapat dilihat sebagai alat yang sah untuk mencapai tujuan sakral mereka. Dogma berfungsi sebagai legitimasi moral untuk melakukan tindakan ekstrem, seperti terorisme, yang mereka anggap sebagai bentuk perjuangan suci atau revolusi yang adil demi mewujudkan keyakinan absolut mereka.
Contoh dalam sejarah Indonesia bisa kita lihat pada kejadian pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini berakar pada dogma bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam. Pandangan dogmatis ini menolak dasar negara Pancasila dan membenarkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka.
Tidak hanya itu, kelompok-kelompok teroris global seperti kelompok ISIS dan Al-Qaeda memiliki dogma bahwa hanya ajaran mereka yang benar dan harus disebarkan, bahkan dengan kekerasan. Mereka menganggap siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka, baik itu non-Muslim maupun Muslim yang tidak sepaham, sebagai musuh yang harus diperangi. Penjelasan lebih lanjut tentang ISIS dan Al-Qaeda bisa kita lihat di jurnal MOVEMENT STRATEGIES OF RADICAL GROUPS IN THE MIDDLE EAST: A COMPARATIVE STUDY BETWEEN ISIS AND AL-QAEDA" (Strategi Pergerakan Kelompok Radikal di Timur Tengah: Studi Perbandingan antara ISIS dan Al-Qaeda).
Singkatnya, dogmatisme dan radikalisme memiliki hubungan kausal. Dogmatisme (keyakinan kaku tanpa kritik) adalah akar pemikiran yang berpotensi melahirkan radikalisme (manifestasi ekstrem dari keyakinan tersebut). Sikap dogmatis sering kali menolak keragaman, memandang orang lain sebagai musuh, dan membenarkan kekerasan.
Kesimpulannya, dogmatisme merupakan akar yang berpotensi untuk melahirkan paham radikalisme. Bahkan merupakan kondisi yang subur bagi pertumbuhan radikalisme. Dengan menghilangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan menerima keragaman, dogmatisme membuka pintu bagi pemikiran ekstrem yang dapat dengan mudah membenarkan kekerasan.
Oleh karena itu untuk terhindar dari dampak negatif dogmatisme dan radikalisme, kita perlu mempromosikan pemikiran kritis, toleransi dan empati dalam masyarakat. Pertama, kita perlu mempromosikan pendidikan yang memfokuskan pada pemikiran kritis, toleransi dan empati. Dengan demikian, individu dapat memahami dan menghargai perbedaan, serta tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem.
Kedua, kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dogmatisme dan radikalisme. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih waspada dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda atau ideologi ekstrem.
Ketiga, kita perlu mempromosikan dialog dan kerjasama antara individu dan kelompok yang berbeda. Dengan demikian, kita dapat memahami perspektif masing-masing dan meningkatkan toleransi.
Terakhir, kita perlu mempromosikan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan dan kesetaraan. Dengan melakukan beberapa cara di atas, dapat mengurangi dampak negatif dogmatisme dan radikalisme, sehingga terciptalah keharmonisan antar masyarakat yang lebih toleran, aman dan damai.
Posting Komentar