Oleh: Muhammad Safaras Sulaiman
Dalam Islam seringkali kita menemukan perbedaan pendapat baik dari segi ibadah dan muamalah. Hal ini tidak bisa kita hindari karena dari perbedaan inilah yang menunjukkan khazanah intelektualitas di dalam agama kita dan menyikapi perbedaan ini dengan bijak akan melahirkan kedewasaan dalam beragama serta memperkuat ukhuwah.
Perbedaan ini sendiri telah ada sejak zaman para sahabat dan ini tidak menunjukkan adanya perpecahan, melainkan sebagai isyarat bahwa adanya keluasan dan kelenturan syariat dalam Islam. Di kalangan para ulama kita sendiri kaya akan perbedaan pendapat sehingga tidak jarang ada yang menuai pujian atau bahkan kritikan. Salah satu ulama yang banyak mendapat perhatian dari kedua aspek tersebut adalah Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya di beberapa bidang ilmu dalam Islam. Ia menekuni beberapa disiplin ilmu, baik dari segi tafsir, hadits ataupun ushul fiqih. Beliau tumbuh dalam keluarga intelektualitas, ayahnya seorang syekh, hakim dan juga khatib. Begitupun dengan kakeknya yang merupakan seorang ulama penghafal Al-Quran yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul.
Sejak kecil telah tampak dalam dirinya kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia telah menguasai ilmu Ushuluddin dan mendalami bidang tafsir dan bahasa arab. Akan tetapi dari semua itu, dibalik keluasan ilmu beliau dan pemikirannya yang tegas dan kritis, justru pendapatnya menuai banyak kritikan dan menuai kontroversi dari beberapa ulama karena menyelisihi pendapat jumhur.
Ada banyak pendapat dari Ibnu Taimiyah yang bersifat menyimpang dan kontroversial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah Akidah. Contoh perkataan Ibnu Taimiyah di kitab Majmu Al-Fatawa juz 4 hal 374 dikatakan, bahwasanya Nabi Muhammad didudukkan diatas Arsy dan Allah Swt. berada disampingnya. Serta masih banyak lagi perkataan beliau yang mengatakan bahwasanya Allah Swt. itu berada di atas Arsy dengan bersandar kepada pemaknaan ayat Al-Qur'an.
Konsekuensi dari perkataan Ibnu Taimiyah ini akan memberikan dampak bahwasanya Allah Swt., berada di suatu tempat dan otomatis memiliki arah. Pandangan akidah seperti ini bertentangan dengan apa yang dibawakan oleh para salafus shalih dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in. Dan secara tidak lansung, naluri akal kita juga tidak sepakat dengan pendapat yang seperti itu karena akan menisbatkan bahwasanya Allah Swt. itu bertempat di suatu tempat, yang akan mengimplikasikan keserupaan sifat Tuhan dengan mahluk.
Perkataan Ibnu Taimiyah ini sendiri dilatarbelakangi oleh penolakan beliau terhadap majaz, sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya Al-Iman. Bahwasanya pembagian bahasa dari hakikat dan majaz itu adalah suatu hal yang baru dan tidak dijumpai di kalangan salafus shalih. Sementara di saat yang sama, para ahli lugah sepakat dengan pembagian bahasa itu sendiri dari segi aspek hakiki maupun majaz.
Berdasarkan hal itu, maka konsekuensi dari ketidakpercayaan beliau terhadap majaz akan berdampak pada penafsiran beliau sendiri terhadap ayat-ayat Al-Quran. Yaitu ketika menemukan ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Qur'an, yang secara makna lahiriahnya seakan-akan menyerupakan Tuhan dengan mahluk. Beliau memaknainya dengan makna harfiah, dan secara otomatis hal yang seperti ini menyelisihi ijtima' ulama yang menguduskan Tuhan dari sifat-sifat mahluk. Maka dari itu, gelar yang disematkan terhadap beliau sebagai syaikhul Islam masih diperselisihkan oleh beberapa ulama karena penyimpangan beliau terhadap akidah, yang dimana ini adalah pondasi Islam yang paling fundamental.
Meskipun banyak mendapatkan kritikan, banyak pula ulama yang memuji beliau akan keluasan ilmunya, kuatnya hafalan, kezuhudannya serta keberanian beliau dalam membela kebenaran. Disebabkan kritikan dan pujian dari beberapa aktivis Islam, seorang ulama ahlussunah Yusuf An-Nabhani dalam kitabnya syawahidul haq film istigatsah sayyidul khalq, beliau mengatakan “Ibnu Taimiyah dalam keilmuan seperti lautan yang disertai ombak, terkadang menunjukkan mutiara dan terkadang menampilkan kotoran”.
Melihat dari perkataan beliau diatas, dapat dikatakan bahwa ini adalah pandangan yang adil terhadap Ibnu Taimiyah itu sendiri. Jika kita melihat kalimat yang pertama “Ibnu Taimiyah bagaikan lautan” hal ini sebagai isyarat bahwa ia memiliki wawasan yang sangat luas dalam ilmu pengetahuannya dan lanjutan perkataannnya “yang disertai ombak” hal ini bisa menjadi isyarat yang menunjukkan adanya suatu yang berbahaya dari pendapat beliau yang menyimpang dari agama.
Demikian juga dengan kalimat yang dituturkan setelahnya “terkadang menunjukkan mutiara dan terkadang menampilkan kotoran”, hal ini juga bisa diibaratkan bahwasanya, kita sebagai umat muslim harus lebih teliti dan berhati-hati terhadap apa yang disampaikan terhadap Ibnu Taimiyah, Karena terkadang ilmu yang disampaikan sangat bermanfaat bagi umat Islam layaknya mutiara, tapi terkadang ilmu yang disampaikan dapat merusak pemikiran umat muslim seperti halnya seperti kotoran, terkhusus dalam ilmu akidah.
Maka berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Yusuf An-Nabhani diatas, kita sebagai umat muslim bisa mengambil jalan tengah diantara kritikan dan pujian terhadap Ibnu Taimiyah. Yaitu bersikap objektif terhadap pendapat beliau dengan memandang dengan pandangan kacamata yang adil, atau mempelajari ilmu yang telah diwariskan kepada umat muslim, dengan karyanya yang berjilid jilid seperti majmul fatawa dan beberapa karya-karyanya yang lain, dengan syarat meninggalkan argumen beliau yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama.
Maka bersikap adil terhadap Ibnu Taimiyah menempatkan posisi beliau secara proposional, dengan mengambil pemahaman-pemahaman beliau yang sejalan dengan dalil, sekaligus memahami bahwa sebagian pendapatnya diperselisihkan atau bahkan ditolak dari kalangan mayoritas ulama. Dengan sikap ini kita bisa menghindari dua kutub ekstrem, yaitu mengkultuskan tanpa kritik atau menolak secara total tanpa mempertimbangkan kontribusinya.
Dengan demikian pandangan yang adil terhadap Ibnu Taimiyah memberikan ruang bagi umat Islam untuk menghargai jasa dan pemikiran ulama, tanpa menutup mata dengan perbedaan yang ada dan ini juga sebagai dalil bahwasanya khazanah Islam yang begitu luas, yang ketika ingin di telusuri bagaikan samudra yang tak berujung, sehingga sikap keseimbangan yang adil ini mengajarkan kita tetap ilmiah, objektif, dan beradab terhadap tokoh-tokoh Islam.
Posting Komentar