BREAKING NEWS

Selasa, 11 November 2025

Metode Anregurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle dalam Membangun Aqidah Islam


Oleh : Muammar Ahmad

Di tengah arus perubahan zaman yang kian deras, persoalan akidah menjadi isu paling mendasar dalam kehidupan umat Islam, karena ia menentukan cara pandang dan perilaku seorang muslim di tengah kompleksitas dunia modern. Lebih dari itu, akidah keislaman sendiri tak pernah luput dari tantangan, baik dari internal maupun eksternal, mulai dari sinkretisme dan takhayul yang dihadapi masyarakat tradisional, hingga rasionalitas skeptis yang menuntut pembuktian logis dari masyarakat modern. Oleh karena itu, muncul kebutuhan mendesak untuk melihat kembali warisan keilmuan ulama terdahulu, sebagai pondasi untuk merespon tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri.

Dalam kacamata inilah, upaya menggali pemikiran ulama Nusantara menjadi relevan, sebagai jembatan antara warisan klasik dan kebutuhan dunia modern. Salah satu figur yang patut kita kaji pemikirannya untuk menghadapi tantangan tersebut adalah Anregurutta. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle.

Beliau merupakan seorang ulama besar dan tokoh pendidikan Islam yang paling berpengaruh di Timur Nusantara, khususnya Sulawesi Selatan. Karena pengaruhnya yang besar itulah, beliau kemudian dijuluki sebagai “Mahaguru dari Tanah Bugis.” Beliau adalah pendiri organisasi Islam terkemuka, Darud Da'wah wal Irsyad (DDI), yang didirikan pada tahun 1947. DDI bermula dari Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang didirikannya pada tahun 1938, yang kemudian berkembang menjadi jaringan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi yang masif dan tersebar luas di Indonesia Timur dari Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua.

Anregurutta Ambo Dalle dikenal sebagai ulama yang teguh memegang prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dengan corak pemikiran Asy'ariyah, namun sekaligus memiliki visi yang progresif tersendiri. Melewati berbagai zaman, beliau menjadikan pendidikan dan dakwah sebagai senjata utama dalam mencerdaskan umat. Hal itu tergambar nyata dari organisasi yang beliau bangun yang bergerak dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, beliau juga produktif sebagai seorang pendidik. Beliau menulis puluhan kitab dalam bahasa Bugis, Indonesia, dan Arab, serta mengejawantahkan semangat dakwahnya melalui seni dengan menciptakan lagu-lagu religius untuk memudahkan masyarakat dalam memahami agama.

Dalam konteks aqidah Islam, karya monumentalnya Al-Hidayah al-Jaliyah ila Ma'rifat al-'Aqaid al-Islamiyyah (Petunjuk Praktis Memahami Akidah Islam) dapat menjadi jawaban atas tantangan sinkretisme masyarakat tradisonal dan skeptisisme masyarakat modern. Melalui karya ini, beliau menghadirkan pendekatan ilmiah, terstruktur dan sistematis dalam menetapkan akidah Islam, dengan berlandas pada pembuktian rasional (dalil aqli) dan sandaran dari Al-Quran dan Hadis (dalil Naqli), sekaligus menjaga kemurniannya dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang.

Dari telaah terhadap karya tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Anregurutta Ambo Dalle bertumpu pada dua pendekatan utama, pendekatan kognitif dan pendekatan korektif. Pendekatan kognitif berfokus pada pembentukan pemahaman melalui penggunaan akal dan ilmu sebagai dasar keimanan, sehingga keyakinan yang dibangun tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, pendekatan korektif berfungsi untuk meluruskan keyakinan dari berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merusak kemurnian akidah. Kedua pendekatan ini berjalan secara harmonis, membangun struktur akidah yang kuat, rasional, dan terlindung dari pengaruh pemikiran yang menyesatkan.

Hal ini selaras dengan tujuan dasar ilmu aqidah/tauhid, sebagaimana yang disebutkan Syekh Abu Daqiqah dalam kitabnya Al-Qaul as-Sadīd fī I’lmi at-Tauhīd ketika menyebutkan definisi deskriptif dari ilmu tersebut. Bahwa Ilmu tauhid adalah:

“ilmu tentang perkara-perkara yang dengannya seseorang mampu menetapkan akidah-akidah Islam melalui argumen-argumen yang kuat sekaligus mampu menjawab keraguan-keraguan yang diarahkan kepadanya.”

Dalam konteks penerapan metode tersebut, aspek pertama yang menjadi instrumen dari pendekatan Anregurutta adalah dimensi kognitif, dengan menempatkan peran akal dan ilmu sebagai pintu masuk dalam membangun keyakinan yang benar. Hal ini menjadi ciri khas yang diwarisi dari teologi Asy'ariyah yang beliau anut, dengan asumsi dasar bahwa iman yang kokoh haruslah merupakan keyakinan yang berbasis ilmu, bukan sekadar warisan atau taqlid buta yang biasa beliau sebut sebagai “akacuru-curukengnge.” Oleh karena itu, Anregurutta memberikan sistematisasi logis yang terarah pada kitab yang ia susun.

Pada pasal pertama beliau memulai kitabnya dengan membahas syarat-syarat bertauhid, sebagai pembuka bahwa bertauhid adalah sebuah proses yang memiliki kaidah dan prasyarat yang harus dipenuhi. Secara metodologis, urutan ini menuntut pembaca untuk melepaskan diri dari segala bentuk keyakinan-keyakinan yang menyimpang, sebelum memasuki kerangka berpikir yang benar.

Pada pasal ketiga Anregurutta kembali menegaskan penggunaan akal sebagai metode yang benar dalam menetapkan akidah Islam dengan menyertakan dalil dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar klaimnya, Beliau mengatakan:

“Dengan bertafakkur terhadap penciptaan alam, mulai dari mentadabburi diri sendiri
 hingga semua makhluk ciptaan-Nya semuanya mengandung bukti yang jelas dan tak terbantahkan -sejelas matahari yang tak mengandung kebohongan- menunjukkan keesaan dan kesempurnaan penciptanya”.

Setelah itu, Anregurutta terlebih dahulu menjelaskan sebuah mukadimah, sebelum memasuki pembahasan inti akidah yang berhubungan dengan ketuhanan. Mukadimah tersebut berfungsi sebagai pondasi metodologis yang menjadi dasar bagi Anregurutta dalam  membangun kerangka aqidah yang dimaksudkan.

Pada mukadimah ini, pertama-tama beliau menjelaskan dua sumber utama dalam menetapkan akidah keislaman, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Menurutnya, penetapan akidah tidak boleh diputuskan kebenarannya kecuali dengan bersandar pada dua dalil tersebut. Dalil aqli sebagai landasan yang menguatkan keyakinan bahwa itu ditopang oleh bukti yang logis, sementara dalil naqli sebagai otoritas tinggi yang bersumber pada wahyu dan penguat bahwa klaim tersebut sejalan dengan wahyu.

Setelah menjelaskan dasar epistemologis tersebut, Anregurutta kembali memaparkan pembagian ontologis yang menjadi kerangka dasar seluruh ilmu akidah. Beliau membagi segala sesuatu yang mungkin dipikirkan oleh akal menjadi tiga kategori:

1.   Wajib: Sesuatu yang wajib ada dan akal tidak mungkin menerima ketiadaannya.

2. Mustahil: Sesuatu yang tidak mungkin ada dan akal tidak dapat menerima keberadaannya.

3.   Jaiz/Mumkin: Sesuatu yang mungkin ada dan mungkin juga tiada.

Pembagian ini sangat penting karena berfungsi sebagai standar dan kerangka berfikir bagi seluruh pembahasan akidah selanjutnya. Melalui kerangka ini, Anregurutta menghubungkan keyakinan dan keniscayaan logika dengan menempatkan pembuktian akidah diatas landasan ilmiah yang terstruktur.

Penggunaan metodologi yang didasarkan pada tiga hukum akal ini merupakan ciri khas para teolog muslim dalam menyusun karya-karya aqidah mereka. Sebagai contoh Imam As-Sanusi dalam kitabnya Ummul Barāhīn menjadikan kerangka tersebut sebagai mukadimah kitabnya. Hal ini menjadi penguat bahwa metode Anregurutta selaras dengan tradisi keilmuan Islam yang baku, dimana akidah dibangun tidak semata-mata atas dasar dogma, melainkan melalui argumentasi logis yang kokoh dan bersifat ilmiah.

Selanjutnya, kerangka pengkategorian wajib, mustahil, dan jaiz ini diimplementasikan secara sistematis dalam Bab 1 (“Pokok-Pokok Akidah Wajib yang Diyakini Keabsahannya”) untuk membuktikan sifat-sifat wajib bagi Allah. Namun sebelum masuk pembahasan itu, Anregurutta terlebih dahulu  menegaskan bahwa taklid buta terhadap pokok-pokok akidah Islam adalah haram, sehingga setiap Muslim wajib mengetahui kebenaran akidahnya melalui dua dalil yang pasti, yaitu dalil aqli dan dalil naqli, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Adapun contoh penerapannya, misalnya, sifat wujud (ada) dibuktikan dengan dalil aqli bahwa seandainya Allah Swt. tidak ada, maka alam ini pun tidak akan pernah ada, sebab mustahil bagi alam mengadakan dirinya sendiri. Oleh karena kita menyaksikan bahwa alam ini benar-benar ada, maka wajib baginya memiliki pencipta. Dan pencipta itulah yang biasa disebut sebagai Wājib al-Wujūd dalam istilah teologi Islam yaitu suatu entitas yang keberadaannya niscaya dan mustahil bagi akal untuk membayangkan ketiadaannya.  

Selanjutnya, sifat qidam (terdahulu) diartikan bahwa tidak ada sesuatu pun yang mendahului atau membersamai keberadaan-Nya. Hal ini dibuktikan dengan mustahilnya Allah disifati dengan kebalikannya, yaitu sifat Hādits (sesuatu yang ada setelah sebelumnya tiada). Sifat Hādits ini meniscayakan adanya pencipta bagi-Nya, dan jika Allah diciptakan oleh sesuatu, maka hilanglah sifat ketuhanan-Nya.

Adapun sifat baqa (kekal abadi) dibuktikan dengan argumentasi bahwa jika Allah tidak kekal, maka Ia akan bersifat fana (binasa). Sifat fana merupakan sifat kekurangan, sedangkan Tuhan Mahasuci dari segala kekurangan. Maka dari itu, wajib bagi Allah bersifat baqa.

Selanjutnya, sifat mukhalafatu lil hawadits (berbeda dengan makhluk) dibuktikan dengan logika bahwa seandainya Allah serupa dengan makhluk-Nya, maka Allah pun akan bersifat Hādits, dan sifat tersebut mustahil bagi-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Untuk contoh terakhir, sifat qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri/tidak butuh yang lain) dibuktikan bahwa seandainya Allah membutuhkan selain diri-Nya, misalnya membutuhkan ruang atau tempat, maka Ia akan bergantung pada sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang bergantung dan menempati tempat termasuk sesuatu yang Hādits, dan karena sifat Hādits mustahil bagi Allah, maka sudah pasti kebalikannya benar bahwa Allah Swt. bersifat qiyamuhu bi nafsihi. Oleh karena itu, melalui rangkaian argumen rasional ini, dapat kita lihat bahwa pendekatan kognitif yang digunakan oleh Anregurutta memastikan bahwa akidah yang dibangun bersandar pada argumentasi logis yang kokoh, sistematis, dan bersifat ilmiah.

Sementara itu, pendekatan korektif digunakan Anregurutta untuk menjaga akidah dari berbagai bentuk penyimpangan, baik yang bersifat dogmatis-tradisional maupun sufistik yang menyimpang. Pada kelompok dogmatis-tradisionalis Anregurutta secara lugas menjelaskan bahwa syarat sah dan diterimanya tauhid adalah suci dari segala kemusyrikan, baik secara lahir maupun batin.

Untuk menghindarkan dari hal tersebut Antregurutta memaparkan segala bentuk kemusyrikan agar dijauhi oleh setiap muslim. Beliau membagi kemusyrikan menjadi tiga kategori yaitu syirik besar berupa penyembahan terhadap kuburan atau benda yang dianggap memiliki kekuatan, syirik sedang berupa kepercayaan terhadap pemali atau takhayul, yang sama dengan meyakini adanya kekuatan yang dapat mendatangkan atau menolak keburukan selain Allah Swt. dan terakhir syirik kecil yang berupa sikap riya, yaitu melakukan amal ibadah untuk mendapat pujian manusia, yang amalannya akan tertolak dan sia-sia di sisi Allah swt.

Anregurutta tidak berhenti pada pengelompokan syirik semata. Dalam kitabnya Syifā’ al-Af’idah min at-Tasyā’um wa ath-Ṭīarah (Obat Hati dari Pemali), beliau memberikan jalan keluar dari berbagai bentuk kesyirikan, khususnya keyakinan terhadap pemali yang saat itu marak di kalangan masyarakat Bugis. Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan bahaya dan mudarat dari keyakinan tersebut, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Sebagai penyembuhnya, beliau menanamkan ajaran tauhid yang murni, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang memiliki pengaruh mutlak atas segala sesuatu.

Selain itu, beliau juga menawarkan solusi praktis dengan menggantikan keyakinan negatif tersebut dengan Sempena, yaitu sikap optimis dan penuh harapan, seperti menamai atau memberi simbol positif terhadap sesuatu dengan harapan akan datang kebaikan dari sesuatu tersebut. Dengan langkah ini, Anregurutta tidak hanya bersikap dekonstruktif terhadap tradisi lama, tetapi juga melakukan reformasi budaya religius masyarakat Bugis secara konstruktif.

Adapun keritikannya pada kelompok sufistik yang menyimpang, Anregurutta memberikan peringatan keras terhadap tarekat-tarekat sesat yang menjauhkan umat dari ketauhidan yang benar. Kelompok-kelompok ini seringkali menyesatkan dengan klaim berbahaya seperti menganggap ajarannya adalah “hakikat” yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, atau mengklaim memiliki “rahasia hakikat” yang langsung diterima oleh Nabi Muhammad Saw. tanpa perantara Malaikat.

Dalam membantah klaim-klaim ini, Anregurutta mengandalkan akal sehat dgn menyertakan dalil dari Al-Qur’an dan Hadis, lalu menegaskan bahwa tidak ada satu pun dasar agama yang membenarkan praktik-praktik sufistik menyimpang sebagaimana anggapan mereka, seperti keyakinan fana' (melebur) hingga menganggap tidak ada lagi perbedaan antara hamba dan Tuhan dan lain sebagainya.

Dari pendekatan korektif ini, dapat kita lihat bagaimana Anregurutta secara sistematis memagari akidah umat dari segala bentuk penyimpangan. Dengan membersihkan kemurniannya dari noda kemusyrikan yang dapat merusak bangunan amal, sekaligus melindunginya dari ajaran sufistik yang menyimpang dengan segala klaimnya di luar batas syariat. 

Oleh karena itu, melalui segala rangkain penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa metode Anregurutta yang terangkum dalam dua pilar yaitu pendekatan kognitif dan pendekatan korektif ini merupakan solusi yang relevan dan komprehensif terhadap tantangan mendasar akidah yang dihadapi umat Islam, baik dari Internal maupun eksternal.

Dengan pendekatan kognitif, melalui kerangka pengkategorian Wajib, Mustahil, Jaiz yang berbasis dalil aqli dan naqli, secara langsung menjawab tuntutan rasionalitas dan skeptisisme dunia modern, mengubah keyakinan dari sekadar dogma warisan menjadi keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan ilmiah.

Sementara itu, pendekatan korektif, dengan pembersihan dari syirik dan tarekat sesat, menjawab tantangan internal berupa sinkretisme dan takhayul yang dihadapi masyarakat tradisional. Oleh karena itu, harmonisasi kedua pendekatan ini berhasil membangun Akidah Islam yang rasional, kuat, dan murni serta tahan terhadap berbagai tantangan yang ada.

Pada akhirnya dapat kita lihat melalui dua pendekatan tersebut, Anregurutta telah menyajikan metodologi yang krusial untuk menjaga keutuhan keyakinan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman, dengan memastikan bahwa keimanan yang dibangun, berdiri di atas ilmu yang kokoh dan terhindar dari berbagai bentuk keyakinan yang menyimpang.


Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Addariah. Designed by OddThemes